1.2

1020 Words
Kembali pada kendaraan beroda empat yang sedang memuat sepasang mantan teraneh satu kepulauan. “Lo minum lagi kan? Ngaku ga lo?” teriak Uci begitu mereka mengantarkan Reza pulang. Uci yang tadinya berada di bangku penumpang melompat menuju bangku samping kemudi sambil mencubit lengan Raka, tak ayal sang mantan mendekap sikutnya karena kesakitan. “Lo jangan nyama-nyamain dong lagian gue juga ga mabuk.” “Eh alas kaki kuda! Gue cuma ga mau lo mati ketabrak atau nabrak gara-gara hobi mabok lo itu,” Uci mematikan lagu berisik kesukaan Raka meskipun laki-laki itu menunjukkan muka tidak senang. “Tenang aja.. Gue cuma akan mati sambil memastikan semuanya akan tetap sama. Sampai lo liat gue di bakar atau mungkin sampai gue liat lo di liang lahat,” ucap Raka yang membuat Uci mengurungkan omelannya. Lagi-lagi ini. Hanya beberapa kali dalam setahun Raka mengungkit ini saat mereka hanya berdua. Entah di hari jadian dan hari putusnya mereka. Uci juga tidak terlalu yakin tapi yang pasti Raka memang akan bertingkah seperti induk ayam yang kehilangan anak pada salah satu diantara momen tersebut. Uci mencoba terlihat sibuk dengan kuku jarinya, ia tidak ingin membicarakan hal ini disaat ia sudah diteror oleh kenangan Adam dan tingkah menjengkelkan Reza. Apa Raka juga harus menambah? Uci merasa memperhatikan keadaan jalanan di malam hari jauh lebih menyenangkan. Meskipun memandang bumi disaat matahari tidak bertugas bukanlah apa yang ia suka. Kesunyian di antara mereka diinterupsi oleh suara notifikasi w******p dan baik Raka ataupun Uci tau dari siapa pesan itu datang. Karena Raka hafal betul jika Uci terbiasa membedakan notifikasi dari orang-orang terdekatnya. Tapi jangan khawatir, notifikasi untuk Raka sendiri bahkan Raka yang memilihnya. “Ejak udah curiga kan?” tanya Raka melihat Uci yang melemparkan hapenya ke dashboard mobil. “...” “Lo denger gue, Ci.” “..” “Apa gue mabok aja ya supaya lo cerewet lagi?” “Ehem.. Ya Ejak kan emang suka cemburuan ga jelas padahal gue bukan ceweknya. Yang gilanya bahkan sama lo aja dia cemburu? Pokoknya besok gue mau ke catatan sipil, mau menggugat pertemanan kita sama Ejak.. Kita akan lebih baik tanpa dia,” cerocos Uci. Dari bercandaannya itu Raka juga menyetujui bahwa sebenarnya mereka berdua akan aman-aman saja tanpa Reza. Namun itu namanya tidak punya otak kalo sampai dia menyuarakan kesetujuannya tersebut. “Yakin lo? Bukan ceweknya kok udah mau ngajak nikah aja,” Raka bersyukur hatinya mau bekerja sama sehingga dia tidak harus menyebut diri tidak berotak. “Gile aje nikah-nikahan, lo jaga ya mulut kurang sedep lo itu. Gue balsemin tau rasa lo,” ucap Uci sewot, membuat Raka tertawa renyah dan mengacak-acak rambutnya. “Dih kurang sedep ya, Ci..  Lo kan belum nyobaAkkh ampun!” Beginilah definisi dekat dan sayang yang harus Raka jaga jika ia bersama Uci. Hanya sampai pada cubit-mencubit dan acak-mengacak rambut. Karena selain ia harus menjaga perasaan teman baiknya, memang sudah ada pembatas antara dirinya dan sang mantan yang baik Raka ataupun Uci tidak akan pernah melanggarnya sekalipun dalam keadaan tidak sadarkan diri. Raka mengambil tangan kanan Uci yang membuat gadis itu sibuk sendiri. Ia meraba permukaan ujung kuku Uci lalu menekan keras ujung jarinya sehingga si pemilik jari terpekik kesal. “Lo apain lagi mereka?” “Sok oke gaya ngomong lo, Ka,” ledek Uci dan menarik tangannya kembali. “Eh gue serius kali.” “Kena gunting dikit tadi, dan barusan gue coba benerin,” jawab Uci santai, Raka yang ga santai sekarang. “Benerin kepala lo di dengkul! Pokoknya jangan sampai lo memuncratkan darah di depan gue ya, Ci.. Gue ga mau harus minum obat lagi. Kenapa sih lo ga ada sayang-sayangnya sama mantan? Sudah tau gue pobia darah,” Raka kembali mengomel tentang ketakutannya dan Uci harus menikmati perjalanan pulang dengan taraf intensitas suara Raka yang mampu membuatnya jengkel. “Dah.. Turun sana.. Bilangin ke Indah jangan beranak dulu, ga kasian apa sama kita-kita yang masih tersesat. Gedein aja itu bocah bener-bener, nanti kalo gue nemu jodoh, baru boleh bikin anak lagi,” ucap Raka kembali pada sosok yang semua orang kenal, nyablak. >>>>              “Untung aja ga gue paksa itu anak..” kekeh Raka sambil memperhatikan punggung Uci yang menjauh. Tadi sebelum turun Uci meminta dirinya untuk tidak minum. Katanya sih Uci ga mau ada kasus tabrak lari ataupun kasus tabrak anak perawan orang. Mendengar ketulusan Uci disaat tidak ada orang disekitar mereka membuat Raka ingin memberikan stempel bibirnya di bibir sang mantan. “Aduuuuh otak... Plis dong.. Cukup sampe disana karena gue ga niat mandi malam.” Raka kembali apartemennya sambil tersenyum manis. Disepanjang jalan ia ikutan mendendangkan lagu galau yang di putar di radio. Namun nada yang Raka gunakan berbanding jauh dengan makna lirik lagu tersebut. Beginilah Raka, tidak perlu hal besar untuk membuatnya bahagia. Kecil saja cukup asal itu dari Uci. Mantan kesayangannya. Sama seperti yang ia katakan pada dunia bahwa Uci adalah mantan kesayangannya, hatinya bahkan tidak pernah mengingkari hal tersebut. Namun sepertinya dunia tidak percaya padanya dan Raka juga tidak butuh pengakuan dunia. Karena kenyataannya Uci memang mantan tersayang. “Padahal ini peringatan kematian asmara gue sama Uci kok guenya hepi banget ya?” gumam Raka ketika mobil yang ia kendarai sudah bergabung dengan puluhan kendaraan lain di jalan raya.. Malam ini Raka harus menyiapkan diri, dan menimbang apakah ia harus kembali beroperasi setelah sekian tahun. Semenjak keduanya putus Raka selalu gonta ganti pacar, begitupula Uci. Sayangnya Raka tidak serius dengan mereka, tidak seperti Uci. Jadi wajar saja jika Raka sebentar-sebentar putus. Nah kalau putusnya Uci dengan mantan-mantannya itu sudah jelas karena keisengan Raka. Tapi Raka bersumpah tidak berniat memaksa si cowok memutuskan Uci, iseng aja eh ternyata Tuhan memang baik padanya. Lalu sampai pada kenyataan bahwa Raka kecolongan, Uci mengenal Adam dan semuanya menjadi sulit bagi Raka. Pendekatan Adam sangat halus sehingga ia sama sekali tidak memikirkan keduanya akan pacaran. Dan kenyataannya mereka pacaran. Itu adalah fase terberat dalam hidup Raka. Kemudian Tuhan sekali lagi berbaik hati padanya, tapi bukan berarti Raka senang dengan kematian Adam. Ia hanya senang dengan Uci yang kembali padanya,  bercerita padanya, menghabiskan hari dan bahkan pelukan Uci hanya ia yang dapatkan. Kenyataannya, melihat gadis itu menangis bukan pilihan yang bijak. Raka berusaha untuk selalu ada bagi Uci selama masa-masa sulitnya sampai sekarang. Sejak beberapa puluh menit yang lalu saat mendengar maksud Reza untuk menikahi Uci, sikap siaga Raka kembali bangun. Sekarang Raka sudah selesai bernego dengan dirinya, dengan perasaannya ke mantan dan persahabatannya dengan Reza, kesimpulannya adalah: Tidak akan ada pernikahan, semoga saja begitu. Dan semoga Tuhan juga berbaik hati lagi padanya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD