Chapter 1

1061 Words
“Pengantin pria dipersilahkan untuk mencium pengantin wanita.” Barbara memutar bola matanya malas saat mendengar pendeta mengatakan hal tersebut. Kini ia sudah resmi menjadi istri dari William Harvord. Ditatapnya William yang menunjukkan ekspresi datar. Dibanding dirinya, acting William sepertinya jauh lebih baik. Lelaki itu jelas menunjukkan betapa bahagianya ia di pernikahan ini. Kepalsuan yang begitu jelas. Wajah William mendekat dan saat itu juga Barbara reflek memejamkan mata ketika merasakan sapuan lembut di bibirnya. Hanya pagutan kecil yang terasa lembut dan tidak menggebu. Barbara pikir itu akan berlangsung sebentar saja. Akan tetapi ia langsung membuka mata saat pagutan bibir William itu tiba-tiba berubah menjadi pagutan yang menuntut. Suara riuh tepuk tangan membuat Barbara langsung memegang d**a William dan berusaha mendorongnya agar ciuman itu terhenti. Sudah terlalu lama dan itu memalukan bagi Barbara. William akhirnya menghentikan ciuman itu saat bisa merasakan Barbara mulai kehabisan napas. “Welcome to our new life, Mrs. Harvord.” William mengatakan itu dengan suara kecil yang hanya didengar Barbara. Setelah itu ia lantas menjatuhkan kecupan di kening istrinya. *** Pesta resepsi pernikahan William dan Barbara malam ini berlangsung dengan sangat meriah. Berlangsung di hotel bintang lima milik keluarga Harvord yang terletak di Los Angeles. Semuanya terasa antusias kecuali Barbara. Ia tahu alasan dibalik megahnya pesta ini. Sebuah kedok yang sempurna untuk menjaring lebih banyak kolega bisnis. Sekaligus mengumumkan pada dunia kalau Harvord Grup dan Huntington Grup akan bekerja sama mulai dari sekarang. Saat sedang menguap karena bosan, Barbara dihampiri oleh Wilson. “Mau berdansa, kakak ipar?” tawar lelaki itu. Barbara dengan senang hati mengiyakan penawarannya. Wilson dengan sopan membungkuk dan meminta tangan Barbara untuk digenggamnya. Attitude sebelum dansa dimulai. Barbara juga membungkuk dan kemudian meletakkan tangannya di atas tangan Wilson yang kemudian segera digenggam oleh lelaki itu. Mereka mulai berdansa. “Seharusnya aku yang menjadikanmu Mrs Harvord, Barbara.” Wilson mulai merengkuh pinggang Barbara. Tuxedo hitamnya nampak matching dengan gaun berwarna hitam yang Barbara kenakan. Sengaja Barbara pilih warna hitam sebagai warna dressnya untuk resepsi malam ini. Sebagai bentuk berkabung karena menikah dengan William. Bahkan sebenarnya Barbara ingin gaun pernikahannya berwarna hitam saja jika bisa. Barbara yang awalnya hanya memegang pundak Wilson pun kini jadi mengalungkan kedua tangannya di leher lelaki itu. Sedikit pun tidak merasa canggung. “Benar. Jadi kenapa kau tidak melakukannya, Wilson? Seharusnya bersamamu ku habiskan malam ini.” Wilson mengangkat sudut bibirnya. Ia kenal dekat dengan Barbara karena mereka satu angkatan saat di kampus dulu. Itu sebabnya mereka tidak canggung untuk bicara seperti ini. Juga tidak menganggapnya serius. Justru orang lain yang selalu menganggap mereka berdua serius setiap kali membicarakan hal seperti ini. Interaksi mereka memang unik. “Ah, sayang sekali kau berakhir menjadi iparku seperti ini. Babe,” bisik Wilson. Barbara terkekeh. Wilson pun tersenyum. Ah seharusnya sejak tadi Wilson mendekatinya. Jadi Barbara tidak merasa bosan di acara yang penuh kepalsuan ini. “Kau seharusnya menghampiriku sejak tadi.” “Kau tahu bahwa aku sibuk. Berperan menjadi adik yang bahagia di hari pernikahan kakaknya.” “Jadi kau tidak bahagia?” ledek Barbara. Padahal ia jelas bisa melihat kebahagiaan itu di sorot mata Wilson. “Bagaimana menurutmu?” Barbara pun pura-pura berpikir. “Entahlah. Jadi katakan. Kenapa si William itu bisa tiba-tiba menikahiku dan bukannya dirimu?” tanya Barbara serius. Wilson menatap lekat wajah Barbara di hadapannya. Jarak mereka terlalu dekat kini. Kalau ada yang tidak tahu wajah pengantin pria, pasti mengira Wilson adalah orang yang menikah dengan Barbara. Saking intimnya mereka berdansa. “Dia menginginkanmu,” bisik Wilson. Barbara mengangkat satu alisnya. “Oh ayolah. Helios pun tahu kalau aku bukan tipenya William.” Helios itu kuda kesayangan Barbara. Wilson pun terkekeh mendengarnya. “Memangnya seperti apa tipe kakakku?” pancing Wilson. “Yang jelas bukan seperti aku, Wilson sayang.” Wilson pun tersenyum kemudian menghela napasnya. Merasa prihatin melihat Barbara. Padahal perempuan itu tidak menunjukkan kesedihan sedikit pun. Wilson mulai berbisik tepat di dekat telinga Barbara. Menjadikan posisi mereka seolah sedang berpelukan. “Biar ku beri tahu, Barbara. Daddy sedang mengadu domba kami bersaudara untuk memilih siapa yang paling pantas menjadi putra mahkotanya. Jadi kurasa William cukup berambisi menginginkan ini sejak daddy tidak menyetujui hubungannya dengan Ivory. Daddy ingin segera memiliki cucu dan aku yakin-” Bisikan Wilson itu terhenti karena terdengar suara William. “Kau sudah terlalu lama bersama istriku, Wilson.” Wilson segera menjauh dari Barbara. Dansa mereka pun berakhir. Barbara ingin menahan tubuh adik iparnya itu karena ia masih ingin mendengar lanjutan informasi yang tadi. Itu adalah informasi yang sangat penting. Akan tetapi niatnya itu disadari oleh William sehingga lelaki itu mengatakan hal yang membuat Wilson menggelengkan kepalanya kepada Barbara. Pertanda mereka benar-benar harus mengakhiri dansa ini. “Aku ingin berdansa dengan istriku, Wilson.” Peringatan dari ucapan William yang terkesan dingin itu membuat Wilson mengakhiri dansanya dengan mengecup punggung tangan Barbara. “Senang berdansa denganmu, kakak iparku Sayang.” Setelah itu tangan Barbara yang digenggamnya pun ia serahkan kepada William. William tidak mengatakan apapun selain langsung merengkuh pinggang Barbara dan menarik tubuh perempuan itu mendekat hingga membentur tubuhnya. Ekspresinya datar namun sorot matanya tajam menatap Barbara. “Bahkan belum genap 24 jam kita menikah, kau ingin menciptakan skandal dengan adik iparmu?” tanya William. “Kenapa? Seharusnya kan dia yang menjadi suamiku.” Satu tangan William yang berada di punggung Barbara pun mendorongnya maju. Membuat tubuh mereka berhimpit sampai sesak. William bisa merasakan d**a perempuan itu. “Semua orang melihat betapa intimnya kau dengan adik iparmu. Apa kau tidak tahu malu, Barbara?” Hembusan napas William itu terasa menerpa wajahhnya. Barbara pun mendorong d**a lelaki itu agar jarak tubuh mereka bisa terasa lengang sedikit namun tenaga William terlalu kuat. “Aku kesulitan bernapas,” ucap Barbara. “Benarkah? Kalau begitu biar aku bantu berikan napas buatan.” Bibir William itu tahu-tahu memagut bibir Barbara dengan kasar. Barbara tidak bisa menahan diri untuk tidak memberontak. Ia pikir William seperti rumor yang selalu ia dengar selama ini. Gelar good boy yang disematkan pada William sama sekali tidak cocok bagi Barbara. Perlawanan Barbara itu melemah. Saat ia benar-benar sudah kehabisan napas, bisa dirasakannya mulutnya terbuka dan William memberikan napas buatan. Tidak berlangsung lama, karena setelah itu William menjauhkan wajahnya. Mata mereka bertatapan saat keduanya sedang menghirup oksigen sedalam-dalamnya. Jemari William kemudian mengusap bibir Barbara itu. “Maaf membuat bibirmu menjadi bengkak, istriku. Aku jadi semakin tidak sabar untuk malam pertama kita,” ucap William sarkas.

Great novels start here

Download by scanning the QR code to get countless free stories and daily updated books

Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD