Bab 2

1153 Words
Aku menyukai caramu yang membuatku jatuh cinta dengan luka. Lalu seolah lupa bila kau tahu aku telah jatuh cinta. Wahid cukup kaget melihat kedatangan Kiki pagi-pagi sekali ke hotel tempat dia menginap ketika di Malang. Tanpa perasaan bersalah, Kiki melangkah masuk, membawa sebungkus sarapan pagi untuk Wahid lalu tersenyum lebar ke arah laki-laki itu. "Ini sarapan buat lo. Hari ini semua genting. Jadi lo harus siap-siap. Hari ini kita banyak urusan yang harus dilakuin." "Lakuin apa?" Tanya Wahid bingung sambil menggaruk kepalanya. "Ya Tuhan, Bang Wahid. Besok ulang tahun Nada. Jadi kita...." "Oke. Stop. Jadi maksud lo bakalan ada pesta gitu untuk dia? Emangnya Agam setuju? Yang gue tahu Agam enggak suka pesta-pesta meriah. Terus lo mau buat pesta untuk Nada tanpa persetujuan Agam? Enggak. Gue enggak ikutan," potong Wahid. "Ih, Bang Wahid. Bukan gitu, gue—“ "Iya gue ngerti maksud lo, Ki. Lo­­ mau buat kejutan untuk sahabat lo, Nada. Tapi gue rasa Nada enggak butuh kejutan. Dia itu butuh doa. Dari sahabat kayak lo. Apalagi lo tahu dia udah mau ngelahirin. Jadi gue harap lo—" "Ya elah, Bang. Masa acara makan malem aja enggak boleh sih. Kan kita juga jarang buat kumpul bareng terus makan sama-sama. Itu kan enggak berlebihan. Sekalian ngerayain ulang tahun Nada." "Ki," panggil Wahid dengan tampang lelah. "Gue kasih tahu. Dalam Islam itu enggak ada yang namanya merayakan perayaan ulang tahun. Karena bertambahnya umur itu seharusnya membuat kita lebih berpikir jauh untuk masa depan kita di akhirat kelak. Bukan hanya di dunia." Kiki diam tak berani menanggapi ucapan Wahid lagi. Dia tahu ilmu agamanya tentang Islam masih begitu jauh. Bahkan larangan dalam perayaan ulang tahun saja Kiki tidak tahu ada pada surat apa dan hadits apa. Karena yang dia hafal sekarang ini adalah sudah episode ke berapa drama Korea historical yang kini ia tonton. Atau mungkin tanyakan padanya kapan dimulai pertandingan sepak bola kesukaannya. "Lo diem itu mikir apa bingung?" Tanya Wahid. Kiki tertawa geli. "Bingung sih, Bang. Emang hadits yang melarang itu apa namanya? Kasih tahu coba." Wahid ingin sekali tertawa melihat tampang polos Kiki. Dia berdeham sejenak, lalu mengalihkan perhatiannya dari Kiki dengan membereskan sarung yang kebetulan dia pakai tadi ketika ibadah subuhnya. "Bang, oi. Gue tanya," seru Kiki. "Yang gue tahu perkara merayakan ulang tahun itu terlibat dalam dua hal. Dianggap sebagai ibadah dan ada yang hanya sebagai kebiasaan adat saja." "Tuh kan ada ibadahnya. Tapi kenapa lo larang gue, Bang?" Protes Kiki tidak terima. Wahid meliriknya sejenak, lalu duduk di salah satu sofa sambil menghidupkan laptop yang kebetulan dia bawa. "Idih, ditanya malah buka laptop," protes Kiki sambil bertolak pinggang. Namun karena rasa penasaran yang begitu tinggi, Kiki bergerak untuk duduk di samping Wahid. Mencari tahu apa yang sedang dilakukan Wahid. "Ini lo bisa baca sendiri. Web yang dibuat atas pendapat Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin dijelaskan mengenai pertanyaan yang lo tanya tadi. Gue sempat lupa. Dari pada gue salah jelasin ke lo, makanya gue bukain sekalian webnya. Kalau kita di Jakarta gue kasih lo bukunya. Biar lo bisa baca sendiri," terang Wahid. Kiki melihat wajah serius Wahid dalam menerangkan ilmu baru kepadanya. Laki-laki ini bukan lah sosok yang sempurna. Ilmu agamanya pun masih meraba-raba agar tidak salah dalam mengartikan segalanya. Tetapi Wahid sama sekali tidak menjudge Kiki yang nyatanya lebih buruk darinya. "Lo paham enggak?" "Hm, paham." "Apa pahamnya?" "Ada bulu-bulu halusnya kan," gumam Kiki. Tatapan Wahid yang tadinya terfokus pada laptop mulai teralih ke arah wajah Kiki. Perempuan itu benar-benar tidak berkedip memandangnya. Sampai kedua alis hitam Wahid terangkat tinggi. Merasa bingung dengan jawaban Kiki. "Lo kenapa, Ki?" "Bibirnya." "Bibir?" "Astagfirullah al'adzim," ucap Kiki saat sadar atas apa yang dia ucapkan. Tubuhnya langsung berdiri, membelakangi Wahid yang masih bingung melihat tingkah anehnya. "Ki...." "Bang, lo jangan lihatin gue dulu dong. Malu ih gue?" "Ah? Malu?" "Iya," lirik Kiki melalui salah satu sisi bahunya. Detak jantungnya semakin tak menentu saat dia tahu tatapan Wahid masih terarah padanya. Walau dalam hati sudah berulang kali beristighfar, namun tetap saja seolah ada setan yang sedang berbisik pada telinganya. Agar terlarut dalam perasaan aneh yang sudah beberapa tahun ini ia rasakan kepada Wahid. "Lo masih mau baca artikelnya enggak? Kalau enggak mau gue matiin laptopnya," "Eh, mauu," sahut Kiki cepat. Wahid sengaja beranjak dari tempatnya. Takut-takut tingkah aneh Kiki kembali lagi. "Ya udah lo baca-baca aja. Gue keluar dulu. Mau olah raga," Bagai terpanah api cinta Wahid, kepalanya langsung mengangguk setuju tanpa satu kata pun. Membiarkan Wahid pergi dengan diiringi nyanyian detak jantung yang sedang tak menentu. Saat Wahid sudah keluar dari kamar hotel ini, tarikan napas lega baru bisa Kiki lakukan. Sekali lagi Kiki sadar ini adalah kesalahan. Ia dan Wahid hanya berteman. Apalagi semua sikap dan tindakan Wahid kepadanya sama sekali tidak mengartikan bila laki-laki itu suka kepadanya. Mungkin selama ini Kiki saja yang terlalu berharap kepada Wahid tanpa tahu diri sedikitpun. "Ah, fokus dulu Ki, buat hijrah. Jangan mikir yang aneh-aneh," ucap Kiki pada hatinya sendiri.   ***   "Lo mau ke sini, Bang? Kapan?" "Besok kita ke sana. Jemput kita kalau udah sampai di sana," "Apa besok?" ulang Wahid tidak yakin. Dia melirik jam tangan di pergelangan tangannya, besok dia harus terbang ke Jakarta mengurus beberapa pekerjaan yang sempat terpending. Tetapi bila besok seluruh sepupunya akan datang ke Malang, tidak mungkin ia bisa pulang ke Jakarta saat itu juga. "Jemput pakai mobil yang muatannya besar, Hid. Soalnya gue sama Shaka bawa 4 koper." "Apa? 4 koper. Lo mau berapa lama Bang di sini?" "Ya cuma satu hari aja." Sambil memijat keningnya, Wahid merasa pening sendiri. Apa dia tidak salah dengar jumlah koper yang akan di bawa Syafiq? Hanya dalam satu hari, koper yang dibawa begitu banyak. "Nanti juga lo ngerasain kalau udah jadi orang tua. Bawaannya banyak," ucap Syafiq seolah mengerti ke arah mana pikiran Wahid kini. "Ya udah besok gue jemput," putus Wahid sebelum mengucapkan salam. Dia tahu hari ini dan besok adalah hari yang melelahkan. Selain fisik, hatinya pun akan merasakan kelelahan yang sama. Karena sindiran-sindiran cinta dari sepupunya Shaka akan dia dengar mengenai pertanyaan kapan Wahid akan menikah. Ketika lamunan Wahid terhenti, dia sudah berhenti tepat di depan pintu kamar menginapnya. Sejenak dia tersenyum mengingat ada siapa di dalam sana yang berhasil sedikit banyak mencuri perhatiannya. "Assalamu'alaikum," salam Wahid. "Wa'alaikumsalam, Bang." Kiki menjawab sambil memasang cengiran mencurigakan. "Abis ngapain lo?" "Enggak ngapa-ngapain," jawabnya mengikuti langkah Wahid masuk ke dalam ruang kamar tidurnya. Lalu tiba-tiba saja langkahnya terhenti sampai kepala Kiki tertabrak punggungnya cukup kencang. "Awww ... sakit, Bang." "Lo abis ngapain aja?" Tanya Wahid. Kiki ikut melirik ke arah ranjang di mana Wahid semalam tidur. Di atasnya sudah ada sepasang pakaian untuk Wahid pakai setelah mandi nanti. Serta ada sepiring makanan yang kebetulan Kiki bawa tadi. "Anggap aja lo bantu gue, Bang. Bagaimana menjadi istri sholeha," jawab Kiki dengan senyuman lebar. "Ya Allah," sambut Wahid sambil menggelengkan kepala. Melihat tingkah Kiki seakan cerminan sosok perempuan yang benar-benar Wahid cintai di Jakarta. Ibunya, Umi. ----- Continue Komen yang banyak lahh
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD