bc

Hati yang Kau Sakiti

book_age12+
187
FOLLOW
1K
READ
drama
bxg
highschool
slice of life
like
intro-logo
Blurb

Kisah tentang saudara kembar non identik, Vina dan Alvin. Vina, gadis yang periang dan mudah berteman. Sementara Alvin, pemuda yang sedikit pendiam, namun akan menjadi cerewet jika berhubungan dengan adik kembarnya.

Hari-hari di sekolah selalu mereka lalui bersama dan tak terpisahkan. Terlalu nyaman berada di sisi Alvin, membuat Vina tak pernah memikirkan soal asmara. Ditambah lagi, sifat Alvin yang memang protektif dan selalu berusaha menjauhkan Vina dari para serigala lapar di luar sana.

Sampai suatu hari Vina diselamatkan oleh seorang pemuda dari playboy yang berusaha menggodanya. Pemuda itu bernama Keenan. Siswa bermasalah yang selalu bolos dan keluar masuk ruang BK.

Pertemuan pertama itu ternyata membawa pengaruh pada Vina. Ia yang awalnya tidak tertarik dengan hubungan percintaan akhirnya mencoba mendekati Keenan perlahan-lahan. Mencoba melelehkan hati pemuda itu yang sedingin es.

Bagaimanakah kelanjutan kisah mereka?

Apakah Vina berhasil meluluhkan hati Keenan?

Lalu, apakah Alvin diam saja dan membiarkan adik kesayangannya dekat dengan siswa bermasalah itu?

chap-preview
Free preview
Part 1
"Aku lapar," keluh seorang gadis sambil merebahkan tubuh bagian depannya di atas meja. Rambut hitam panjangnya tergantung indah melewati bahu dan meja. Matanya menyipit serta bibirnya cemberut saat menyadari keluhannya tersebut tidak membuahkan hasil. Ekor matanya melirik singkat pada pemuda yang tengah asyik bermain game di ponselnya. Fokus menatap layar seolah-olah tidak ada orang lain di sekitarnya dan tentu saja mengabaikannya. "Ah ... lapar banget." Sekali lagi ia mengeluarkan keluhan dengan nada suara yang lebih tinggi dan sepertinya ia mendapatkan respon kali ini. Senyum tampak di wajahnya "Kalau lapar tinggal ke kantin dan beli makanan. Bukannya malah mengeluh nggak jelas kayak gini." Pemuda yang sedari tadi mengabaikannya berbalik padanya sebentar. "Kamu nggak berharap ada makanan yang tiba-tiba jatuh di depanmu sekarang juga, kan?" Pandangannya kemudian kembali fokus pada layar ponselnya, game yang sedang ia mainkan jauh lebih menarik ketimbang harus melihat wajah kusut adiknya. Vina mengerucutkan bibirnya merasa kesal, padahal ia sudah berharap kakaknya itu mau membelikannya makanan dengan senang hati. Namun sedetik kemudian ia menyeringai setelah mendapatkan ide yang menurutnya cemerlang, sedetik kemudian ia memasang wajah memelas yang ia harap akan berhasil kali ini. "Alvin, kakakku yang paling tampan seduni-" "Nggak!" Alvin menyela ucapan adiknya yang belum selesai itu, ia bahkan tidak ingin capek-capek hanya sekadar menoleh sebentar. Matanya masih tetap terfokus pada layar ponsel seolah-olah benda persegi itu akan lari saat ia melepaskan pandangannya sedetik saja. "Aku belum selesai bicara." "Tetap saja jawabannya nggak." Meskipun kesal Vina tetap memberikan senyum manisnya. Kedua tangannya bergerak menuju lengan kiri Alvin dan mulai memijat-mijatnya. Alvin yang diperlakukan seperti itu menatapnya dengan mata melotot sambil menyuruhnya berhenti tanpa mengeluarkan suara. Jelas sekali ia merasa kesal dan risih diperlakukan seperti itu apalagi menyadari beberapa tatapan mata mulai tertuju pada mereka. "Kamu nggak kasian sama adikmu yang paling manis, cantik, anggun dan jelita ini?" Vina menempelkan kedua telapak tangannya di pipinya sambil tersenyum manis dengan matanya yang berkedip beberapa kali. Sungguh rasanya Alvin ingin sekali menoyor kening adiknya yang ia akui memang cantik dan imut itu, hanya saja kelakuannya yang amit-amit tidak ubahnya penghuni kebun binatang yang cukup sering ia kunjungi. Ia hanya memberikan tatapan mengancam menyuruh adiknya untuk diam sebelum kembali fokus pada game di ponselnya. Ia bahkan tak ingin capek-capek mengeluarkan suaranya menanggapi rengekan adik kembarnya itu. Vina masih belum mengalah. Kali ini ia mengatupkan kedua tangannya sembari memberikan tatapan memohon. "Belikan aku makan, please. Tempat ini terlalu nyaman untuk kutinggal pergi. Kakiku terlalu lelah hanya untuk melangkah dan teriknya matahari akan merusak kulit indahku jika aku melangkah keluar dari istana ini." Alvin mendecakkan lidahnya dengan kesal, hilang sudah kesabarannya apalagi saat melihat tulisan besar Game Over terpampang nyata di layar ponselnya. Ia menatap Vina tajam, jika saja tatapan bisa membunuh mungkin adiknya itu sudah terkapar di lantai sekarang. "Pergi sendiri sana dan jangan ganggu aku lagi." Vina bungkam. Sungguh dalam hati ia mengutuk pemuda yang kembali sibuk dengan ponselnya itu. 'Benar-benar kakak yang durhaka,' batinnya. Ia masih sibuk mengutuk kakak kembarnya itu dalam hati dengan sumpah serapah yang ia pelajari dari temannya, sebelum perhatiannya teralihkan pada beberapa pemuda yang baru saja memasuki kelas sambil heboh bercerita dan tertawa bersama. Seolah ada lampu menyala di atas kepalanya, Vina mendapatkan ide brilian, ia mulai mengambil langkah mendekati para pemuda itu yang masih belum menyadari kehadirannya "Aduh." Ia berjongkok sambil memegangi perutnya, tak lupa memberikan ekspresi yang meyakinkan atas aktingnya tersebut. Kelompok pemuda di depannya berhenti berjalan, mereka kompak melihat ke arah Vina yang berjongkok di hadapan mereka. Mereka saling berpandangan sejenak seolah mengirimkan pertanyaan lewat telepati sebelum kembali menatap Vina yang semakin gencar melakukan aktingnya. "Ada apa?" Salah satu pemuda kemudian maju dan ikut berjongkok di hadapannya, wajahnya seputih kertas sedangkan rasa panik menyerangnya. Beberapa pemuda di belakangnya juga tak kalah paniknya. Mereka bahkan sesekali melirik Alvin yang masih setia di kursinya. Sama sekali tak terganggu dengan kejadian yang dialami adiknya. Mereka bingung antara harus menolong Vina dan mendapatkan pukulan sayang dari Alvin, atau mengabaikan Vina yang kesakitan seperti itu dan akhirnya tetap mendapatkan pukulan sayang dari Alvin. Dan sepertinya apapun pilihannya mereka akan tetap menemui akhir yang sama. Benar-benar pilihan yang sama sekali tidak membantu. Vina meraih tangan pemuda di hadapannya dengan ekspresi wajah yang serius membuat pemuda di depannya menelan ludah, semakin panik sambil menatap tangan Vina yang bertengger manis di lengannya. Sementara ekor matanya berkali-kali melirik punggung Alvin yang tidak memiliki tanda-tanda akan bergerak dari posisinya. Pandangannya kembali ia pusatkan pada gadis di depannya, berusaha mendengarkan dengan seksama ucapan yang akan ia keluarkan dengan degup jantungnya yang semakin nyaring terdengar di telinganya seorang. "Aku lapar." Kemudian dua kata itu membuat tubuh pemuda itu lemas seolah kehilangan beban hidup yang sudah ditanggungnya bertahun-tahun lamanya. Wajahnya yang semula seputih kertas kini kembali berwarna dengan ekspresi wajah yang seolah meragukan kewarasan gadis di depannya. Sedangkan teman-temannya di belakang beserta beberapa siswa lain yang kebetulan ada di kelas saat itu menganga bersamaan. Sungguh mereka seperti tak mengenal sikap gadis cantik itu yang memang terlalu aneh untuk dikatakan normal. "Astaga, percuma tadi aku sempat khawatir." Pemuda yang dipegang tangannya oleh Vina itu berdiri, mengajak teman-temannya untuk pergi dan berniat melewati gadis itu begitu saja. Namun sepertinya Vina masih belum menyerah, sikap keras kepalanya memang tidak ada obat dan tandingannya. Ia memegang celana pemuda itu sambil memohon, tak peduli jika celana pemuda itu melorot akibat tarikannya yang kencang. Sementara pemuda yang ditarik celananya itu berusaha menahan celananya sambil menahan malu. "Lepasin, Na! Celanaku hampir lepas ini." "Aku mohon, tolong aku. Kakakku yang tampan itu dengan kejamnya membiarkan adiknya yang cantik ini kelaparan." Telunjuk Vina yang ramping mengarah pada punggung Alvin yang seolah tidak mendengarkan setiap kalimat yang ia ucapkan. "Lepaskan dulu!" "Nggak mau!" "Lepas!" "Nggak!" Kehebohan mulai terjadi, ada yang tertawa melihat penderitaan pemuda yang ditarik celananya dan ada juga yang merasa kasian. Alvin yang sejak tadi hanya diam mulai merasa terusik, ia mengacak pelan rambutnya sebelum akhirnya beranjak dari duduknya. Dihampirinya adik kembarnya yang masih setia menarik celana pemuda di depannya dengan keras kepala dan tanpa peringatan ia mengangkat tubuh Vina selayaknya karung beras dan membawanya keluar dari kelas. Bukannya kaget, Vina malah berseru dengan senang. Senyumnya lebar seolah tidak punya beban sama sekali, bahkan sepertinya ia tak peduli dengan pemuda yang ia tarik celananya tadi itu sudah hampir terkena serangan jantung, terlebih saat mendengar suara robekan kain tadi yang membuat pemuda itu tak ingin beranjak dari posisinya. Belum siap menerima kenyataan tentang celananya yang robek. Ia menatap Vina seperti melihat sesosok hantu, sedangkan Vina hanya tertawa menanggapinya. "Yeay! Akhirnya bisa makan!" serunya tanpa dosa. *** "Kamu itu cantik, Na." Gadis dengan kuncir kuda itu meletakkan nampan berisi minuman dan cemilan di atas meja belajarnya. Tatapannya kemudian beralih pada gadis yang sedang membaca majalah di atas ranjang dengan santainya, tangan gadis itu sesekali mencomot cemilan yang baru saja ia bawa. "Aku memang cantik dari dulu." Vina menyahut tanpa melepaskan pandangan dari majalah di depannya. Bibirnya sibuk mengunyah tak peduli dengan posisinya yang sedang berada di atas kasur. Anggi menghela napas, seperti tak acuh dengan fakta bahwa tamunya itu dengan tidak sopannya makan di atas ranjangnya. "Makanya sekali saja bertingkah layaknya perempuan normal." "Percuma, Nggi. Dia itu terlalu bodoh untuk kamu nasehati." Alvin yang sedang bermain game sambil bersandar di pinggir ranjang menimpali. Sesekali ia melirik gadis yang berstatus kekasihnya itu dengan pandangan seolah-olah permintaannya adalah hal yang mustahil. "Aku nggak bodoh!" Vina meletakkan majalah yang dipegangnya kemudian meraih boneka Teddy bear milik Anggi dan memeluknya seakan-akan itu adalah miliknya sendiri. Kegiatan mengemilnya terhenti sejenak, sementara tatapan tajamnya ia layangkan pada sosok yang sedang membelakanginya tersebut. "Seperti yang tadi aku bilang." Anggi duduk di sisi ranjang tepat di samping Alvin. Pandangannya terpusat pada Vina yang masih melayangkan tatapan tajamnya. "Kamu terlalu cantik untuk bersikap konyol seperti itu, Na. Padahal kalau mau, kamu bisa menggaet hati setiap siswa di sekolah." "Untuk apa?" Sebelum Vina sempat mengeluarkan suaranya, Alvin terlebih dahulu bertanya. Tatapan matanya memperlihatkan ketidaksukaan atas kalimat kekasihnya itu. "Dia masih terlalu kecil untuk pacaran," lanjutnya dan sekonyong-konyong sebuah bantal langsung mengenai telak wajah tampannya. "Siapa yang kamu bilang anak kecil? Aku hanya lahir lima menit setelah kamu. Jadi jangan sok tua, deh!" "Siapa yang sok tua?!" Alvin mencengkeram bantal yang baru saja menabrak wajahnya itu dengan ekspresi kesal. "Kenyataannya kamu memang masih anak kecil!" "Anak kecil nggak usah teriak anak kecil!" Alvin menggeram kesal. "Siapa yang kau sebut anak kecil?!" Vina menutup kedua telinganya. "Aku nggak dengar. Aku nggak tahu apa-apa. La la la la la." Melihat tingkah adiknya yang seperti itu membuat kemarahan Alvin semakin memuncak. "Dasar adik durhaka!" Kemudian ia mengunci leher Vina dengan lengannya yang langsung mendapatkan protes dari gadis itu. "Lepaskan bodoh! Kau mau membunuhku?" "Apa? Aku nggak dengar. Lagipula di sini nggak ada yang namanya bodoh." Anggi yang menyaksikan pertengkaran kakak adik di hadapannya hanya geleng-geleng kepala. Ini sudah sering terjadi, jadi setidaknya ia sudah terbiasa dengan pemandangan seperti itu. Meskipun ia akui, melihat sikap kedua sosok itu terkadang membuatnya seperti berada di rumah orang lain. Padahal justru mereka berdua lah tamu di rumahnya ini. Benar-benar tamu yang merepotkan. *** "Kami pulang!" Vina berseru sambil melepas sepatunya dan meletakkannya di atas rak yang memang tersedia di samping pintu. Kemudian ia mengikuti langkah Alvin yang sudah berjalan masuk melewati ruang tamu dan memasuki kamarnya. "Kalian sudah pulang?" Sahutan dari dalam dapur membuat Vina yang awalnya ingin mengistirahatkan tubuh di dalam kamarnya yang persis di samping kamar Alvin mengurungkan niatnya. Setelah melempar tasnya ke atas ranjang, ia berjalan menuju dapur dan menemukan sosok wanita yang masih tampak muda di usianya yang sudah kepala empat. Wanita yang sudah berjasa melahirkannya dan Alvin ke dunia ini. Ia memeluk tubuh yang lebih tinggi darinya itu dan menikmati kehangatannya yang akhir-akhir ini sangat jarang ia dapatkan, karena kesibukan kedua orangtuanya yang mengharuskan mereka untuk selalu keluar kota. "Mama masak apa?" "Masak sup ayam kesukaanmu. Cepat panggil Alvin dan papa kamu untuk makan bersama. Sebentar lagi mama selesai." Amirah mengaduk sebentar sup di depannya dan mencoba rasanya. Merasa tak terganggu sama sekali dengan pelukan anak bungsunya di pinggangnya. "Vina masih ingin di sini." Vina memberikan suara merajuk. Daripada memanggil ayah dan kakaknya, ia lebih memilih bermanja-manja dengan ibunya saat ini. "Sudah, cepat sana. Sebelum makanannya mulai dingin." Shafira menepuk punggung tangan anaknya yang bertengger manis di perutnya, memeluknya erat seolah tak ingin melepasnya. Meskipun enggan akhirnya Vina melepaskan pelukannya dan berjalan keluar dari dapur sembari mengusap-usap perut ratanya yang entah sejak kapan minta diisi. Padahal ia yakin beberapa saat yang lalu ia menikmati beberapa potong pizza di rumah Anggi sebelum pulang ke rumah. "Kak, dipanggil mama untuk makan." Tanpa mengetuk pintu dan meminta persetujuan pemilik ruangan terlebih dahulu, Vina langsung membuka pintu di depannya dan mendapati Alvin yang sedang berbaring di ranjang sambil memainkan ponselnya. Alvin yang sedang asyik mengetik pesan balasan untuk kekasihnya melirik adiknya tanpa minat. "Kau duluan saja. Sebentar lagi aku nyusul." Bukannya pergi, Vina malah mendekati Alvin dan berbaring di samping kakak kembarnya itu. Ikut melihat ke layar ponsel dan membaca setiap kata yang diketik Alvin di sana. "Ya ampun, baru juga tadi ketemu udah saling kangen-kangenan aja." "Anak kecil nggak usah banyak bicara." Setelah pesannya terkirim, Alvin segera beranjak dari kasurnya dan menyimpan ponselnya di atas meja belajarnya. Kepalanya menoleh pada Vina yang malah asyik memeluk guling di atas ranjangnya. "Kamu nggak mau makan?" tanyanya dengan kening berkerut. Vina semakin mengeratkan pelukannya pada guling. "Mau, tapi ranjang kakak terlalu nyaman." Alvin mendecak kesal. "Jangan banyak alasan, cepat bangun! Kalau nggak, aku kunci pintunya dari luar." Mendengar ancaman itu mau tak mau Vina beranjak dari posisinya. Ia mengikuti langkah Alvin yang sudah memasuki dapur dan duduk di salah satu kursi, sementara ibunya tengah sibuk menata makanan di atas meja. Ia duduk di samping Alvin dan berencana mengambil sesendok nasi ke dalam piringnya sebelum suara ibunya menghentikan kegiatannya itu. "Loh? Papa kamu mana?" Vina menepuk keningnya, memberikan cengiran lebarnya dan tanpa disuruh ia segera berlari dari sana menemui ayahnya yang asyik menonton acara berita di televisi. ***

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

(Bukan) Pemeran Utama

read
19.6K
bc

DENTA

read
17.1K
bc

Head Over Heels

read
15.9K
bc

Byantara-Aysha Kalau Cinta Bilang Saja!

read
284.9K
bc

Tentang Cinta Kita

read
190.6K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
206.2K
bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook