CHAPTER 2

1842 Words
CHAPTER 2 Namanya Adaffaren Pane. Orang-orang biasa memanggilnya Faren. Tapi Wendy mengenalnya dengan nama Pane. Laki-laki itu adalah mahasiswa tahun ke tiga di jurusan Hubungan Internasional. Dia punya banyak teman dan sangat disenangi karena selain pintar Pane juga asyik untuk jadi teman ngobrol. Meskipun berasal dari keluarga kaya raya tapi Pane sama sekali tidak sombong. Wendy tidak tau banyak tentang laki-laki itu karena dia memang tidak tertarik. Tapi di sinilah Wendy sekarang. Menatap Pane yang sedang tertawa bersama teman-temannya di dekat tangga Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Wendy ke sini bukan karena ingin bertemu Pane. Dosen memintanya mengantarkan dokumen kepala salah satu dosen di FISIP. Tapi siapa sangka ia akan melihat Pane di sini. Ya meski itu tidak aneh mengingat Pane adalah mahasiswa di Fakultas ini. Tapi FISIP itu luas, kenapa dia harus bertemu dengan Pane? Seperti yang sudah bisa ditebak, Pane menyadari kehadiran Wendy saat perempuan itu lewat di depannya. Pane langsung menghampiri perempuan itu yang membuat teman-temannya langsung bersorak menggoda. “Pak Marwan? Yaudah ayo aku anter..” Pane menawarkan diri. Awalnya Wendy ingin menolak. Tapi mengingat ia tidak tau lingkungan FISIP akhirnya ia mengangguk setuju. Setidaknya dengan bantuan Pane pekerjaannya akan lebih cepat selesai dan ia bisa cepat pergi dari Fakultas ini. “Pak Marwan dosen apa?” tanya Wendy memecah keheningan di antara mereka. Pane menoleh membuat Wendy langsung mengalihkan pandangan ke arah lain. Ia tidak ingin Pane tau bahwa ia baru saja melirik laki-laki itu secara diam-diam. Mau taruh di mana mukanya? “Nggak tau sih dosen apa, soalnya bukan dosen jurusan aku..” Jawaban Pane membuat kening Wendy mengerut. Tadi Pane terlihat seolah sangat mengenal Pak Marwan. Tapi sekarang dia malah bilang tidak tau. Wendy ingin bertanya lagi tapi akhirnya mengurungkan niat. Dia tidak ingin terlihat akrab atau terlihat ingin mengobrol banyak dengan laki-laki itu. Apalagi Wendy merasa bahwa sejak tadi ada banyak pasang mata yang mengawasi mereka seolah ia adalah anak sapi yang masuk ke kandang harimau. Untungnya tidak sulit untuk mereka menemui Pak Marwan. Bapak dengan badan cukup berisi dan memakai kaca mata itu ada di ruangan dosen, sepertinya sedang memeriksa tugas mahasiswa. Ia cukup ramah membuat Wendy tidak menyesal sudah jauh-jauh mengantarkan dokumen itu. “Pacar kamu, Pane?” tanya Pak Marwan membuat Wendy melotot. Pertama karena Pak Marwan mengira ia pacar Pane, kedua karena ia tak menyangka Pak Marwan mengenal Pane. Sepertinya Pane memang terkenal sampai dosen di jurusan berbeda pun mengenalnya mengingat banyaknya mahasiswa di fakultas ini. Pane hanya tersenyum membuat Wendy menatapnya kesal. “Bukan, Pak,” jawab perempuan itu cepat. Pak Marwan melirik keduanya bergantian. “Oh, saya pikir pacarnya Pane tadi. Baru mau bilang Pane pinter cari pacar. Sudah cantik, baik lagi. Jarang saya ketemu mahasiswa yang ramah seperti kamu padahal dari jurusan berbeda,” ujar Pak Marwan terus terang. Wendy hanya bisa tersenyum tipis. Ia merasa tidak sebaik yang Pak Marwan sebutkan karena dia juga sering mengabaikan dosen di jurusannya. Bahkan kadang ia sengaja menghindar jika tak sengaja melihat dosennya di jalan. “Sampaikan terimakasih saya sama Buk Widya ya. Terimakasih juga sudah mau mengantar dokumen ini ke sini. Siapa nama kamu tadi?” “Wendy, Pak..” “Iya, makasih ya Wendy. Pane..” Pak Marwan menepuk bahu Pane dua kali. Keduanya kemudian pamit meninggalkan ruangan dosen. “Dosen FISIP emang semua baik-baik kayak gitu?” tanya Wendy. Mereka menyusuri koridor. Ada banyak mahasiswa di sana. Ada yang duduk-duduk sambil bergosip ria. Ada yang sedang belajar kelompok di kursi taman dan ada juga yang duduk sendirian sambil memainkan ponsel di teras. “Kenapa?” tanya Pane menoleh. “Nanya aja.” “Hmm rasanya sih iya. Nggak ada yang aneh-aneh..” jawab Pane. Wendy melirik Pane sekilas. Hidung mancung Pane tampak sangat sempurna dilihat dari posisinya saat ini. “Lupa lagi ngomong sama siapa,” ujar Wendy tanpa sadar. Pane agaknya adalah mahasiswa teladan kesayangan dosen jadi wajar saja jika semua dosen baik padanya dan juga baik di matanya. “Hah?” Wendy spontan menoleh dan pandangan mereka bertemu. Baru kali ini Wendy bertatapan langsung dengan Pane dan ia baru sadar bahwa bola mata Pane tidak berwarna hitam atau coklat, tapi hazel. “Kamu bilang apa tadi?” Wendy gelagapan. “Ngg nggak ngomong apa-apa kok. Lupain aja..” ia bergegas mengalihkan pandangan ke arah lain. “Kamu ke mana habis ini?” “Pulang..” biasanya ia akan berbohong pada Pane. Tapi kali ini ia tidak berbohong. Ia memang bertujuan pulang ke rumah orang tuanya hari ini. Besok dia tidak ada kuliah. “Mau nonton nggak?” “Hah?” mau tak mau Wendy menoleh. “Nonton? Emang lo nggak ada kelas?” ia kira saat Pane nongkrong dengan teman-temannya tadi adalah untuk menunggu kelas selanjutnya. Tapi Pane menggeleng memberitahu bahwa ia sudah tidak ada kelas. Wendy sebenarnya tak ingin pergi dan tidak pernah punya rencana untuk pergi nonton dengan Pane. Tapi entah kenapa kali ini ia berikan jawaban iya pada Pane. Laki-laki itu tampak sangat senang karena ia pun agaknya tak menyangka Wendy akan mengiyakan ajakannya. Mereka pergi dengan mobil Pane. Wendy menyadari bahwa Pane sepertinya memang benar-benar dari keluarga kaya raya. Mobil yang Pane tunggangi sepertinya tidak banyak dimiliki oleh anak di kampus mereka. ... Mereka masuk ke studio tepat di detik-detik terakhir film akan dimulai. Wendy sembarangan saja sebenarnya memilih film yang akan mereka tonton. Untungnya mereka tidak perlu menunggu lama karena ada film yang diputar pada jam tersebut dan masih banyak kursi tersedia. Sepertinya film itu tidak terlalu populer atau memang sudah di ujung masa penayangan di bioskop. Mereka duduk di barisan ke tiga dari atas di kursi paling ujung. Film sudah dimulai. Wendy mencoba untuk fokus pada layar besar di depan sana. Sepertinya film yang mereka pilih bertema romantic comedy. Entah karena ia sudah lama tidak menonton ke bioskop atau karena memang filmnya bagus, Wendy cukup menikmatinya. Ia bahkan sesekali tertawa jika ada adegan lucu. Sampai ponselnya bergetar. Awalnya Wendy cuek, tapi kemudian ponsel itu bergetar lagi membuatnya mau tak mau meraba-raba ponsel itu di dalam tas. Wendy kira itu adalah pesan dari mamanya yang mungkin menanyakan tentang kepulangannya hari ini. Tapi fokus Wendy buyar seketika saat melihat satu nama yang muncul di layar ponselnya. Wendy bahkan tak perduli lagi pada layar besar di depan sana. Ia bahkan tak ingat bahwa ada Pane di sebelahnya hanya karena nama Yuan di layar benda pipih itu. “Kenapa?” tanya Pane akhirnya saat menyadari bahwa perhatian Wendy sudah tidak ada di sana. “Gue harus pulang,” jawab Wendy bahkan tak menoleh sama sekali pada Pane. Matanya tertuju lurus pada layar ponselnya. Ia membalas dengan cepat pesan Yuan. “Sekarang?” “Hm..” Wendy langsung bangkit dari duduknya. Ia tak menunggu respon Pane. Wendy bahkan tak mau repot-repot melirik laki-laki yang tadi pergi bersamanya itu. Ia pergi begitu saja seolah tak ingat apapun lagi selain Yuan yang kini sedang berada di rumah kakak sepupunya. ... Wendy benar-benar seperti lupa pada sekelilingnya. Seperti orang bodoh ia sudah duduk di kursi taman depan rumah Lintang, kakak sepupunya yang tak lain adalah sahabat baik Yuan. Ia menonton Yuan yang sedang asyik bermain basket bersama Nino. Lintang datang dengan nampan berisi minuman dan beberapa cemilan seperti kue dan puding. Ia perhatikan arah mata Wendy. Lintang lantas geleng-geleng. Ia mengenal adik sepupunya itu dan tau bahwa Wendy amat sangat menyukai Yuan. “Dari mana kamu? Dari kampus langsung ke sini?” tanya Lintang. Wendy menggeleng. “Kak Yuan udah lama di sini?” Lintang menghela napas, menoleh ke arah pandangan Wendy. Yuan terlihat asyik bermain bersama Nino, sahabat Lintang lainnya. “Baru kok, sekitar setengah jam sebelum kamu datang.” Wendy tersenyum perlahan. Semarah apapun ia pada Yuan, semuanya akan luluh seketika hanya dengan menatap laki-laki itu. Cintanya memang sudah separah itu. Wendy bahkan pernah berpikir bagaimana ia akan melanjutkan hidupnya jika suatu saat nanti Yuan benar-benar menikah dengan Luna. Bagaimana ia bisa menghadapi hidup tanpa Yuan. Jika hanya sekedar pacaran maka masih ada peluang. Tapi bagaimana jika Yuan dan Luna menikah. Bukankah itu akhir semuanya? Tak ada harapan baginya dan Yuan bersatu. Akhir-akhir ini mimpi buruk itu menghantui Wendy. Sebab Yuan sudah berada di ujung kuliahnya. Wendy juga tau dalam kuliahnya Yuan pun sudah meniti usahanya dan bisa dibilang sudah sangat lumayan. Intinya sangat memungkinkan jika Yuan ingin langsung menikah setelah wisuda. “Ngelamunin apa?” Lintang menyentak Wendy dari lamunannya. “Kak,” Wendy menatap sang kakak sepupu. Perempuan berambut pendek sebahu itu membalas tatapan sang adik sepupu. “Yuan sama Luna nggak ada target menikah cepat kan?” Lintang hampir tersedak kuenya. “Astaga, pertanyaan kamu dek.” Lintang bergegas meneguk minumnya. Kerongkongannya tiba-tiba kering. Sebagai sahabat tentu saja Lintang tau seluk beluk hubungan Yuan dan Luna. Yuan memang terang-terangan mengenalkan Luna pada sahabat-sahabatnya, terutama Lintang. Bahkan sejak awal Yuan menyukai Luna ia sudah mengatakannya pada Lintang. Hal itu juga yang membuat Lintang jadi serba salah. Di satu sisi Yuan adalah sahabatnya tapi di sisi lain Wendy adalah adik sepupunya. Sebenarnya jika saja Wendy bertemu Yuan sedikit lebih cepat daripada Yuan bertemu Luna kejadiannya mungkin tak akan seperti ini. Sebab saat Yuan membuat pengakuan pada Lintang tentang Luna hanya berjarak satu minggu sebelum Wendy bertemu Yuan. Sebenarnya Yuan pernah mengatakan Wendy manis saat ia melihat foto Wendy di ponsel Lintang. Jika saja Wendy dan Yuan lebih dulu bertemu mungkin akhir mereka sudah bahagia sejak lama. Tapi namanya juga takdir, siapa yang bisa menebaknya. “Kak Yuan pernah bilang mau nikah cepet nggak sama kakak?” tanya Wendy lagi. “Hngg,” Lintang terlihat berpikir. “Nggak tau deh ya.” Wendy mengerucutkan bibirnya. “Bohong. Kakak pasti tau. Kak Yuan kan cerita semuanya ke kakak. Ya minimal dia cerita gitu ada pikiran mau nikah muda..” Lintang menghela napas. “Kalau ada kamu mau apa?” “Ya nanya aja dulu. Nanti mau apanya aku pikirin belakangan..” Lintang geleng-geleng mendengar penuturan sang adik. Ia tau kalau Wendy cinta mati pada Yuan tapi setiap mendengar penuturan Wendy yang blak-blakan ia tetap takjub. Kadang ia merasa tak habis pikir. Sebagai wanita Lintang memang mengakui kalau Yuan itu menarik, meski sebagai sahabat tentu ia punya pandangan berbeda. Tapi melihat adik sepupunya begitu tergila-gila pada sahabatnya itu kadang membuat Lintang bertanya-tanya. Apa yang begitu istimewa dari Yuan? Ponsel Wendy yang tergeletak di atas meja berdering, membuat Lintang ikut melirik. Nomor tanpa nama tertera di layar. Namun setelah meliriknya sekali ekspresi Wendy menunjukkan bahwa ia tak berminat untung menjawab panggilan itu. Tak lama layar kembali berwarna hitam. Lalu ada beberapa pesan masuk. Selang beberapa detik ponsel berdering lagi menampilkan nama Bibi. “Hm hallo..” [....] “Di rumah, kenapa?” [....] “Iya. Hmm,” Wendy memutar bola matanya malas. Tak lama sambungan selesai. Lintang menatap adik sepupunya itu penuh tanya. “Kenapa Bibi nelpon?” tanyanya. “Nanyain lagi di mana..” perhatian Wendy sudah kembali tertuju pada Yuan. Sepertinya suasana hati Wendy sudah kembali menjadi baik. “Kenapa nanyanya kayak keburu-buru gitu kayak kamu habis hilang aja..” Wendy menghela napas. “Terus nomor yang tadi kenapa nggak diangkat pas nelpon?” Wendy akhirnya menoleh pada Lintang. “Yang nelpon nggak penting makanya nggak di angkat. Udah nggak usah bahas itu lagi bikin hilang mood aja. Aku mau menikmati pemandangan indah jangan diganggu..” Kini gantian Lintang yang menghela napas. Sungguh sudah kehabisan kata-kata. “Kenapa?” Yuan mengerutkan kening dan tersenyum bingung menatap Wendy dan Lintang bergantian. Ia mengambil air mineral di atas meja dan meneguknya. Wendy hanya tersenyum sambil menggeleng pelan. Lintang bisa apa jika sudah begini? “Mau main nggak?” tanya Yuan yang langsung dibalas Wendy dengan anggukan. Keduanya kembali ke lapangan meninggalkan Lintang yang tampak tengah berpikir. Lintang merasa ia tak bisa diam saja. Ia takut suatu saat salah satu dari dua orang penting dalam hidupnya itu akan terluka parah. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD