2. Prolog (2)

2001 Words
"Hosh, hosh." Freya tahu dia tengah berlari saat ini. Tapi gadis itu sendiri tidak tahu dia sebenarnya berlari untuk apa. Dadanya terasa begitu sesak, saat kakinya terus memaksa tubuhnya sendiri untuk berlari ke tempat tujuannya. Rumah. Freya tahu dia menuju rumahnya saat ini. Gadis itu mendengar berbagai jenis keributan, sebelum pandangannya jatuh pada sosok wanita yang terbaring berlumuran darah di kursi yang tampak begitu akrab. Ah. Freya akhirnya ingat apa yang baru saja terjadi. Jatungnya tiba-tiba saja berdegup semakin cepat, saat dia refleks berlari untuk menghampiri sosok yang sudah tidak berdaya tersebut. "MAMA!!!!" Freya berteriak, dan terbangun dari mimpi buruk yang menghantuinya ketika dia memejamkan mata sebelumnya. Gadis itu dengan panik berusaha turun dari ranjang asing tempatnya beristirahat saat ini. Air mata turun dengan deras dari pipinya, saat seseorang tiba-tiba menghentikan larinya yang sangat cepat. "Wow, wow. Nak, apa yang terjadi padamu? Tidak apa-apa. Kamu baik-baik saja oke?" Freya mendongkak untuk menatap pria dengan jas putih yang menghentikan larinya saat ini. Tangis Freya semakin kencang, saat dia memegang jas putih dokter tersebut dengan perasaan putus asa. "Mama....... Di mana mamaku, Dokter?" Melihat gadis kecil itu, dokter itu tentu saja tahu bahwa Freya merupakan pasien baru korban kekerasan dalam rumah tangga yang dibawa ke rumah sakit pada pagi ini. Dokter tersebut tersenyum lembut saat dia mengenggam tangan Freya. "Aku akan mengantarmu oke?" tawarnya dengan ramah. Freya dengan patuh mengangguk saat dia mengikuti dokter tersebut pergi ke ruangan lain. Di ruangan itu, sang ibu berbaring dengan luka yang menutupi hampir seluruh bagian tubuhnya. Freya tidak bisa menahan tangisnya lagi, saat gadis kecil itu berlari untuk menghampiri sang ibu yang belum juga sadar dari pingsannya. Melihat gadis malang itu, dokter tersebut tidak bisa tidak merasa kasihan saat dia mengusap rambut Freya dengan maksud untuk menghibur gadis kecil tersebut. Di ruangan itu, hanya ada suara isak tangis Freya yang mengisi ruangan tersebut. Freya mencoba menenangkan dirinya untuk beberapa saat, sebelum dia berbalik untuk menatap dokter baik hati yang terus mencoba menghiburnya sedari tadi. "Mama........ Mama akan baik-baik saja bukan?" tanya Freya dengan sedih. Dokter tersebut tersenyum, sebelum sekali lagi mengangguk yakin untuk menenangkan hati Freya yang tengah terluka kini. "Ibumu akan baik-baik saja. Selama dia banyak beristirahat di tempat ini, kami akan memastikan bahwa dia akan baik-baik saja." Mendengar jawaban dari dokter tersebut, Freya akhirnya merasa sedikit lebih tenang. Freya tersenyum kecil, saat dia bertanya lagi pada dokter tersebut. "Apa di rumah sakit ini........ Ada pasien lain yang datang bersamaku hari ini? Mereka seorang ibu dan anak juga. Mereka....... Yang membantu kami selamat sebelum ini," tanya Freya pelan. Untung saja dokter itu tidak sulit memberinya informasi itu. Dokter tersebut mengangguk. "Kebetulan, mereka juga ada di rumah sakit ini. Kamu ingin bertemu dengan mereka juga?" tanya dokter tersebut. Freya sekali lagi mengangguk. Dia harus berterima kasih pada Vano dan ibunya. Freya juga merasa dia harus minta maaf, karena telah membuat Alexa terluka sebelum ini. Seperti sebelumnya, Freya juga dengan patuh mengikuti dokter tersebut keluar saat dia sudah benar-benar memastikan bahwa ibunya baik-baik saja. Mereka baru saja keluar dari kamar rawat ibunya, saat dokter tersebut tiba-tiba menerima panggilan masuk. Freya diam seperti anak baik saat dokter tersebut mulai bicara dengan alis sedikit berkerut. Dari yang Freya tangkap, sepertinya tengah ada situasi darurat yang memerlukan pertolongan dari dokter yang akan mengantarnya menemui Vano saat ini. Dokter tersebut menghela nafas panjang, saat dia akhirnya menutup panggilan tersebut. Matanya perlahan turun untuk menatap Freya yang masih menunggunya dengan sangat sabar. Tidak seperti anak lain, Freya benar-benar berperilaku baik untuk anak seumurannya. Gadis kecil itu juga memiliki jiwa yang begitu tegar, walaupun dia baru saja mengalami kejadian yang menyeramkan pada hari ini. Dokter tersebut tidak tega meninggalkan gadis malang itu sendirian. Tapi dia harus pergi sekarang, tugas telah memanggilnya saat ini. "Paman, bisakah Paman memberi tahuku di mana mereka dirawat saja? Aku bisa bertanya pada suster jika aku sampai tersesat nanti." Freya tahu dokter itu tidak tega untuk meninggalkannya sendirian. Gadis itu tersenyum, mencoba meyakinkan dokter tersebut bahwa dia sudah baik-baik saja saat ini. Melihat keteguhan hati gadis itu, dokter tersebut akhirnya menyerah dan memberi tahu Freya letaknya di mana sebelum dia sendiri akhirnya pergi juga. Berbekal apa yang dokter tersebut katakan padanya, Freya akhirnya mulai menyusuri rumah sakit besar tersebut seorang diri. Seperti Vano, Freya juga sebenarnya merupakan anak yang cukup cerdas dibandingkan anak seumurannya. Menemukan tempat yang dia cari ternyata tidak sesulit itu, bahkan jika dia hanya mencari seorang diri saat ini. "KENAPA KAU BARU DATANG SEKARANG?!" Freya tiba-tiba berhenti melangkah saat dia mendnegar teriakan Vano dari jarak yang cukup dekat. Saat ini Freya hanya tinggal berbelok, sebelum dia bisa melihat Vano yang ada di ujung sana. Tapi mendengar teriakan frustasi Vano, Freya lebih memilih bersembunyi untuk melihat apa yang sebenarnya terjadi saat ini. Saat ini Vano tengah meneriaki seorang pria. Ini jelas hanya kemarahan satu pihak, karena Freya bisa melihat pria itu hanya terlihat sedih saat Vano meneriakinya pada saat ini. "Mama bilang Papa orang yang akan selalu melindungi orang yang dia sayang......... Hiks, Mama juga bilang Papa sangat menyayangi Mama dan Vano, dan akan kembali secepat yang Papa bisa jika Mama dan Vano butuh pertolongan Papa. Hiks, Papa tidak akan membiarkan Mama ditusuk pria itu jika Papa benar-benar menyayangi Mama seperti yang Mama katakan....... Hiks, Papa juga tidak akan membiarkanku keluar dari apartemen untuk menganggu konsentrasi Mama yang membuatnya lengah hingga ditusuk pria itu jika Papa kembali lebih cepat......." Dada Freya seakan diremat dengan erat saat dia mendengarkan setiap kata-kata yang diucapkan oleh Vano. Freya tahu. Sangat tahu bahwa semua ini merupakan salahnya yang terlalu ceroboh. Vano sedih karena dia, yang mencoba memaksa Vano keluar bahkan setelah anak itu mencoba untuk menghentikannya pada saat itu. "Jasper, cepat panggil dokter!" Freya tidak tahu berapa lama dia melamun. Tapi suara yang terdengar setelah itu hanya lah teriakan panik pria asing itu yang menggendong Vano yang pingsan dalam pelukannya. Orang-orang itu dengan cepat melewatinya untuk membawa Vano ke ruang rawatnya sendiri. Wali kelasnya bahkan tidak sempat melihat Freya yang sebenarnya berdiri sendirian di lorong besar itu. Gadis itu mulai menangis lagi tanpa mengeluarkan suara sekecil apa pun, saat dia akhirnya berbalik dengan langkah gontai. Vano merupakan teman pertamanya. Pemuda itu selalu memberikan banyak hal untuk Freya selama ini. Vano merupakan keberadaan yang berharga di hati Freya. Namun hari ini, Freya telah melihat Vano sedih karena akibat dari tindakannya sendiri. Freya telah mengacaukan semuanya. Gadis itu merasa benar-benar buruk saat ini. Dia bahkan mulai merasa malu untuk bertemu Vano lagi. Di tengah lorong yang sepi, Freya mulai menangis dalam diam. Semuanya tiba-tiba berantakan karenanya. Karena dia yang tidak sabar, banyak orang akhirnya menderita karena perbuatannya. Dengan langkah pelan, Freya akhirnya menghampiri ruang rawat Alexa. Tidak seperti ibunya, Alexa benar-benar tampak sekarat saat ini. Banyak peralatan yang terlihat menyeramkan bagi Freya tengah menempel di tubuh wanita itu saat ini. Freya saat ini mungkin tidak tahu apa kegunaan dari masing-masing alat itu. Tapi dia tahu Alexa sekarat, karena perbuatannya pula. "Maafkan aku Bibi Alexa......... Hiks, aku benar-benar menyesal telah menganggumu saat itu......." Dengan tangisan sedih, Freya mulai meminta maaf pada Alexa yang tertidur dalam ruangan itu. Wajahnya sudah benar-benar memerah, saat dia berusaha keras untuk menghapus air matanya setiap kali mereka keluar dari matanya yang sudah memerah. Freya tahu bahwa pria tadi kemungkinan besar memang ayah Vano yang selalu diceritakan pergi dan tidak pernah kembali selama ini. Freya takut, pria itu akan menemukannya jika dia terlalu lama diam di depan ruang ICU kini. Dengan langkah berat, Freya akhirnya pergi dari tempat itu. Bibirnya sesekali masih mengucapkan kata maaf, saat dia mengingat kembali tangisan sedih Vano sebelum ini. Dengan penampilan berantakan dan baju pasien, Freya bisa tahu bahwa banyak orang tengah menatapnya iba pada saat ini. Beberapa suster bahkan mencoba untuk berbicara dengannya. Tapi hati Freya tengah hancur saat ini. Gadis itu tidak ingin mengatakan apa pun, sampai dia kembali ke ruang rawat ibunya yang telah dia hafal sebelumnya. "Freya?" Mata Freya langsung membelakak, saat dia melihat sang ibu sudah sadar ketika dia kembali memasuki ruangan itu lagi. Freya buru-buru menutup pintu di belakangnya, sebelum gadis itu mendekati ibunya itu dengan wajah khawatir. "Mama....... Mama baik-baik saja? Apa..... Apa ada yang sakit? Ta, tadi....... Darah Mama banyak sekali........." Mata Nara menyendu saat dia melihat gadis kecilnya kembali sedih ketika tangan kecilnya mencengkram pakaiannya yang masih memiliki noda darah di dalamnya. Wanita itu perlahan mencoba bangkit, sampai Freya yang sebelumnya hanya menangis segara panik dan mencoba untuk membuat ibunya berbaring lagi. Tapi kali ini Nara menggeleng. Wanita itu tetap berusaha untuk bangkit bahkan ketika anaknya mulai merengek untuk protes. Lagipula bagi Nara, luka-lukanya saat ini hanya luka-luka dangkal yang tidak membahayakan nyawa. Dia akan baik-baik saja, selama dia bisa menahan perasaan perih yang mendera hampir seluruh tubuhnya begitu dia berusaha bangkit. "Mama, Mama harus banyak beristirahat........ Jangan dulu bangkit. Mama, Mama masih sakit." Dengan panik, Freya berusaha untuk membuat ibunya beristirahat kembali. Tapi lagi-lagi Nara menolak, saat wanita itu dengan limbung malah mulai berjalan ke arah jendela. Sepi. Nara merasa dia benar-benar beruntung, karena diberi kamar di bagian belakang yang kebetulan sepi dari orang-orang yang berlalu-lalang. Freya mungkin tidak tahu. Tapi bahkan sebelum Freya mengunjunginya tadi, seorang dokter dan polisi telah datang untuk meminta keterangannya tadi. Dari mereka juga, Nara akhirnya tahu bahwa suaminya telah mati setelah pria itu melukai Alexa dan anak-anak yang kebetulan juga ada di sana. Atas perintah seseorang, Freya dan dirinya sendiri memang ditempatkan di ruangan yang cukup bagus saat ini. Tapi Nara tidak tahu apa yang akan terjadi pada mereka selanjutnya. Suaminya hampir saja membunuh seseorang sebelum ini. Nara tahu, kehidupannya tidak akan sama lagi mulai sekarang jika polisi bermaksud memperpanjang kasus ini. Nara tahu bahwa dia sebenarnya merupakan korban juga di sini. Tapi dia sudah lelah. Dia hanya ingin pergi meninggalkan semuanya dan hidup nyaman bersama putri kecilnya kini. Belum lagi orang yang membiayai biaya perawatan mereka juga terlalu mencurigakan untuk dipercaya. Setelah mengalami kejadian yang menyeramkan, Nara hanya tidak bisa mempercayai siapa pun lagi saat ini. Dia berencana kabur sebelum seseorang bisa membawa mereka pergi. Sekarang merupakan kesempatan emas, sebelum seseorang akan datang memeriksanya lagi nanti. "Mama........" Melihat gelagat aneh ibunya, Freya segera mendekat untuk ikut melihat apa yang sebenarnya tengah diamati oleh ibunya saat ini. Tapi saat dia melihat halaman belakang rumah sakit yang sepi, alis Freya segera menyatu saat dia tidak mengerti apa yang ibunya pikirkan saat ini. "Freya, kita harus pergi dari tempat ini Sayang," ujar Nara memutuskan. Freya benar-benar merasa bingung dengan apa maksud ibunya saat ini. Gadis itu tengah berusaha untuk mencerna apa yang sebenarnya sang ibu maksud, saat Nara menuntun Freya untuk keluar bersamanya lewat jendela belakang dia buka dengan terburu-buru. "Mama, ibu Vano........" Freya tanpa sadar berhenti bicara saat dia merasakan bahwa genggaman sang ibu pada tangannya semakin mengerat ketika dia menyebutkan masalah Vano dan Alexa. Wajah wanita itu tiba-tiba berubah frustasi, saat dia menjelaskan semuanya sambil terus menyeret Freya untuk pergi dari tempat itu. "Itu yang menjadi salah satu alasan mengapa kita harus pergi sekarang Freya! Mama sudah mendengarnya tadi. Alexa....... Dia sebenarnya istri orang berpengaruh di negara ini kan? Suaminya pasti tidak akan diam jika sesuatu yang buruk sampai terjadi pada Alexa setelah ini. Orang kecil seperti kita, apa yang akan terjadi jika mereka sampai berusaha menyakiti kita Freya?" Freya tidak mengerti mengapa ibunya tiba-tiba takut pada Alexa kini. Padahal saat mereka bertemu untuk pertama kali waktu itu, mereka berdua cukup akrab untuk berbincang lama berdua. Belum lagi biaya rumah sakit. Freya tidak tahu, bahwa mereka seharusnya tidak bisa pergi sebelum seseorang membayar lunas biaya pengobatan mereka. Dengan linglung, Freya akhirnya diseret oleh ibunya untuk menyelinap pergi dari rumah sakit itu hanya dengan pakaian mereka yang berantakan. Mata Freya terus menatap ke arah gedung rumah sakit besar di belakangnya, saat perlahan mereka berlari semakin jauh dari gedung itu melalui celah-celah sempit yang berhasil sang ibu temukan. Vano........ Freya mencoba memanggil nama Vano perlahan. Berharap, panggilannya itu akan mencapai Vano yang tengah pingsan di salah satu ruang rawat yang ada di rumah sakit tersebut. Maafkan aku. Bisik Freya untuk terakhir kalinya. To be continued
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD