Anggasta Chapter 01

1113 Words
Entah kenapa, anak IPS selalu dipandang sebelah mata oleh semua orang. Iya memang, anak IPS tidak secerdas seperti anak IPA, anak IPS tidak serajin seperti anak IPA. Tetapi, bukankah semua ada keunggulan dan kekurangan masing-masing? Semua pandai dibidangnya sendiri. Murid tukang ribut, selalu cari gara-gara, biang kerusuhan, dan suka membolos. Perkara seperti itu tidak mungkin dilakukan oleh anak IPA. Kerjaan mereka hanya berkutat dengan bacaan tebal, hidup mereka seperti terpaku dalam satu tujuan. Motto yang didirikan pun sangat kuat. Beda dengan anak IPS, satu hari tanpa membuat kerusuhan rasanya sangat hambar. Hidup seperti buram hanya berwarna putih abu-abu. Anak IPA selalu disanjung dengan kepintaran mereka, para guru selalu berdecak kagum akan kemampuan muridnya itu. Ingat, tidak semua anak IPS mempunyai perilaku buruk, dan tidak semua anak IPA selalu mempunyai karakter yang lebih baik. Sampai saat ini pun tetap sama, mereka selalu bermusuhan entah itu dalam bidang apa. XI IPS 5, predikat kelas yang selalu menjadi luapan kemarahan para guru. Bagaimana tidak? hampir seluruh masalah bersumber dari kelas itu. Kadang, mereka terlalu lelah, lelah akan komentar guru-guru tentang kejelekan yang mereka lakukan. Mereka kelelahan, tapi tidak mau berhenti membuat keributan, itu sama saja dan tidak membuahkan hasil. Tapi tunggu, tidak bagi siswa yang memiliki nama panjang Anggreo Gasli Tama. Cowok tinggi, berkulit putih, bermata hazel, terkenal dengan bakat buruknya—terlalu nakal . Namun, anehnya, dia selalu digendrungi dengan para siswi di sekolah ini. Mungkin karena cowok itu memiliki wajah sejuta ketampanannya. Dia biasa disapa Angga. Segudang catatan buruk Angga sudah menggunung di guru BK. Dari masalah bolos sekolah, berantem dengan anak IPA, sering meninggalkan pelajaran, hingga merokok di toilet sekolah. Bu Beti, selaku guru BK yang mengampu kelasnya pun sangat bosan karena lagi-lagi murid yang melanggar aturan adalah murid yang sama—Angga. "Kamu itu niat sekolah nggak, sih?" Bu Beti terus menghakimi Angga di ruangan BK. Ini sekian kalinya Angga mendapatkan celotehan dari guru itu. "Maaf, bu. Saya khilaf," ujar Angga enteng. Sedetik kemudian, ia menampakkan sederet gigi pitihnya. "Ibu itu pusing ngurusin kamu, Angga." Bu Beti memegang keningnya. Beliau selalu migrain jika menghadapi murid bandel macam Angga ini. "Sejak kapan ibu ngurusin saya? kalau ngomelin mulu baru iya," jawab Angga dan mendapat pelototan dari Bu Beti. "Baju nggak dimasukin, rambut udah kayak sarang burung. Aduh, bisa stres kalo ibu ladenin kamu terus. Emang apa susahnya sih taat pada aturan?" omel guru itu lagi. Angga semakin lekat menatap Bu Beti. "Masih lama nggak, Bu?" "DIAM!" Angga terkesiap dan langsung diam bergeming. Ia menatap horor kearah Bu Beti. "Coba kamu contoh tuh anak IPA, mereka sangat rajin. Masuk BK pun jarang. Nggak kayak kamu, bisanya bikin rusuh aja." "Aduh Bu, telinga saya b***k. Ibu pelanin dikit kek suaranya." Angga menyumpal kedua telinga dengan jari. Suara cempreng Bu Beti barusan sungguh memekakkan sampai menusuk gendang telinga. "Kamu nyuruh ibu?! Kalo ada guru ngasih nasihat itu diem. Dengarkan baik-baik, jangan langsung nyaut!" "Iya-iya, bawel amat sih," cibir Angga lirih. Bu Beti langsung menatap intens ke arah Angga dengan tatapan sengitnya. "Kamu ngomong apa, tadi?" "Nggak kok Bu, ibu salah dengar kali." Angga masih berusaha mengelak. Beruntung Bu Beti tidak terlalu mendengar umpatannya tadi. Jikalau beliau mendengar, nyawa Angga—lah yang menjadi taruhan. "Buruan masukin baju kamu!" Angga memutar bola matanya malas, kemudian dia mengangkat bokongnya dari sofa dan melakukan apa yang beliau mau. Setelah itu, dia duduk lagi seperti semula. "Udah, ibu maunya apa lagi? Mau saya pijitin. Oh atau ibu mau saya belikan bakso di kantin? Eh, tapi aku traktir juga dong Bu!" "Aduh! Bisa meledak kepala saya. Kamu bisa nggak si diem sebentar?!" Nada suara Bu Beti turun satu oktaf. Mungkin beliau sudah lelah karena sedari tadi terus mendumel kepada Angga. "Ye...Ibu gimana sih, fungsi mulut, kan, buat bicara." "Udah, sana kamu balik ke kelas." "Asyiiapp!" Angga berucap bak Atta Halilintar. Dengan sigap, Angga langsung mengangkat bokongnya dari kursi, lalu lepas pergi dari ruangan keramat ini. Dia tersenyum berseri-seri seperti tidak memilki tanggungan hidup sedikitpun. Bu Beti melotot kepada Angga karena dia menampakkan wujudnya kembali ke hadapannya. "Mau apa lagi kamu!" Angga tersenyum tipis, "aku salfok sama bulu mata palsu Ibu yang miring satu itu," ucap Angga tanpa dosa. Sedetik kemudian dia tersenyum kepada Bu Beti dan mulai melangkah keluar. Bu Beti refleks langsung mengecek bulu mata palsu yang dia baru beli kemarin. Memang benar apa yang dikatakan Angga. Bu Beti merasa malu, lantas wajahnya berubah menjadi merah tomat. Angga. Cowok nakal itu selalu membuat lawan bicara emosi sendiri. Berbagai kosakata selalu dia jejalkan. Mungkin Angga rajin baca buku. Alah, tapi itu sangatlah mustahil. Cowok itu lantas berjalan tanpa dosa di koridor kelas, seragamnya sudah dikeluarkan kembali setelah keluar dari ruangan BK. Satu tangannya berada di saku celana. Sesekali dia bersiul disepanjang lorong. Tidak peduli dengan tatapan semua siswa yang melihat tingkah anehnya. Angga selalu bersikap cuek dan bodo amat. Mungkin, urat malu cowok itu sudah putus hingga tidak memiliki rasa malu sedikitpun. Setelah sampai di kelas, Angga dengan sigap mendaratkan b****g di bangku. Kribo yang sedang asik menyalin catatan sempat terpelonjak kaget. "Eh, lo disidang apaan tadi?" tanya Kribo, teman sebangkunya. Nama aslinya, Bima. Karena rambutnya yang begitu menggumpal atau nama familiernya Kribo, jadilah ia dipanggil seperti itu. Si empunya nama juga tidak keberatan di panggil nama samaran. Ya, walaupun tidak langsung namanya sudah diubah tanpa diadakan syukuran. "Biasa lah, peringatan kecil," jawab Angga sambil terkekeh ringan. "Buruan lo nyatet, bentar lagi Bu Rosi datang. Katanya dia mau ngecek satu persatu hasil tulisan kita." Kribo memperingati Angga. "Lha, ngapain juga sih tuh guru masuk. Males banget gue." Angga menggerutu. Lalu, dia mulai menengadah kepalanya mencari sosok yang dia cari. "Eh Puji!" Setelah menemuka teman kelasnya itu, Angga langsung berteriak. Puji menoleh, lengkap dengan wajah juteknya. "Apa?!" Puji berkoar, pekikannya menggelegar. Suaranya hampir memadai petir yang menyambar langit. Buset, tatapannya nyeremin amat tuh anak! "Yaelah galak amat lo, gue doain cepet mati baru tau rasa!" celetuk Angga secara asal. Puji langsung melotot tajam. Bola matanya hampir saja keluar kalau saja Asni—yang posisinya berada di samping tempat duduknya—langsung menenangkannya. "Sini pinjem catetan matematika punya lo!" "Ogah banget, lo udah nyumpahin gue barusan." Puji mengibaskan rambutnya ke belakang. Setelah itu kembali bercengkrama dengan Asni, teman sebangkunya. Angga langsung bangkit dari tempat duduk, dengan langkah cepat dia menghampiri meja Puji yang berada dideretan bangku paling depan. Angga merampas buku catatan milik puji. "Sini, gue pinjem! Nggak gue ilangin juga." Melihat itu, Puji hanya menatap Angga dengan wajah jutek. "Awas kalau buku gue sobak, muka lo gue sapu nanti!" Puji mengancam. "Yaelah, tulisan kek ceker ayam gini, patutnya dibuang aja nih, bagusan juga tulisan gue!" sedetik setelah mengucapkan kata itu, Angga langsung berlalu menuju bangkunya. Puji hanya menghela napas gusar. Dia harus sabar menghadapi tingkah polah Angga.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD