01. Awal

1600 Words
Sebuah resepsi pernikahan besar antara Romi dan Tania sudah dipersiapkan matang-matang. Dari katering, tempat, hingga susunan acara juga telah disiapkan oleh pihak Wedding Organizer. Semua undangan juga sudah disebar kepada para tamu undangan. Maklum saja, Romi Putra Suganda adalah anak laki-laki pertama penerus usaha Dedeng Suganda serta istrinya Lilis Jayanti. Dedeng Suganda merupakan salah satu pengusaha garmen terkenal yang ada di Jawa Barat, tepatnya di Bandung. Kanaya Putri Suganda adalah adik perempuan Romi, yang saat ini sedang sibuk menyelesaikan kuliahnya di Eropa. Banyaknya undangan orang-orang penting serta rekan bisnis, Dedeng tak ingin pernikahan putranya asal-asalan. Dedeng menginginkan pernikahan putranya menjadi pernikahan paling megah di antara pernikahan pada umumnya. Romi, panggilan sehari-hari dari Romi Putra Suganda yang saat ini berusia 28 tahun. Romi akan menikahi kekasihnya, Tania yang merupakan salah satu model ternama di Bandung. Romi dan Tania sudah berhubungan dari 2 tahun yang lalu. Mereka saling mencintai, kedua keluarga juga sudah merestui. Romi dan Tania akhirnya memutuskan untuk menikah. “Gimana teh persiapan pernikahan kamu Rom? Jangan sampai kamu teh memalukan Papa!" Ucap Dedeng pada Romi. “Alhamdulillah, semua teh sudah siap Pa! Papa teh tenang saja! Semua teh sudah ada yang urus!" Jawab Romi Romi sudah tak sabar lagi menunggu hari pernikahan mereka yang tinggal 3 hari lagi. Hubungan cinta yang Romi dan Tania rajut, akhirnya akan berakhir di pelaminan. Tania, perempuan yang sangat Romi cintai, akhirnya sebentar lagi akan menjadi istrinya. *** Romi sedang mengecek kembali beberapa daftar nama sahabat-sahabatnya yang sudah mendapat undangan. Romi tak ingin ada salah satu sahabatnya yang tidak ikut merasakan hari bahagianya. Tiba-tiba ponselnya berdering, 1 panggilan masuk dari calon istrinya. “A, kamu teh bisa temui Eneng sekarang? Ada hal yang sangat penting yang ingin Eneng bicarakan!” Tania penuh harap. “Aya naon sayang? Aa lagi sibuk banget, ngomong sekarang aja!” “Te bisa A, kudu ngomong langsung! Sebentar aja!” Tania terus memaksa. “Tapi kita teh sedang dipingit. Aa te bisa! Tiga hari kita teh dilarang untuk saling bertemu pamali cenah!” Romi menjelaskan dan tetap menolak. “Iya udah atuh, kalau ini teh keputusan Aa! Tania ngomong di telepon aja!” “Sok atuh ngomong!” Romi sudah tak sabar. “Maafin Tania ya A... Tania te bisa terusken acara kawinan kita! Tania harus ke Eropa, 2 hari lagi teh Tania harus sudah di sana! Tania dapat tawaran kerja untuk mempromosikan produk dalam negeri khususnya batik. Tania teh nggak mau menyia-nyiakan kesempatan emas ini begitu saja. Menjadi model yang bisa go Internasional teh cita-cita Tania sejak kecil. Dan Aa tahu te, persyaratan utama jadi model produk ini? Harus masih single. Punten pisan A, Tania te bisa!” Tania menjelaskan. Tanpa mendengar jawaban dari Romi, Tania langsung mematikan ponselnya sepihak. Romi tak percaya dengan ucapan kekasihnya barusan. Romi berusaha menghubungi calon istrinya balik. Namun beberapa kali Romi mencoba menghubungi, nomor Tania sudah tak tersambung lagi. Sepertinya Tania sengaja mematikan ponsel atau me-nonaktifkan nomornya. Seperti tersambar petir di siang bolong, begitulah perasaan Romi saat ini. Pernikahan yang tinggal menunggu waktu harus gagal dalam sekejap hanya karena Tania ingin melebarkan sayapnya ke dunia permodelan di jagat internasional. “HAAAH...” Romi berteriak keras untuk meluapkan kekesalannya. Dengan tangan kanannya Romi menyapu cepat kertas-kertas yang berisi data-data nama sahabatnya. Kertas-kertas pun berhamburan di lantai. Setelah itu, kedua tangan Raka memegang kedua kening lalu mengacak-acak rambutnya dengan keras. “Tuhan... ujian apa ini? Kenapa teh semuanya harus begini, apa sebenarnya yang Engkau rencanakan untuk hamba-Mu yang tak kuasa ini! Apa yang akan aku katakan pada orang tuaku nanti?” Romi kembali berteriak. *** Romi masih memendam sendiri berita pembatalan pernikahan Tania dari orang tuanya. Romi belum berani menyampaikan berita yang sangat buruk ini. Bukannya Romi tak mau menceritakan pada orang tuanya, Romi hanya ingin mempersiapkan kata-kata yang pas agar orang tuanya bisa menerima semua ujian ini. Terutama papanya, yang punya riwayat penyakit jantung. Romi tak bisa menutupi kesedihannya sendiri. Selain itu, mau tak mau Romi juga harus menceritakan ini semua pada orang tuanya sebelum hari pernikahan yang sudah dijadwalkan tiba. Romi memanggil mamanya untuk menceritakan serta meminta bantuan untuk berbicara dengan papanya. Menurut Romi, hanya mamanya yang bisa membantunya saat ini, karena waktu pernikahan sudah sangat dekat. Kebetulan saat itu mamanya sedang sendirian asyik memainkan ponsel di kamarnya. Romi tak mau menyia-nyiakan kesempatan baik itu. Semakin cepat Romi bercerita, masalah akan semakin cepat terselesaikan. “Mama, aya hal anu penting yang mau Romi sampaiken! Iye soal kawinan Romi jeng Tania” Raka masuk kamar Lilis, sambil kepalanya berputar ke kiri dan kanan untuk memastikan kalau Dedeng tak berada di sana. “Aya naon Romi, meni penting pisan?” Lilis ingin tahu. “Ta... Tania Ma!” Mulut serta seluruh tubuh Romi seakan bergetar. “Kenapa dengan Tania? Kamu teh jangan bikin Mama khawatir!” Lilis menggerak-gerakkan tubuh Romi cepat. “Tania mendadak membatalkan pernikahan sepihak!” Romi berkaca-kaca. “Kamu teh jangan bercanda Romi!” Lilis kembali menggerakkan tubuh Romi yang seolah tak bertenaga. Romi menggelengkan kepalanya. “Romi te bercanda Ma!” Lilis yang tadinya begitu bersemangat, seketika tubuhnya lemas tak bertenaga. Lilis tak bisa bayangkan, bagaimana malunya keluarga pada orang-orang yang sudah mereka undang. Terutama suaminya, suaminya pasti akan sangat malu dengan rekan bisnis serta orang-orang penting yang sudah mendapat undangan. “Bagaimana kita cerita sama papa, kalau pernikahan ini teh dibatalken?” Bola mata Lilis berputar memikirkan sesuatu. “Naon, dibatalken?” Dedeng tiba-tiba muncul dari balik pintu kamar. “Papa...!” Romi dan Lilis berbarengan “Apa maksudnya?” Dedeng mulai emosi. “Sabar Pa... sabar!” Lilis mencoba menenangkan. “Jadi teh benar yang Papa dengar barusan, Tania teh batalken perkawinan!” Dedeng mencari kejelasan. Lilis dan Romi saling berpandangan. Mereka bingung apa yang akan keduanya katakan pada Dedeng. “Jawab!” Emosi Dedeng memuncak. “Iya Pa!” Lilis dan Romi menjawab hampir bersamaan. “Apa, mau ditaruh mana muka Papa nanti!” Tangan Dedeng memegang dadanya yang terasa sakit. Seperti yang Lilis dan Romi takutkan, akhirnya jantung Dedeng kembali anfal. Dedeng hampir terjatuh di lantai karena tak sadarkan diri. Untung saja Romi cepat mengejarnya, sehingga Dedeng tak sampai jatuh ke lantai. Dedeng langsung dilarikan ke rumah sakit terdekat. Dan langsung masuk ruang ICU. Romi dan Lilis hanya bisa menangis melihat tubuh Dedeng yang terkulai lemas dan tak sadarkan diri di ranjang rumah sakit. Romi dan Lilis hanya bisa memandang orang yang dicintai menahan sakit. Mereka hanya bisa bergantian masuk untuk membesuk Dedeng. Lilis terus menangis melihat keadaan suami tercinta yang dipenuhi selang rumah sakit di mana-mana. Lilis tak menyangka kejadiannya akan seburuk ini. Lilis memeluk kedua buah hatinya, Romi dan Kanaya. Kebetulan Kanaya sedang berada di Bandung untuk menghormati pernikahan Romi. Romi mengepalkan tangan kanan lalu memukul-mukul tembok rumah sakit sebagai pelampiasan penyesalannya. “Coba teh aku bisa menahan diri untuk tidak menceritakan dulu sama mama, pasti teh tidak akan begini kejadiannya! Ini semua teh karena Tania, dia yang sudah membuat masalah semua! Aku benci Tania!” “Sabar atuh Ka, jangan menyalahkan diri sendiri ataupun orang lain. Mungkin ini teh sudah takdir Tuhan yang harus kita tempuh. Yang penting kita teh terus berdoa untuk kesembuhan papa!” Tangan kiri Kanaya memegang pundak Romi. *** Dua hari tak sadarkan Diri, sebuah keajaiban Tuhan tiba-tiba datang. Dedeng pelan-pelan bisa menggerakkan jari-jari kedua tangannya. Tak lama kedua mata pelan-pelan mulai terbuka pula. Dedeng akhirnya sadarkan diri. Lilis beserta kedua anaknya mengucap syukur pada Tuhan atas kesadaran yang sudah diberikan pada suami dan papa mereka. Dokter memanggil nama Romi, karena nama itu terus dipanggil berulang-ulang oleh Dedeng sesaat dia sadar dari tidur panjangnya. “Papa... aya naon? Papa teh istirahat aja dulu, jangan banyak bicara! Romi di sini temani Papa. Maafkan Romi ya Pa, semua ini teh salah Romi!” Kedua tangan Romi memegang lengan tangan kanan papa, lalu tangan kanan Romi beralih menggenggam telapak tangan papanya . Tak sadar air mata Romi menetes di kedua pipinya. Dedeng mengangguk pelan, lalu berkata, “mana mama jeng adik kamu?” “Iya Pa, sebentar Romi panggil.” Romi melepas genggaman dari tangan papanya lalu mengusap air mata di kedua pipi dengan jari-jari tangannya. Romi berjalan ke luar memanggil mama serta adiknya. “Papa...!” Panggilan Lilis serta Kanaya berbarengan. Mereka menangis bahagia melihat orang yang mereka hormati dan cintai akhirnya tersadar. “Nggak usah menangis, semua teh akan baik-baik saja!” Dendeng berkata pelan. “Papa istirahat aja dulu, jangan banyak bicara dan jangan banyak gerak dulu biar cepat sembuh!” Ucap Lilis pada suaminya. “Iya benar kata mama, Papa istirahat aja dulu!” Kanaya menimpali. Dedeng menggelengkan kepalanya pelan, ada sesuatu yang ingin dia ucapkan kepada tiga orang yang sangat dicintainya. “Ma... maafkan papa, papa te bisa temani mama lagi. Jaga anak-anak kita!” Suara Dedeng pelan “Papa te ngomong gitu atuh, papa pasti teh sembuh!” Lilis menyemangati, cairan bening terus muncul di kedua pelupuk matanya. “Romi... kamu sebagai anak laki-laki teruskan usaha Papa, jaga mama dan adik kamu!” Dendeng menepuk pundak Romi pelan yang saat itu sedang duduk di kursi sebelahnya. “Kanaya... kamu harus nurut sama mama dan kakak kamu!” Suara Dedeng sudah berkurang volumenya. “Iya Papa, iya” Suara ketiga orang hampir bersamaan. “Pa... Papa sudah nggak kuat lagi.” Suara Dedeng mulai tak terdengar, nafasnya mulai tak beraturan. “Lailahaillallah Muhamadarosulullah” Suara terakhir Dedeng, kedua matanya pun mulai menutup. “Papa...” Suara teriakan dari Lilis serta kedua anaknya terdengar bersahutan di depan tubuh papanya yang sudah tak bergerak lagi. Lilis menggerak-gerakan tubuh suaminya, berharap suaminya sedang istirahat tidur siang di rumah lalu dirinya membangunkannya. “Bangun Pa!” Lilis terus beruraian air mata. “Sudah Ma, papa sudah tenang di sana. Tuhan lebih sayang sama papa, mungkin ini yang terbaik buat papa daripada papa harus menahan sakit yang berkepanjangan.” Kanaya menenangkan hati mamanya. Lilis memeluk kedua buah hatinya. Entah apa yang akan terjadi nanti saat suaminya sudah tak berada di sampingnya lagi. Bagaimana Lilis bisa membesarkan kedua buah hatinya tanpa Dedeng, suaminya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD