BAB 3

1148 Words
Ketiganya berkeliling supermarket untuk membeli bahan-bahan yang digunakan untuk membuat mochi kesukaan Caca. Memilih ini dan itu yang dibantu oleh Nafla membuat Caca semakin bersemangat. Sementara Asgaf kebagian membawa keranjang belanjaan mereka. “Kak, coklat atau strawberry?” tanyanya untuk isi dalam mochi. Nafla mengerutkan dahinya sebelum memutuskan. “Gimana kalau kita buat rasa variasi? Ada coklat ada strawberry?” Mata Caca melebar dan mengangguk antusias. “Wah boleh, Kak.” Ia segera melirik Papanya yang berjalan di belakang mereka. “Pa, Caca ambil dua ya?” “Iya, Sayang,” balas Asgaf sebelum membiarkan puterinya memilih apapun yang diinginkan. Saat Caca hendak menaruh coklat dan strawberry ke dalam keranjang buahnya, matanya menangkap sosok ibunya yang membuatnya menjatuhkan begitu saja coklat dan juga strawberry tepat ke dalam keranjang. Ia berlari dan berdiri tepat di belakang Nafla seakan ketakutan. “Lho, kenapa Ca?” tanya Nafla sambil melihat lengan mungil Caca melingkari pinggangnya. “Hey, kamu kenapa?” “I-itu,” tunjuknya pada sosok ibu kandungnya yang kini juga menatapnya dengan pandangan kaget. Asgaf langsung mengetatkan rahangnya sebelum menggendong puterinya lalu menarik tangan Nafla untuk menjauhi wanita yang sudah membuat luka di hati mereka. Rena... Entah kebetulan seperti apa yang kembali membuat mereka bertemu seperti ini. “Kita belanja di tempat lain,” gumam Asgaf yang membuat Nafla mengangguk tipis sambil melihat tangannya yang digenggam erat dan Nafla yakin akan meninggalkan bekas merah disana. Ia melirik ke belakang dimana wanita yang ditakuti oleh Caca mengejar langkah mereka dengan tergesa seakan takut kehilangan jejak mereka. “Mas Asgaf...,” panggil suara lembut itu. Membuat Nafla lagi-lagi merasa bersalah karena tak tahu kapan Asgaf akan melepaskan tangannya. “Mas, tunggu!” Nafla melirik ke belakang dan melihat wanita itu yang kesulitan mengikuti langkah mereka. Semakin lama, Nafla semakin curiga bahwa wanita itu adalah mantan istri dosennya ini. Oh astaga... Kenapa ia harus terjebak disituasi seperti ini? Bagaimana jika mantan istri Pak Asgaf salah paham? Apa yang harus ia lakukan? “Mas Asgaf tunggu!” teriaknya lantang sambil menghela napas terengah. Nafla akhirnya bisa mendesah lega saat tangannya yang dicekal kuat terlepas. Ia melihat bahwa tangannya benar-benar memerah dan mengelusnya disana. Wajah Asgaf bisa dikatakan tidak ramah sama sekali. “Ada perlu apa?” “Aku ingin ketemu anakku, Mas. Kumohon,” Asgaf tersenyum sinis, “Anakmu bahkan tidak ingin bertemu denganmu, Rena!” desisnya kejam. Membiarkan wajah Caca terus berada di ceruk leher kokohnya tanpa melihat sang ibu. “Tapi, aku tetap ibunya, Mas,” seru Rena frustasi. Dua tahun ini ia mencoba untuk terus menemui Caca yang selalu berakhir gagal. Ia benar-benar mencintai puterinya itu dan nyaris gila saat Asgaf membawanya tanpa aba-aba. “Aku tahu, ini pasti gara-gara dia yang sudah meracuni pikiran Caca, ‘kan?” tunjuk Rena pada sosok Nafla yang terlihat shock akan tuduhan itu. “Ini tidak ada hubungan dengannya!” bentak Asgaf tidak suka. “Sudah kukatakan, jangan pernah memperlihatkan wajahmu lagi didepanku.” Rena menggeleng tegas. “Iya, pasti dia yang sudah mencuci otak anakku!” Nafla mundur selangkah melihat wanita bernama Rena hendak menghampirinya. Lalu, tak disangka bahwa Asgaf lebih dulu memasang badan untuk melindunginya. “Jangan menyentuhnya, Rena atau kamu tahu akibatnya!” Rena langsung tersenyum miring. Penampilannya terlihat sangat kacau. “Ah, jadi dia juga sudah merebut hatimu, Mas. Kamu jahat, Mas! Kenapa kamu lakuin ini sama aku?” Asgaf tersenyum mengejek. “Kamu seharusnya tanya diri kamu sendiri!” jawabnya sebelum menyuruh Nafla masuk ke dalam mobil dan menyusul gadis itu. Memberikan Caca kepada Nafla sebelum mengemudikan mobilnya dengan cepat. Meninggalkan Rena yang kembali ditinggalkan tanpa perasaan. ●●● “Maaf, Na,” gumam Asgaf pelan sambil melirik Nafla yang terlihat shock dengan kejadian barusan. “Kamu nggak pa-pa, ‘kan?” Nafla menarik napas dalam-dalam dan menggeleng pelan, “S-saya nggak pa-pa, Pak. Cuma kaget.” “Dia ibu kandung Caca, mantan istri saya.” Dan entah kenapa Asgaf memilih bercerita. “Kami cerai karena suatu hal yang tidak bisa kuterima.” Nafla yang memangku Caca yang tertidur lelap karena lelah menangis hanya bisa mendengarkan. Ia bingung ingin merespon bagaimana. “Tidak apa-apa, Pak.” Asgaf meliriknya sekilas sebelum mengulurkan tangannya, “Lihat tanganmu,” ujarnya membuat Nafla menggeleng cepat. “Tidak usah, Pak. Saya—” “Kemarikan tanganmu, Na!” tegasnya yang membuat Nafla kembali menelan salivanya takut akan nada otoriter tersebut. Ia mengulurkan tangannya dengan lengan yang memerah akibat cengkraman Asgaf sebelumnya. Asgaf meraih tangan Nafla dan mengelus pergelangan gadis itu. “Apakah sakit?” “Tidak, Pak,” ia hendak menarik tangannya, namun Asgaf menahannya. “Tapi, ini memar, Na. Kita kerumah sakit.” Nafla mendelik dan menggeleng. “Pak, saya tidak apa-apa.” Dengan sedikit kuat, Nafla menarik tangannya. “Hanya memar sedikit dan saya yakin besok sudah baikan.” “Maafin saya, Na. Tidak seharusnya kamu terlibat dalam masalah saya.” “Kita tidak mampu menduga apa yang akan terjadi, Pak. Jangan salahkan diri Bapak. Saya juga tidak memberitahu siapapun tentang hal ini dan saya harap Bapak merahasiakannya juga dari Ibu bapak agar beliau tidak khawatir.” Karena Nafla tahu bagaimana susahnya seorang ibu ketika merasa khawatir. Asgaf menatap Nafla sedikit lebih lama sebelum kembali fokus pada jalanan di depannya. Bibirnya bergerak tersenyum tipis sebelum bergumam, “Terima kasih, Na.” ●●● “Caca tidur?” tanya Viona saat melihat Asgaf masuk sambil menggendong puterinya sementara Nafla membawa belanjaan yang mereka beli di market terdekat. Asgaf hendak menjawab, namun puterinya lebih dulu terbangun. Menatap Omanya sebelum meminta turun dan berlari ke arah neneknya. “Oma...” Asgaf dan Nafla saling melirik satu sama lain, takut jika Caca menceritakan pertemuan mereka dengan Rena. “Kamu nangis?” tanya Viona melihat mata cucunya yang bengkak. Caca menggeleng pelan. “Kelilipan di jalan, Oma.” Ia tampaknya benar-benar mendengarkan apa yang sudah dikatakan oleh ayahnya untuk tidak mengatakan apapun pada sang nenek. “Ya ampun, kok bisa kelilipan gini sih, Gaf?” Asgaf mengambil belanjaan yang ada di tangan Nafla dan menjawab, “Karena banyak debu, Ma,” jawabnya tidak acuh membuat Viona mendengus seketika. “Kak Nafla,” panggil Caca yang sadar bahwa Nafla terdiam sedari tadi. Gadis kecil itu berjalan mendekati Nafla. “Kak Nafla jadi buat mochi sama Caca, ‘kan?” Nafla melirik Viona yang sudah membawa belanjaan mereka ke dapur. Menyisakan Asgaf yang berdiri tidak jauh dari mereka. “Caca beneran udah nggak pa-pa? Gimana kalau Caca istirahat dan kita buat mochinya besok aja?” tawarnya lembut sambil memindahkan poni Caca yang menutupi matanya ke samping kiri. “Caca nggak pa-pa, Kak. Ayo, kak... Kita buat mochi.” Menggigit bibir bawahnya, Nafla terlihat ragu. Ia melirik Asgaf yang kini menatapnya intens seakan menantikan jawaban gadis itu. “Ya udah deh, kalau Caca nggak pa-pa, kita buat mochinya ya?” Caca dengan cepat mengecup pipi Nafla. “Ayo, kak,” ajaknya sambil menarik tangan Nafla dan membawanya ke dapur. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD