BAB 01

1026 Words
Saat memasuki kelasnya, Jenar—cewek berambut cokelat itu mengernyit saat melihat bangku yang biasa sahabatnya tempati itu kosong. Tidak biasanya Elara datang siang ataupun terlambat. “Eh, Fara," panggil Jenar saat melihat cewek berambut keriting melintas di depan kelasnya. Cewek berambut keriting panjang itu menoleh dan mendelik pada Jenar. “Apa?” katanya dengan ketus. “Dih, biasa aja kali,” ucap Jenar. Fara berdecak. “Lo mau apa? Cepetan deh gue mau ke kelas.” “Sabar kenapa sih? Lo habis dari kantin kan?” Fara mengangguk. “Ada Elara nggak di sana?” tanya Jenar. “Ya mana gue tahu, gue bukan temannya.” “Iya, kan dia jongosnya Nella,” gumam Jenar. Fara yang mendengar gumaman Jenar langsung melotot tidak terima. “Eh, kalau ngomong jangan sembarangan ya.” “Memang benar kok, buktinya lo mau aja disuruh-suruh sama dia,” ucap Jenar. “Lo harus tahu Fara, pertemanan itu bukan hanya tentang suruh - menyuruh.” Jenar berjalan memasuki kelas, meninggalkan Fara yang kesal atas omongannya. Tapi, kalau dipikir-pikir perkataan Jenar memang ada benarnya. Pertemanan itu luas, bukan hanya tentang suruh - menyuruh. Sampai bel istirahat berbunyi Elara masih tidak ada. Sama seperti Sagam yang juga tidak ada kabar. Enda dan Anrio pun tidak tahu cowok itu ke mana. Jenar tiba-tiba merasa tidak nyaman, semalam dia tidak menemukan Elara di bangku tempat dia dan cewek itu duduk. Elara hanya meninggalkan pesan jika dirinya pulang lebih dulu. “Je.” Mendengar suara laki-laki membuat Jenar mempererat pegangannya pada tas yang berada di atas meja. Suasana kelas sepi karena semua siswa sedang beristirahat. Melihat reaksi Jenar, Anrio memilih duduk dua bangku dari bangku yang Jenar duduki. Anrio tidak tahu apa yang terjadi pada cewek itu. “Elara benaran nggak masuk?" tanya Anrio. Jenar mengangguk. “Nggak ada kabar juga?” Jenar kembali mengangguk. “Sagam juga nggak masuk, nggak ada kabar juga. Gue udah coba hubungi, tapi ponselnya nggak aktif.” Jenar mencoba menyimpulkan benang merahnya. Tapi, yang ada malah semakin kusut. Dia tidak bisa berpikir dengan benar dalam situasi seperti ini. “Kalau gitu gue ke kantin lagi deh, ya,” ucap Anrio. Jenar hanya mengangguk.                                                                                            Sudah tiga hari Elara tidak masuk sekolah, kemarin Nehan datang ke sekolah untuk memberitahu jika Elara sakit. Tapi, Jenar tidak bisa langsung percaya begitu saja. Makanya hari ini dia akan ke rumah Elara. Jenar menekan bel rumah Elara, cukup lama menunggu sampai pintu terbuka. Erika, mama Elara tersenyum ramah pada Jenar. “Jenar, mau jenguk Elara, ya?” tanyanya. Jenar mengangguk. “Ayo, masuk!” Jenar mengikuti Erika dari belakang, menaiki anak tangga satu persatu sampai berhenti di depan sebuah kamar berpintu putih dengan tulisan My Area di pintunya. Jenar memperhatikan Erika yang terdiam. “Je,” panggil Erika. “Iya tante?” Erika menatap sahabat anaknya itu. “Elara nggak pernah mau keluar kamar, dia selalu bilang sakit, tapi tante nggak tahu bagian mana yang sakit. Kata Nehan bagian perutnya yang sakit, karena Elara ngeluh sakit perut.” Jenar terdiam. “Bisa kamu bujuk Elara untuk bicara yang sebenarnya?” Cewek itu mengangguk, Erika tersenyum lalu membuka pintu kamar anaknya. Di sana, Elara sedang terbaring dengan selimut yang menutupi seluruh tubuhnya. Jenar mengintip ke dalam lalu menatap Erika meminta izin untuk masuk. Wanita setengah baya itu mengangguk mempersilakan Jenar. Jenar berdiri di tengah-tengah ruang kamar Elara, dia menoleh ke belakang yang di sambut senyuman Erika. Wanita itu lalu menutup pintu kamar dan Jenar kembali berjalan mendekati Elara. Dengan pelan Jenar duduk di sisi ranjang. “El.” Tidak ada reaksi, saat Jenar kembali memanggil Elara barulah cewek itu bergerak. Menoleh padanya dengan pandangan sayu dan langsung memeluk Jenar dengan begitu erat. Dalam keterkejutannya Jenar mencoba mengelus punggung Elara, mengusap rambut sahabatnya itu mencoba memberikan kenyamanan. “Lo sakit apa, El?” tanya Jenar. “Gue takut,” lirih Elara. “Takut apa?” “Gue takut, Je.” “Iya, takut apa?” Elara melonggarkan pelukannya pada Jenar lalu mendongak menatap sahabatnya. “Gue takut,” lirihnya. “Gue ... gue takut.” Elara kembali memeluk Jenar dan menangis dengan sesenggukan. Jenar terdiam, mencoba bersabar. Pikirannya melayang pada perkataan Anrio tempo hari yang mengatakan Sagam juga tidak masuk. Lalu pikirannya kembali melayang pada acara ulang tahun Nella yang diadakan di Bar. Saat itu Elara mengajaknya pulang, tapi dia asyik berjoget dan saat kembali ke tempat duduk Elara sudah tidak ada. “Lo, kenapa pulang duluan, El? Lo pulang sama siapa?” Tangisan Elara semakin menjadi, membuat spekulasi yang ada di otaknya semakin mengerucut. “Lo, pulang sama Sagam, El?” Elara tetap menangis, dan Jenar pun hanya bisa mengelus punggung dan rambut Elara. Sekarang mereka hanya berdua, beda saat masih kelas sepuluh ada Missel. Tapi, cewek sipit itu sekarang pindah ke Australia. “Gue ... gue sama Sagam melakukan hal menjijikkan, Je.” Dengan terbata Elara mencoba bercerita. Jenar terpaku di tempatnya menatap Elara, tidak percaya dengan apa yang cewek itu katakan. “Lo—” Elara mengangguk. Elara membuka matanya perlahan, matanya menangkap langit-langit kamar yang putih. Mata hitam beningnya mulai menyapu ke seluruh penjuru kamar. Ini bukan kamarnya. Kamarnya didominasi warna putih gading dan warna soft pink. Saat menoleh ke kanan, di atas nakas terdapat telepon. Ini benar-benar bukan kamarnya, ini hotel! Hotel? Elara dengan cepat terbangun lalu meringis saat merasa bagian intinya perih. Dia menoleh ke kiri dan mendapati seseorang tertidur dengan posisi telungkup. Punggung telanjangnya terlihat karena selimut yang dipakai melorot sampai panggul. Telanjang? Elara menengang, kilasan apa yang terjadi semalam berputar di otaknya. Dia yang melihat Sagam sedang merintih, Sagam yang menciumnya, dia yang membantu Sagam masuk mobilnya. Dia yang membantu Sagam mencarikan hotel, Sagam yang kembali menciumnya, menjamahnya dan memaksanya melakukan hal intim. Tapi, Elara mengingat satu hal yang membuatnya ingin menertawakan dirinya sendiri. Dia menikmatinya! Tapi, terlepas Elara menikmatinya. Sekarang dia tidak punya apa-apa untuk dibanggakan. Mahkota yang dia jaga hilang, lenyap dalam semalam. Elara memeluk dirinya sendiri, menangis, menyesal turut hadir dalam acara ulang tahun Nella. “Hiks ... Hiks ....” Apa yang harus Elara lakukan? Dia tidak menyangka kejadian seperti ini akan menimpanya. Selama ini dia hanya membaca kisah seperti ini dalam sebuah cerita yang sering Elara baca. Dalam cerita, si cewek akan pergi meninggalkan cowok yang telah menodainya. Apa Elara juga harus seperti itu? Tapi, Elara tidak cukup berani untuk kabur. Masih dengan tangisnya, memaksa bangkit meskipun bagian bawahnya begitu terasa sakit. Elara dengan pelan memungut pakaiannya yang berserakan, dia memakainya dengan tangisan yang terus mengalir. Dia memang belum berani untuk kabur ke luar kota, tapi Elara berani menjauhi Sagam. Jenar terdiam untuk beberapa saat setelah mendengar cerita Elara. Cewek itu terlalu syok dengan apa yang diceritakan sahabatnya. Dia pun ikut menangis, karena jujur saja Jenar merasa sesak. Sagam, cowok itu kenapa bisa melakukan hal seperti itu pada Elara.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD