Bab 1

2777 Words
Kegelisahan mu, ketakutan bagi ku. Bila kau ingin membuat orang lain terkesan, bicarakanlah tentang kesuksesanmu. Namun jika kau ingin memberikan dampak bagi orang lain, berbagilah tentang kegagalanmu. Sepasang sepatu hitam berjalan menuju sebuah mobil fortuner putih yang sejak kemarin masih terus terpakir ditempatnya. Di belakang mobil tersebut, berdiri sebuah papan nama yang bertuliskan Dokter Fatah Al Kahfi. "Malam Pak" sapa Fatah yang tersenyum kepada security yang menyambutnya di area parkir. "Malam dok, sudah malam mau pulang juga nih." Fatah tersenyum sambil melirik arlogi di tangan kirinya. Memang keadaan yang memaksanya pulang larut hari ini. Niat hati kemarin ia tidak ingin menginap dirumah sakit, tapi sumpah seorang dokter yang sudah dia ucapkan mengharuskannya untuk melakukan yang terbaik bagi semua pasiennya. "Iya pak. Kasihan Syafiq dua hari tidak ketemu saya." "Wah, Syafiq bangga banget punya ayah seperti anda dokter." Kekeh sang security. Dia membantu membuka pintu mobil Fatah. Fatah mengangguk hormat kepada security itu, walau dimata semua orang dialah yang patut dihormati namun dalam dirinya bukannya sesama manusia harus saling menghormati. Mau orang itu lebih muda atau lebih tua sekalipun. Karena dimata Tuhan semuanya sama. Untuk apa menyombongkan diri didunia yang tak seberapa lama ini. "Saya pamit dulu ya pak, Assalamu'alaikum" "Wa'alaikumsalam pak dokter" Fatah mengemudikan mobilnya dengan perlahan. Karena sedari tadi kedua matanya sudah begitu perih akibat dari kurang tidur 2 hari ini. 2 hari menggantikan tugas dokter Iwan di rumah sakit, mau tidak mau membuat kondisi tubuhnya begitu drop. Yang dia inginkan ketika dirumah disambut oleh sang istri yang akan tersenyum kepadanya. Mobil Fatah terparkir sempurna dihalaman rumahnya, lebih tepat rumah sang mama. Selama 3 tahun menikah bukannya dia tidak ingin memiliki rumah sendiri, tapi lagi-lagi sang mama melarangnya dan meminta dirinya selalu berada disekitar mereka. Begitu pun dengan adik perempuannya, Umi. Jadilah mereka berkumpul semua didalam sebuah rumah yang penuh dengan kehangatan keluarga. Banyak dari tetangga sekitar yang melihat keluarga mereka merasa begitu iri. Walau dulu ada sedikit masalah dalam kehidupan anak perempuannya papa Hadi Al Kahfi, namun seiring berjalanannya waktu semua kembali seperti semula. "Assalamu'alaikum." "Wa'alaikumsalam. Walah mas Fatah, tak pikir siapa." Pak Kardi membantu Fatah untuk membuka pintu masuk rumah. Supir yang selama ini sudah mengabdi untuk keluarganya begitu menghormati sosok Fatah. Laki-laki dengan seribu kesempurnaan yang dilihat oleh semua orang. "Sudah pada tidur ya pak?" "Sudah mas," jawab Pak Kardi. Tangannya mencari saklar lampu untuk dihidupkan. Namun Fatah menghalanginya. "Jangan dihidupkan lagi pak, saya juga mau langsung istirahat" Pak Kardi mengangguk dan meninggalkan Fatah untuk menutup pintu pagar kembali. Fatah mendudukan dirinya disebuah kursi sembari membuka sepatunya. Punggungnya terlalu lelah, bahkan matanya terasa begitu perih. Sebelah tangannya memijat pelipisnya yang terasa sakit. Mungkin meminta Sabrin untuk memijat punggungnya sebentar tak masalah. Ia bangkit dan berjalan kelantai atas untuk masuk kedalam kamarnya bersama Sabrin. Saat pintu terbuka, terlihatlah tubuh Sabrin yang tertidur pulas diatas ranjang bersama Syafiq dalam pelukkannya. Hanya melihat seperti ini saja, rasa lelah yang tadi dipunggungnya hilang sudah. Memang hanya Sabrinlah tempat ia kembali sejauh apapun Fatah melangkah pergi. Walau pada awalnya dulu dia sempat mengelak perempuan ini, tapi takdir yang telah mengikat mereka melalui ikrar pernikahan. Tangan Fatah meraih sebuah remote AC untuk dimatikan olehnya. Dia tidak ingin anak dan istrinya yang tertidur pulas tanpa selimut harus merasa kedinginan. Jas dokter yang tadi dia bawa pulang dalam tas hitamnya, dia masukkan kedalam keranjang pakaian kotor yang terletak dipojok kamar. Kemudian tangannya satu persatu melepas kancing kemejanya dengan kedua mata yang dia miliki tetap memandang kagum pada istri dan anaknya. Bagi semua orang keluarga adalah segalanya, atau sering dibilang sangat penting. Namun di pikirannya, keluarga itu signifikan. Mengapa Fatah berpikir demikian? Karena yang penting belum tentu signifikan. Namun yang signifikan akan selalu penting. Seperti kata orang berpacaran sebelum menikah itu penting. Tapi menikah dengan yang sepadan dan sekuat hati mempertahankannya itu baru signifikan. Karena hidup yang penting itu biasanya berporos kepada diri sendiri, namun hidup yang signifikan adalah hidup yang memikirkan orang lain didalamnya. Maka dari itu Fatah menyebutnya, keluarga itu signifikan. *** Fatah ikut membaringkan tubuhnya disebelah Syafiq yang posisi tidurnya memakan banyak tempat. Dalam dirinya sedikit lucu melihat tingkah pola anaknya itu. Syafiq baru memasuki usia 30 bulan, namun anaknya ini begitu aktif dalam berekspresi. Jelas-jelas semua sifat Syafiq bukan dia yang mewarisi karena sejak kecil Fatah tidak pernah berlaku demikian. "Mas Fatah." Sabrin terbangun karena merasa ada seseorang yang tidur disebelah putranya itu. "Hust, sudah tidur lagi saja." "Kamu baru pulang?" Sabrin bangun dari posisi tidurnya dan ingin menggendong Syafiq untuk dipindahkan kedalam box bayinya. Ia pikir malam ini Fatah tidak pulang kembali, karena itu dia membawa Syafiq untuk tidur bersamanya. "Kenapa dipindahkan? Biarkan saja Syafiq tidur bersama kita" ucap Fatah. Sabrin tersenyum namun tetap menggendong Syafiq dan memindahkannya kedalam box bayi itu. "Dia sudah tidur sejak tadi denganku mas, jadi biarlah saat ini aku menemanimu juga." Fatah menggelengkan kepala, "Jangan dong bu, biarkan saja dia bersama kita. Kasihan kan dia. Nanti bila dia sudah besar kita akan rindu masa-masa seperti ini. Kadang ketika anak masih kecil, kita ingin egois dengan apa yang kita inginkan sendiri tanpa memikirkan apa yang anak inginkan. Tapi setelah anak dewasa kita akan selalu berharap kehangatan memeluk anak kita saat kecil bisa terulang kembali." Tubuh Sabrin membeku mendengar penjelasan Fatah. Bukan itu maksudnya memindahkan Syafiq kedalam box. Dia juga ingin menjadi pengobat lelah suaminya yang baru pulang bekerja mencari nafkah untuk sesuap nasi bagi keluarga kecil mereka. Tapi mengapa Fatah malah mengatakan hal demikian. Syafiq juga anaknya, darah dagingnya. Sudah tentu saat putranya telah dewasa, ia akan selalu rindu akan hal ini. Berbagi makanan ketika Syafiq masih didalam rahimnya. Merasakan pergerakan Syafiq untuk pertama kalinya. Mendengar tangis pertamanya. Menyusuinya dengan rintihan kesakitan karena air susunya tak keluar. Jika ditanya siapa yang akan sedih, tentu saja dia sebagai ibunya Syafiq. Namun dari kata-kata Fatah tadi mengisyaratkan hal lain yang entah kenapa membuat hatinya sakit. "Ya sudahlah bu, aku lelah." Sabrin menutup kedua matanya. Tangannya masih memegang erat box bayi yang ada dihadapannya. Suaminya berkata apa? Lelah. Disini bukan dia saja yang lelah. Tapi dirinya juga sama lelahnya. Memangnya mudah merawat anak seorang diri, memangnya mudah mendidik anak agar tidak menjadi seperti dirinya kelak dimasa depan, memangnya mudah mengganti kata 'jangan' dengan kata yang lain agar anak mudah mengerti bila itu tidaklah baik. Ya Tuhan, ingin rasanya Sabrin menjerit sekuat-kuat kepada suaminya itu. Tapi, saat tubuhnya berbalik dan memandang wajah Fatah yang tertidur dengan pulasnya rasa marahnya berganti dengan rasa kasihan melihatnya. Dengan sekuat hati, Sabrin mendoktrin otaknya untuk bersabar. Mungkin memang saat ini hatinya yang terlalu sensitif. *** "SYAFIQ... TURUN NAK, NANTI JATUH !!!" Teriak Sabrin. Pagi ini semua terlihat sama saja. Semua melakukan aktifitas sama seperti biasanya. Pagi-pagi sekali, Umi dan papa Hadi sudah pergi kekantor. Sedangkan Hans, memang 2 hari ini sedang tidak berada di Indonesia. Perusahaan ayahnya yang ada di Jerman butuh beberapa peranan penting dari Hans. Dan kembalilah kehidupan Sabrin yang begini-begini saja. Pagi-pagi dia akan membantu sang mama menyiapkan sarapan. Walaupun pada kenyataannya bukan dirinya yang memasak. Lalu setelah semua orang telah berangkat untuk aktifitasnya, dia akan mengurusi putranya yang tidak bisa diam. Kadang Sabrin harus berlari kesana kemari hanya untuk mengajak Syafiq mandi. Syafiq adalah putranya dengan Fatah tapi mengapa anak laki-lakinya itu takut sekali dengan air. Keanehan lainnya, Syafiq suka sekali memukul benda apapun ke tembok hingga hancur dan menimbulkan suara yang cukup keras. Terakhir kali yang dia ingat akibat ulah Syafiq, ponsel Adel harus hancur tak berbentuk. Entah apa maksud Syafiq melakukan hal itu. Semakin Sabrin melarang, maka semakin menjadi kelakuan anaknya itu. "BU... BU.. BU..." Syafiq menarik-narik baju Sabrin agar perhatian dari sang ibu teralih kepadanya. "Iya sayang," Sabrin melirik sekilas namun kembali sibuk membereskan meja makan. "Bu, bu... bu..." panggilnya lagi. "Apa sih?" Sabrin membungkukkan tubuhnya agar bisa menatap Syafiq seutuhnya. "Sini. Ikut Sapik" Ditariknya tangan Sabrin menuju kamar mereka. Lalu ketika tepat berdiri didepan pintu, dia menunjuk kearah Fatah yang masih tertidur pulas diatas ranjang mereka. Hari ini sepertinya Fatah tidak memiliki schedule di rumah sakit. "Itu siapa?" "Loh kok Syafiq tanya itu siapa? Itu Ayah sayang" "Ngapain Ayah disini bu?" "Ya ayah pulang dong, emangnya ayah mau kemana lagi?" ketika Sabrin hendak berjalan meninggalkan Syafiq, putranya itu bergumam sendiri. "Kilain Sapik ndak punya ayah" Sabrin menatap putranya dengan perasaan bersalah. Memang selama ini Fatah terlalu sibuk dirumah sakitnya. Hingga dalam seminggu bisa dihitung berapa kali dia ada dirumah. Belum lagi seminar-seminar diluar kotanya yang begitu padat. Mungkin karena hal itu putranya merasa dia tidak memiliki Ayah. "Loh, kamu kenapa Rin?" mama menatap aneh ke arah Sabrin yang berusaha menghapus jejak air matanya. "Gak papa ma," "Fatah semalam pulang?" "Iya," "Pantes tadi subuh mama kayak lihat dia." Ucap sang mama. Posisinya yang membelakangi Sabrin membuatnya tidak tahu bila menantunya itu menahan laju air matanya sekali lagi. "Udah sana mandiin Syafiq, terus katanya kamu mau bawa dia lihat Playgroup yang udah kamu pilih ya" Sabrin mengangguk saja, dia tidak berani membuka suara karena bila dia mengucap satu kata saja mama akan tahu bila menantunya menangis. *** "Aduh, diem dong nak." "Diem itu apa sih Bu?" "Jangan gerak-gerak dulu" geram Sabrin kesal. Bagaimana tidak kesal, memakaikan baju Syafiq saja butuh waktu hampir satu jam lamanya. Putranya itu akan berlari-lari dan berguling-guling di atas tempat tidur. "Ayah..." tegur Syafiq. Fatah masih diam saja tak bergerak mungkin kedua matanya masih enggan untuk dibuka. "Ayah na Sapik." "Yah, Ayah..." panggilnya terus sambil duduk dipunggung Fatah yang kebetulan tidur dengan posisi tengkurap. "Hm..." "Turun dong Nak, ayah berat kamu duduk disitu" melihat Syafiq diam, Sabrin mulai memakaikan satu persatu baju yang sudah dia pilihkan untuk Syafiq pagi ini. Dia ingin anaknya terlihat menarik ketika dia ajak ke playgroup nanti. "Dek...ayah mau bangun" gumam Fatah. Namun Syafiq tidak peduli dengan perkataan Fatah. Dia sibuk bernyanyi-nyanyi sambi terus duduk dipunggung ayahnya. "Sudah. Kamu diem disini dulu ya nak, ibu mau mandi dulu" seakan mengerti Syafiq mengangguk saja. Dia sibuk mengacak-acak rambut Fatah dan menciumi punggung sang ayah yang kebetulan tidak memakai baju. "Ayah ikut Sapik ma ibu kan?" "Hm..." Karena merasa lelah tidak diberikan tanggapan oleh Fatah, Syafiq turun dan keluar dari kamar tanpa diketahui oleh Sabrin. "loh, Mas. Anak mu mana?" Sabrin keluar masih dengan baju mandi yang membalut tubuhnya. "MAS..." Panggilnya sekali lagi. "Apa?" Fatah membalik posisi tidurnya dan memandang Sabrin dengan mata yang masih setengah terbuka. "Syafiq mana?" "Kok kamu tanya aku? Mana aku tahu" jawabnya kesal. Ia bangkit dari tidur dan berjalan masuk kedalam kamar mandi. "Kok kamu bilang nggak tahu sih. Itu kan anak mu juga" kesal Sabrin. Terburu-buru dia berpakaian dengan asal dan keluar mencari Syafiq. Dia takut Syafiq pergi keluar dari pagar rumah. Karena sekarang ini motif penculikan anak untuk dijual sangat banyak. Pikiran buruknya semakin menjadi kala dia tidak bisa menemukan Syafiq didalam rumah. "YA.. TUHAN.. SYAFIQ... " teriaknya hingga sang mama yang tadi berada dikamar ikut keluar melihat Sabrin. "Kenapa Rin, Syafiq kenapa?" "Syafiq gak tahu kemana ma" Tangisnya. "Emang tadi dia dimana?" "Tadi aku..." "Mana dia?" tanya Fatah yang tiba-tiba saja sudah berdiri disamping Sabrin. "Nggak tahu mas, dia gak ada." Isak Sabrin. "Kamu udah tanya pak Kardi belum?" Fatah kemudian berlari keluar rumah dan mulai bertanya kepada Pak Kardi. Namun tak berapa lama, Fatah kembali sambil menggeleng lemah tanda tidak menemukan Syafiq. "Gimana sih mas, masa gak ketemu cari bayi yang usianya belum tiga tahun !!!" bentak Sabrin. Dia merasa kesal setengah mati dengan suaminya itu. Sudah tahu putranya sangat hyper aktif, namun masih saja sangat santai menjaga Syafiq. "Lagi-lagi aku yang kamu salahin !!! Harusnya kamu kunci pintunya. Udah tahu tadi aku lagi tidur !!" bentak Fatah tak mau kalah. Dia meraih kunci mobilnya untuk mencari disekitaran komplek rumah. Belum sempat dia mencari, Syafiq sudah datang bersama sang Nenek -mami Sabrin- yang tadi memang datang untuk menemani cucunya itu melihat sekolah pertamanya. "Ibu..." "Syafiq. Kamu Dari mana aja nak?" Sabrin memeluk erat tubuh Syafiq dan mencium pipinya dengan perasaan takut kehilangan. "Jangan tinggalin ibu lagi ya" "Walah-walah, maaf Rin, tadi mami datang tapi rumah benar-benar kosong. Dan Syafiq main sendirian diatas kursi. Karena itu mami bawa dia keliling sebentar" jelas Mami. Fatah menghembuskan nafas lega dan menatap Syafiq dengan perasaan bersalah. "Pokoknya Syafiq jangan pergi tinggalin Ibu lagi. Ibu takut nak, ibu takut" isak Sabrin. "Ya Allah Rin, maafin Mami kalau buat kalian jadi cemas" mami mendekat memeluk tubuh Sabrin yang masih menangis. "Iya mi, maaf Sabrin cuma takut Syafiq pergi" isaknya lagi. Fatah melewatinya dan memilih kembali kekamar. Dalam hati ingin rasanya Sabrin mencaci maki suaminya itu. Apa laki-laki itu tidak takut kehilangan Syafiq, darah dagingnya? "Bu jangan nangis" Ucap Syafiq mengusap pipi Sabrin. "Syafiq jangan nakal, biar ibu nggak nangis lagi" kali ini sang mama yang menyuarakan nasihatnya. "Sapik janji gak buat ibu nangis lagi." "Ya sudah sana siap-siap, mami mau temani kamu Rin." Ia merasa bahagia, ternyata masih ada mami yang mau tetap menjadi sandarannya selama ini. Mungkin hanya mami yang tahu perasaannya tanpa dia jelaskan. Ketika masuk kedalam kamar, Sabrin dibuat tak mengerti dengan suaminya itu. Laki-laki itu sibuk duduk diatas sajadah dengan ibu jari yang terus saja bergerak menghitung setiap ruas jari tangannya. Dari yang bisa Sabrin nilai, wajah suaminya tidak seperti biasanya. Dia yakin kondisi Fatah sangat buruk saat ini. Setelah diperhatikan lama sambil memangku Syafiq yang turut menatap sang Ayah, laki-laki itu mengakhiri doanya dengan sebuah sujud. Kemudian senyuman tulus dan penuh cinta yang dia berikan untuk kedua orang terkasih yang duduk tak jauh darinya. Fatah bangkit dan memilih bersujud didepan Sabrin yang tengah duduk. Kedua tangannya menggenggam tangan Sabrin dengan erat. Kedua matanya menyelami mata Sabrin berusaha membaca apa yang tengah istrinya rasakan saat ini. "Mas minta maaf ya ai, mas tahu mas udah salah tadi. Harusnya mas jangan membalas emosi mu dengan emosi yang serupa. Harusnya mas yang bertugas memadamkan emosi mu itu. Bukannya adam dan hawa diciptakan untuk saling melengkapi. Seperti itulah harusnya kita. Mas juga merasa bersalah tidak bisa menjaga Syafiq dengan baik." "Mas yakin Adam diciptain dengan Hawa, bukannya dengan Joko" kekeh Sabrin sambil berurai air mata. Dia ingin mencairkan suasana haru disini. "Mas serius Bu." "Ibu juga serius Ayah. Kamu tahu, " Sabrin menatap wajah Syafiq yang sejak tadi menatap wajah Fatah tanpa henti. Mereka seakan serupa namun dengan ukuran yang berbeda. "...anak kecil seperti Syafiq tidak tahu seperti apa dunia luar. Bagaimana kejamnya orang-orang yang tidak berprikemanusiaan diluar sana. Dia tidak mengerti orang baik dan orang jahat. Karena yang Syafiq tahu itu hanya orang tuanya. Orang tua yang akan menyayangi dia selalu. Tapi..." "Tapi apa?" "Tapi ketika tadi aku mendengar kata-kata Syafiq yang menganggap dia tidak punya ayah rasanya aku sakit mas, sakit hati ku. Aku tidak tahu mengapa dia bisa berkata demikian, apa ini salah ku, apa memang ini takdirnya. Takdir yang sama seperti yang aku alami dulu. Hidup hanya dengan mami dan mas Imam. Karena papi selalu sibuk. Papi pikir dengan uang bisa membahagiakan kami. Papi pikir dengan memberikan banyak buku tentang agama bisa membuat kami paham arti Tuhan. Papi pikir tanpa dirinya kami masih bisa tumbuh dengan baik." Isaknya. "Dulu memang aku tidak peduli itu mas, dulu aku tidak peduli bagaimana kedepannya kehidupan ku. Yang ku tahu, lebaran adalah hari dimana Papi dan mami serta mas Imam ada untukku. Tapi setelah aku memiliki Syafiq dan merasa putra ku mengalami hal yang sama, aku takut mas. Aku takut. Aku sudah tidak sempurna, aku tidak mau anakku juga tidak sempurna. Sejak awal menikah dengan mu. Apa pernah aku meminta lebih kepada mu. Sejak tahu kamu memiliki hubungan dengan perempuan lain apa pernah aku mengeluh padamu? Waktu... waktu.. aku mendengar Adel berkata bila dia cinta pertama mu, apa aku pernah marah dan membencinya?" Fatah bangkit dari posisinya tadi dan menatap Sabrin dengan pandangan tidak suka. Mengapa istrinya ini mengungkit hal yang telah lalu. "Lalu mau mu apa?" "Aku ingin waktu mu mas, Cuma waktu. Karena uang dapat dicari, namun waktu tidak dapat dikembalikan kembali" "Astagfirullah Al'adzim, Sabrina. Apa selama ini aku tidak disisi mu? Apa selama ini kau merasa sendiri? Ya Allah, aku bekerja buat keluarga kita. Buat kebahagian mu dan Syafiq. Tolong lenyapkan pikiran buruk mu itu." "Sulit mas, semua itu terlalu..." "Terlalu apa? Dengarkan mas, kepercayaan itu ibarat sebuah tanaman. Bila dirawat dengan baik akan menghasilkan bunga yang indah. Sama seperti kepercayaan. Setelah aku dan kamu menikah. Bukan hanya kamu dan aku lagi, namun sudah menjadi kita. Jadi, mas anggap masalah ini selesai. Jangan pernah berpikiran mas tidak pernah disisi mu. Mas diluar sana selama berhari-hari karena mas ingin semua kebutuhan mu tercukupi. Dengar itu Sabrina " tutup Fatah. Laki-laki itu pergi meninggalkan Sabrin yang terus berurai air mata. Ternyata setelah menikah, bukan bahagia lah yang didapat. Karena masih banyak yang harus dia mengerti bila isi dua kepala tidaklah pernah sama satu sama lain.  ----- Continue... Mau Pesan novelnya, langsung ke aku ya
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD