Aku paham dan mengerti kalau Uang bukanlah Tuhan, Uang bukanlah Teman, Uang Bukanlah Sahabat, dan Uang Bukanlah Keluarga. Namun jika kita hidup dalam kemiskinan yang selalu membutuhkan uang untuk makan, untuk memenuhi kebutuhan, dan untuk mencukupi biaya dalam kehidupan. Hinaan yang aku alami dan juga lapar yang hampir setiap hari aku jalani, membuat ku berpikir dengan cara yang berbeda. Aku tahu semua serba murah jika kita hidup seadanya dan sederhan. Namun keserdhanaan juga butuh materi dan uang. Aku mencoba menekan Ambisiku, namun keinginan akan sesuatu hal, doktrin kanan dan kiri untuk mengimbangi keadaan, disertai dengan hinaan yang tak lagi kuat aku rasakan, membuat ku merubah sudut pandangku. Bahwa apapun yang terjadi, kini aku tidak boleh miskin dan aku harus kaya dengan jalan apa saja. Agar aku tak lagi dihina, agar keluargaku tidak merasakan apa yang aku rasakan dan agar anak-anakku kelak tersenyum tanpa pernah bilang "aku miskin.". Dan setelah semua aku dapatkan, dimana saat aku sudah menjadi kaya, disaat aku dihormati karena statusku, disaat aku dipuja karena hartaku. Aku harus kehilangan sosok – sosok yang aku cinta mati didepan mata akibat kekayaan yang aku miliki. Aku dipaksa keadaan dan harus memilih antara harta, cinta dan keluarga. Keluarga tiada namun tetap kaya, atau miskin namun berkumpul bersama keluaraga?