1. Pergi Merantau

1013 Words
“Nak, jangan melalaikan shalat fardhu, ya! Shalat sunatnya juga." “Iya, Ambu." “Jangan terbawa arus pergaulan buruk. Harus bisa menjaga diri dan martabat!" “Insyallah, Ambu. Doakan saja semoga Neng selalu dalam lindungan Allah Subhanahu Wata’ala." Rini masih memeluk putri sulungnya erat. Hari ini sang putri akan meninggalkannya, pergi ke kota lain untuk mencari nafkah yang seharusnya menjadi tanggung jawabnya. Semenjak suaminya meninggal akibat demam berdarah, kehidupan keluarganya semakin memburuk. Uang yang dihasilkan Rini tak sebanding dengan jumlah yang selalu didapat oleh almarhum suaminya. Membuat Lela—putri sulungnya- dengan terpaksa harus putus pesantren. Dan sekarang, Rini kembali tidak berdaya saat Lela meminta izin untuk ikut bekerja dengan Marni—adik iparnya ke ibu kota menjadi seorang pembantu. Dia tak bisa mencegah karena memang mereka sedang membutuhkan uang. Terlebih kedua adik Lela yang masih membutuhkan biaya untuk pendidikan mereka. Rini terus mengecup puncak kepala putrinya seolah tak ingin membiarkan pergi. Pun dengan Lela yang sudah tersedu dalam dekapan ibunya. Marni yang melihat adegan ibu dan anak itu tak bisa mencegah bola matanya memutar—sebal. “Teh, sudahlah! Si Neng ada aku yang jagain. Teteh jangan khawatir! Lagian ... si Neng ikut aku juga kan buat mencari nafkah, bukan pergi berperang. Kenapa harus ragu? Mudah-mudahan aja ini jalan terbaik untuk merubah kehidupan kalian." Rini dan Lela akhirnya melepas pelukan. Meski samar, Rini menatap adik iparnya ragu. Marni adalah adik bungsu almarhum suaminya. Hubungan dia dan Marni memang tidak terlalu dekat. Di samping Marni yang jarang berada di kampung karena pulang setahun dua kali yaitu ketika tahun baru dan mudik lebaran. Ditambah banyak gosip bersimpang siur jika adik iparnya itu bukan sekedar menjadi pembantu saja di sana. Terlebih gaji yang didapat Marni tergolong besar. Malah hasil kerjanya selama tiga tahun ini mampu membuat dia membangun rumah besar dan membeli beberapa petak sawah dan kebun. Keluarga suaminya bukanlah orang yang begitu ketat terhadap agama. Bahkan ibu mertuanya masih berani melepas kerudung meski di sekitaran kampung. Berbeda dengan keluarganya yang begitu mementingkan hukum agama. Mungkin sebab itu pula hubungannya dengan keluarga sang suami tidak begitu dekat. “Kalau mau ikut, ayo cepetan. Keburu siang!" ucap Marni mulai tidak sabaran. Lela buru-buru menjinjing tas berisi pakaiannya. “Iya, Tante. Tunggu sebentar!” “Ambu, Neng pamit, ya! Ambu sehat-sehat di sini, jangan terlalu memikirkan Neng! Insya Allah, Neng bisa jaga diri." Lela kemudian menghampiri kedua adiknya. “Asep, Agus. Jaga Ambu, ya! Harus nurut dan jangan sering melawan beliau! Kalian paham?" Nasehat Lela langsung diangguki kedua adiknya. Terlebih adik bungsunya—Agus. “Teteh, nanti kalau sudah punya uang, belikan Agus mobil-mobilan yang besar!) Rini menggigit bibirnya mendengar suara polos penuh antusias dari putra bungsunya. Di antara keluarganya, memang Agus lah yang paling bahagia mendengar kakaknya akan bekerja dan mendapat uang banyak seperti tantenya—Marni. Lela tersenyum dan memeluk keduanya. “Insya Allah. Doakan Teteh ya, semoga diberi rizki berkah oleh Allah." Asep menangis dan membalas pelukan kakaknya. “Teteh jangan terlalu lelah. Tunggu sampai Asep selesai sekolah! Asep bakal gantiin Teteh mencari uang." “Aa, kenapa malah nangis? Bukankah Teteh mau nyari uang yang banyak?" celetuk Agus merasa bingung karena kakaknya malah menangis terisak. Asep menatap adiknya jengkel. Merasa kesal karena malah bahagia berpisah dengan kakak sulung mereka. Namun apa daya, memang itulah yang dipikirkan anak kecil. Mainan dan isi perut. Akhirnya ... Lela berjalan pergi dari halaman rumahnya. Sesekali masih menengok ke belakang di mana ada ibunya yang menatap kepergiannya dengan mata berkaca-kaca, Asep yang masih cegukan, dan Agus yang malah antusias melambaikan tangan dengan riangnya. Lela menampilkan senyuman hangat ke arah keluarganya sebelum benar-benar pergi dibawa kuda besi beroda empat. “Jangan sedih begitu! Meskipun kamu perempuan tapi bukan berarti harus lemah dan manja. Sekarang kamu itu punggung keluarga!” ucap Marni di dalam taksi menuju terminal. “Iya, baik, Bi." Setelah tiba di terminal, mereka langsung menaiki bus jurusan ibu kota. Menunggu beberapa menit sampai akhirnya bus itu melaju. Lela menoleh ke belakang, tepatnya ke arah jalan menuju rumahnya. Ini pertama kalinya dia pergi ke luar kota tanpa ayah dan ibunya. Terlebih kota tujuannya adalah kota yang katanya kota yang tak pernah tidur dan selalu sibuk itu. “Bismillahirrahmanirrahim.” Lela memejamkan matanya, batinnya terus menyebutkan nama Tuhannya, berdoa meminta perlindungan juga keberkahan dalam setiap langkahnya. “Hey, Neng! Lela! Bangun, kita sudah sampai!” Lela merenggangkan ototnya sambil mengerjapkan mata beberapa kali. Menutupi mulutnya yang tengah terbuka—menguap. “Cepat! Lelet banget sih, kamu. Terbiasa dimanja, sih,” ujar Marni yang terdengar seperti omelan. Bukan seperti, tapi dia benar-benar mengomel. Lela buru-buru beranjak mengikuti Marni. Sudah terbiasa dengan sikap ketus tantenya, terutama saat ayah dan ibunya tidak bersamanya. “Iya, Bi!" “Heh, Neng! Bisa gak bicaranya pake bahasa Indonesia? Meski kita dari tapi jangan kampungan, dong!” Marni sangat kesal karena sedari tadi putri kakaknya terus saja menggunakan bahasa daerahnya. Kampungan. “Muhun, eh, b-baik, Bi.” “Satu lagi. Jangan panggil aku Bibi! Emang aku pembantumu? Panggil aku Tante!” “Muhun!” Lela memukul mulutnya. “M-maksud Neng, baik, ... Tan-te!” “Ck, sudahlah! Ayo!” Kepala Marni celingukan ke sana ke mari. Karena penasaran Lela pun mengikuti tingkah tantenya. “Bi, maksud Neng, Tante lagi cari apa?” “Ah, itu dia!” Tak menghiraukan pertanyaan Lela, Marni memegang tangan Lela setengah menyeret, membuat gadis itu sudah hampir tersungkur ke jalan beberapa kali. “Hi, Beb. I miss u!” “Astaghfirullaah!” Lela menjerit tertahan. Matanya melotot melihat keadaan di depannya. Beberapa kali dia mengucek mata berusaha meyakinkan diri jika penglihatannya memang bermasalah. Namun, pandangannya masih tetap sama, melihat Marni tengah memeluk pria bertubuh tegap tanpa rasa sungkan. “Ya Allah, Tante! Apa gak ingat punya suami dan anak di rumah?" batin Lela menangis. Sementara Marni, seakan lupa akan kehadiran ponakannya, tanpa malu, tanpa takut menjadi pusat perhatian banyak orang karena mereka sedang di lokasi umum (terminal), mereka sempat-sempatnya bertukar saliva dengan begitu mengerikan. Bahkan Lela langsung mendadak bergetar dengan kelakuan sang tante yang baru dia lihat, sekarang. Rasa takut pun seketika memasuki hatinya. Sudah tepat, 'kah, dia ikut dengan sang tante?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD