2 - Jangan Terluka

1420 Words
Lain kali, hati-hati. Jangan terlalu sering jatuh apalagi sampai terluka. ▫◻▫ Sore ini, Aileen Sifabella tidak bisa fokus mengerjakan tugas fisikanya. Gadis yang duduk di atas karpet berbulu di kamar sahabatnya itu justru terus-menerus memandang ke arah luar kamar. Memerhatikan pintu tertutup yang berada tepat di seberang kamar itu dan mengabaikan tugas sekolah yang sudah menanti untuk dikerjakan. “Kak Zulfan kok nggak keluar dari kamarnya, Reen?” tanya Aileen, namun diabaikan Reen karena sahabatnya itu sedang fokus mengerjakan tugas sekolahnya. “Dia lagi ngapain ya di dalem?” Aileen kembali bertanya lebih pada dirinya sendiri. Di jari gadis itu terdapat sebuah pulpen yang ujungnya ia ketuk-ketukan ke dagu dengan kening berkerut seolah ia tengah sibuk menebak kegiatan apa yang sedang dilakukan Zulfan. Sementara Reena Shaenette yang awalnya sedang fokus mengerjakan tugas fisikanya menghela napas lelah. Kepalanya menggeleng kecil mendengar pertanyaan tersebut. “Ai, lo datang ke rumah gue buat ngerjain tugas bareng-bareng, ‘kan?” Dengan polosnya, Aileen menganggukkan kepala tanpa mengalihkan perhatian. “Iya,” jawabnya pendek. “Kalo gitu, fokus!” Lalu, sebuah pensil melayang dan membentur kepalanya. “Aw!” Tidak sakit sebenarnya, tapi Aileen tetap menoleh dengan kesal. “Gue nggak bisa fokus pas tahu Kak Zulfan ada di kamarnya, tapi nggak keluar-keluar,” ujar Aileen dengan nada lesu di akhir kalimatnya sambil membalikan tubuh membelakangi pintu dan meraih buku tugasnya. “Gue ‘kan kangen pengin lihat dia,” lanjut gadis itu. Reen yang mendengarnya langsung bergidik geli. “Jijik banget sih lo!” sentaknya sambil memukulkan buku yang sudah digulung ke kepala Aileen. “Aw!” Lagi-lagi Aileen menjerit dramatis. “Sumpah ya lo kasar banget,” protesnya sebal. Lalu, seulas senyuman terukir di wajah Aileen beserta binar mata layaknya anak kecil, bahkan tubuh Aileen sedikit condong ke arah sahabatnyabyang duduk tepat di depannya “Ceritain semua tentang Zulfan, dong, Reen,” pintanya manis. Melihatnya, kedua alis Reen menyatu tanda terganggu, tangan kanannya yang memegang pulpen mendorong bahu Aileen agar menjauh darinya. “Apa sih yang perlu gue ceritain ke lo?” tanyanya menatap lurus-lurus pada Aileen. “Semua yang lo tahu aja ceritain,” kata Aileen semangat. Reen memejamkan mata erat, meletakan pulpen yang ia ke atas buku fisika lalu memandang Aileen serius. Mengira Reen akan bercerita membuat Aileen benar-benar mengabaikan tugasnya dan duduk semakin mendekat pada Reen dengan senyuman yang melebar sempurna dengan mata berbinar seperti anak kecil yang baru saja mendapatkan permen. Padahal Aileen hanya akan mendengarkan cerita tentang Zulfan. “Gimana-gimana? Zulfan gimana orangnya kalo di rumah? Nggak mungkin ‘kan dia cuma diem aja di kamar? Pasti banyak kegiatan yang dia lakuin, iya ‘kan?” tanyanya dengan semangat. Reen menghela napas, berusaha sabar menghadapi Aileen. “Pertama...,” Reen menggantungkan ucapannya. Aileen menunggu dengan tidak sabar. Kedua alisnya terangkat hingga membuat keningnya berkerut halus. “Pertama...,” Gadis itu membeo berharap Reen segera melanjutkan ucapannya. “Gue nggak dekat sama Kak Zulfan,” ucap Reen kemudian. Bahu Aileen seketika turun. Jelas bukan ini yang ia harapkan. “Kedua, berhenti tanya soal Kak Zulfan karena gue sama sekali nggak tahu!” Aileen mendengus kecewa. “Ah! Nggak mungkin lo ngg—“ “Ketiga!” Reen menyela cepat. Lalu, tangannya terangkat dan menoyor kepala Aileen dan berkata, “Kerjain tugas Fisika lo!” Bibir Aileen langsung maju beberapa senti, rasanya sebal bukan main. Kalau saja ia sedang tidak berada di rumah keluarga Reen, Aileen sudah pasti akan membalas apa yang Reen lakukan lebih parah dan kejam. Sayangnya, Aileen tidak ingin mengambil resiko, ia takut Zulfan akan melihat kelakuan gilanya. Ia tentu harus menjaga sikap agar Zulfan menyukainya. ▫◻▫ Sekarang, jam menunjukan pukul lima sore dan hujan sudah turun sejak satu jam yang lalu belum juga menunjukan tanda-tanda akan reda. Aileen yang berdiri di depan jendela kamar Reen menghela napas lelah. Sejak tadi, Aileen hanya diam memerhatikan hujan. Tugas fisikanya sudah selesai tiga puluh menit lalu dan ibunya sudah menelepon lebih dari tiga kali menyuruhnya untuk cepat pulang karena ada sepupu Aileen datang berkunjung. “Gue balik sekarang aja, deh,” ucap Aileen tiba-tiba. Reen yang sedang duduk bersandar di kasurnya sambil memainkan ponsel mendongak memandang Aileen. “Lo yakin?” tanyanya kemudian. Aileen meraih tas merah marunnya dari atas karpet bulu di kamar Reen. “Iya. Gue pesen taksi online aja,” jawabnya. “Gue balik dulu, bye!” “Hati-hati,” ucap Reen begitu melihat Aileen melangkah keluar kamarnya. “Oke!” sahut Aileen sambil lalu. Sambil menuruni anak tangga, Aileen mulai memesan taksi online lewat ponsel pintarnya san hanya membutuhkan beberapa menit hingga Aileen mendapatkan taksi tersebut. Kemudian, ia tinggal menunggu sekitar sepuluh menit hingga taksinya datang menjemputnya. Tepat setelah urusan memesan taksi selesai, suara petir terdengar begitu menggelegar bersamaan dengan suara benda jatuh menghantam lantai disusul suara teriakan seseorang. Aileen Langsung berjongkok sambil menjerit karena terkejut. Jantungnya berdebar begitu cepat. Bahkan, tangannya sampai gemetar ketika menyentuh d**a dan merasakan debaran jantungnya. Namun, suara benda jatuh lainnya disertai umpatan kasar berhasil mengalihkan perhatian. Aileen langaung berdiri dan mencari sumber suara yang berasal dari arah ruang keluarga. Matanya membulat lebar ketika menemukan Zulfan terduduk di lantai dekat meja dengan tangannya yang berdarah dan terdapat pecahan beling berserakan di lantai. Spontan, Aileen berlari menghempiri Zulfan dan ikut duduk di samping laki-laki itu. “Ya ampun, Kak, lo kenapa?!” tanya Aileen panik. Gadis itu dengan cepat meraih tissue yang berada di meja dan membungkus luka di tangan Zulfan. “Gu-gue kepeleset pas lagi cari kunci mobil,” jawab Zulfan dengan suara bergetar. Mendengarnya, Aileen memandangi wajah Zulfan dan sadar bahwa saat ini Zulfan sedang ketakutan entah karena apa. “Gelasnya..., gue nggak sengaja jatohin gelasnya. So-sorry,” ujar Zulfan lagi. Aileen segera mengangguk dengan cepat. “Nggak apa-apa, Kak. Nanti biar gue yang beresin.” Lalu, Aileen membantu Zulfan berdiri dan duduk di sofa. “Gue ambil kotak obat dulu,” ucap Aileen. Namun sedetik kemudian ia sadar, Aileen tak tahu di mana kotak obat itu. “Eng ... Kak, kotak obatnya di mana?” Zulfan menarik napas dalam dan mengembuskannya perlahan. Terlihat jelas bahwa laki-laki itu berusaha keras untuk menenangkan dirinya sendiri. Lalu, ia menjawab, “Di lemari coklat itu, bagian atas.” Aileen memandang lemari yang Zulfan tunjuk, lalu segera melangkah ke sana dan mengambil kotak obatnya. Dengan hati-hati, Aileen membersihkan luka di tangan Zulfan akibat pecahan gelas itu menggunakan alkohol. Luka itu cukup besar dan dalam tepat di telapak tangan. Sepertinya, pecahan gelas tersebut menekan telapak tangan Zulfan ketika laki-laki itu menahan tubuhnya saat jatuh di lantai, persis seperti yang Aileen lihat tadi. Beberapa saat kemudian, luka tersebut sudah bersih. Aileen lalu membalutnya menggunakan perban dengan gerakan lembut, takut apa yang ia lakukan justru akan semakin menyakiti Zulfan. Namun, melihat Zulfan yang hanya diam tenang sambil memerhatikannya membuat Aileen yakin bahwa Zulfan tidak merasakan sakit sedikit pun. Tapi, Aileen bisa melihat segaris ketakutan di wajah Zulfan, membuat sebuah tanda tanya besar muncul di kepala gadis itu. Aileen berusaha mengabaikannya, tahu bahwa jika ia menanyakan hal tersebut akan membuat Zulfan tidak nyaman. Aileen mengingatkan diri sendiri bahwa salah satu misinya untuk menaklukkan Zulfan adalah membuat laki-laki itu nyaman terhadapnya. Dan menanyakan hal-hal seperti itu bukanlah cara yang tepat untuk membuat Zulfan nyaman. “Selesai,” ucap Aileen setelah telapak tangan Zulfan terbungkus perban. “Nggak sakit ‘kan, Kak?” Mata coklat terang Aileen yang jernih memandang iris mata Zulfan. Zulfan tak menjawab, hanya diam dengan mata yang tak lepas dari wajah Aileen. Malu, Aileen menundukan kepala. Berusaha menyembunyikan semburat merah di wajahnya. Bahkan, gadis itu sampai harus berdeham kecil untuk menenangkan detak jantungnya yang bertalu. Aileen tidak tahu apa yang harus dilakukannya sekarang. Berada di ruang keluarga hanya berdua dan duduk berdekatan sudah sukses membuat ia merasa canggung dengan suasana yang sama canggungnya. “Lain kali, hati-hati. Jangan terlalu sering jatuh, apalagi sampe terluka,” ujar Aileen berusaha memecah keheningan. Namun lagi-lagi, Zulfan tak merespons. Butuh beberapa detik waktu berlalu hingga Zulfan mengeluarkan suara. “Lo mau balik?” Namun, Zulfan malah menjawab pertanyaan Aileen dengan pertanyaan. Pelan, Aileen mengangguk mengiyakan. “Ya udah, biar gue anterin.” Seketika, mata Aileen melebar terkejut. “Serius?!” tanyanya tak menyangka. Zulfan mengangguk sambil bangkit dan kembali mencari kunci mobilnya yang ternyata berada di bawah bantal sofa. “Oke!” seru Aileen semangat. “Tapi, gue beresin pecahan belingnya dulu.” Lalu, Aileen berlari menuju dapur untuk mengambil sapu dan sebuah pengki. Begitu ia kembali ke ruang keluarga, ia langsung membersihkan lantai dari pecahan beling. Setelah selesai, Aileen dan Zulfan melangkah ke luar rumah menuju mobil yang terparkir di halaman. Tiba-tiba, dering ponsel mengejutkan. Aileen segera merogoh saku jas sekolahnya dan mendapati nomor tak dikenal tertera di layar. Aileen menggeser opsi merah, lalu notifikasi pesan yang berasal dari driver taksi online masuk. Isinya menanyakan posisi Aileen dan mengatakan bahwa sang driver sudah berada di titik lokasi sesuai maps. Namun, Aileen mengabaikannya dan men-cancel orderannya. Lalu, kembali melangkah dan masuk ke dalam mobil Zulfan. Ia tak peduli jika driver itu marah. Lebih baik ia dimarahi dari pada harus kehilangan kesempatan emas berada satu mobil dengan Zulfan. Membayangkan ia akan berduaan dengan Zulfan di mobil seketika membuat senyum Aileen merekah. Hari ini, Aileen benar-benar beruntung. ▫◻▫
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD