03

1338 Words
Arka sekeluarga kini sudah berada diruang tengah rumah Lina. Tania benar-benar terkejut saat mendapatkan tamu tak terduga. Sebenarnya tamu terduga, asalkan tadi Tania percaya pada perkataan keponakannya yang cantik itu. "Maaf pak jika kedatangan kami kemari mengganggu waktu anda sekeluarga." Kata Arka membuka pembicaraan. "Tidak apa-apa Pak, malah kami yang seharusnya Minta maaf karena penyambutan Bapak Arka sekeluarga yang kurang pantas ini." Farhan terkejut saat mengenali siapa tamunya. Siapa yang tak kenal Arka didunia Bisnis. Nama Arka melambung begitu dia menggantikan Papa mertuanya (Revan) menjabat sebagai Dirut Pratama Grup, ditambah lagi dia berhasil memenangkan Tender bernilai milyaran rupiah saat dia baru menduduki jabatannya beberapa bulan. "Jadi begini Pak Farhan, niat kedatangan saya kemari ingin meminang keponakan Bapak untuk anak saya." Farhan menoleh kearah Lina yang sedang duduk santai bersebelahan dengan istrinya. "Yah... Tadi Lina sudah menggatakan pada kami kalau akan ada keluarga yang datang meminangnya. Tapi kami kira dia hanya bercanda saja." "Sampai saya melihat pak Arka kemari beserta keluarga. Rasanya saya masih belum menyangka." Tambah Farhan. Farhan diam sejenak. "Keputusan berada ditangan Lina. Jika memang dia bersedia, kami bisa apa selain merestui?." Arka dan Mora tersenyum senang mendengar jawaban Farhan. "Nah sekarang Lina. Kamu mau menikah dengan nak Anta?." Tanya Tania pada keponakannya. Lina menatap Anta yang sejak tadi diam. Jujur saja dia terpukau pada ketampanan Anta. Kedua mata anak muda itu saling beradu. Jantung Lina bergemuruh kencang tak terkendali. Dengan Malu-malu Lina menganggukkan kepalanya. Semua orang disana tersenyum senang. Bahkan Anta bernafas lega melihat anggukan kepalanya. Dia tanpa sadar menahan nafas menunggu jawaban Lina. "Nah Anta... Kamu kasih cincinnya ke Lina." Suruh Mora. Anta mengeluarkan sebuah kotak bludru berwarna biru tua. Disana terdapat sebuah cincin cantik yang siap disematkan di jari manis Lina. Lina tersengat listrik rasanya merasakan kulitnya bersentuhan dengan Kulit Anta. "Sekarang bagaimana kalau kita langsung saja membicarakan tanggalnya?." Usul Mora pada Keluarga Farhan. "Apa ini ti-" "Loh ada tamu ternyata... Maaf meng- Arka! Mora! Anta!" Seorang yang baru saja masuk kedalam rumah itu sedikit terkejut mendapati ada tamu di rumah orang tuanya. "Om Vander. Kok ada disini?." Tanya Anta pada Orang itu. Yah... Dia Vander, Psikiater yang menangani Anta. Vander mendekat kearah kumpulan keluarga itu. "Assalamu'alaikum Pa... Ma... Dek." Vander segera duduk disebelah Lina. "Kamu kenal dengan keluarga Pak Arka Van?." Tanya Farhan pada Vander, putra bungsunya. Farhan memiliki dua orang anak laki laki, yang pertama bernama Yoga, dia sedang ada di Belanda menggurusi perusahaan disana dan yang kedua Vander. "Ya... Kami kenal sudah lama Pa. Ini ada apa ya kalau boleh tau?." "Mereka melamar Lina untuk anak mereka." Jawab Tania Vander menoleh kearah Anta yang hanya dibalas dengan cengiran tak berdosanya. Vander menatap tajam Anta dan Anta tak berpengaruh sama sekali. "Kamu ikut aku Anta!." Vander langsung saja memiting kepala Anta membawanya ke halaman belakang. Tania menatap dua laki laki beda generasi itu dengan khawatir. "Pa... Vander ngak akan ngapa ngapain anak orangkan?." Khawatir Tania. Lina juga khawatir melihat Anta. Apa lagi dengan kondisi kakak sepupunya yang bisa 'ganas' kapan saja. "Tenang saja bu Tania. Mereka sudah sering begitu." Timpal Mora santai. Tania menatap Mora yang nampak tenang dengan kening berkerut. "Saya tau kondisi  Kak Vander, bu Tania." Pernyataan Mora menggejutkan Farhan sekeluarga tentunya. ============ Vander menatap Anta lekat-lekat. Dia tak tau apa yang difikirkan anak muda didepannya ini. Bagaimana dia bisa berfikiran menikah di usia yang bahkan belum genap 17 tahun! Dengan adik sepupunya pula!. "Jelasin! Kenapa Lo mau nikahin adek gue!." Kata Vander galak. Anta menghela nafas berat. "Sejak kapan kak Vander jadi Kak Ervan?." Vander menatap tajam Anta yang malah mengalihkan pembicaraan. Fyi, aja ya Ervan itu Alternya Vander dia itu orangnya Ganas! Ada lagi namanya Damian, kalo yang satu ini Baiknya ngak ketulungan. Saking baiknya bahkan orang orang rela nipuk kepala dia kenceng kenceng. "Jangan Alihin pembicaraan Ta!." Anta menatap Vander - lebih tepatnya Ervan - sebentar sebelum memejamkan matanya. "Jelasin cepet Elah! Lama Lo Berdua! Gue timpuk juga Lo!." Gemas Ervan pada Anta - Fernan. "Kak jangan main timpuk-timpuk dong! Kasihan adek ipar lo ini." Ervan mendengus mendengar perkataan Fernan. "Lo ribet deh! Tinggal jelasin aja dari tadi muter muter! Sejak kapan lo jadi suka muter muter kek gini sih!." Ervan memang orang yang mudah emosi, dibandingkan Vander dan Damian. "Okay... Jadi gini ceritanya Kak..." Mengalirlah cerita dari mulut Fernan, saat pertemuan mereka di lapangan Basket, saat Lina tiba-tiba mencium bibirnya, saat Fernan mulai dihantui Lina disetiap sudutnya. Bahkan sampai kejadian 'ngompol'nya dia ceritakan pada Ervan. Dan tak terlewat juga kejadian tadi pagi disekolah. "Makanya... Anta minta Mama dan Papa buat lamarin Lina. Dia takut gue Khilaf terus hamilin adek lo Kak." Kata Fernan dengan santainya. Ervan mencengkeram kerah Fernan keras, membuat jarak tubuh mereka sangat dekat. Dengan wajah sangar Ervan pasti semua orang yang melihat berfikir kalau mereka sedang bertengkar hebat. "Kalo lo sampai hamilin adek gue! Awas aja lo! Gue jamin lo ngak bakal hidup detik itu juga." Kata Ervan tegas. Fernan melepaskan cengkraman tangan Ervan dengan mudah. "Iya gue ngerti. Gue juga ngak mau setor nyawa sia-sia ke Lo, kasihan Mama sama Papa nangisin gue ntar. Makanya Kak! Ini gue kesini juga buat ngelamar! Biar cepet sah! Biar ngak usah takut nyawa melayang sia-sia karena hamilin Lina nanti." Ervan menatap Fernan tajam. "Apa sih Kak! Jangan natap gue kek gitu ya! Emang salah ya kalo gue hamilin istri gue?!." Ervan diam. Emosinya sangat mudah terpancing. Apa lagi Fernan paling bisa membuat Ervan geram. "Udah yuk masuk Kak. Kasian mereka didalem, pasti khawatirin gue! Mereka pasti ngiranya lo apa apain gue! Hahaha..." Fernan dengan santainya meninggalkan Ervan yang sedang berusaha mati matian menahan emosinya. "Dasar Curut kecil Lo!" Geram Ervan kesal. Dia menendang kerikil kesembarang arah. Fernan senang karena lagi-lagi bisa membuat Ervan marah!. ============ Lina diajak keluar oleh Anta - Fernan, sementara Orang-orang dewasa membicarakan kapan kiranya hari yang tepat untuk pernikahan mereka. Dan disinilah mereka berdua berada tak jauh dari rumah Keluarga Halik. Mereka berada di taman Kompleks. Lina sejak tadi hanya diam, dia tak tau harus apa. Dia gugup. Ini kali pertamanya jalan keluar bersama seorang laki laki. Yah walaupun hanya ke taman Kompleks. Deheman suara Anta membuat Lina menoleh kearah laki laki disebelahnya itu. "Gue belum kenalin diri ke Lo ya." Kata Anta. Kini Antalah yang sedang berhadapan dengan Lina. Fernan baru saja mundur, dia takut tak bisa menahan dirinya jika sedang bersama dengan Lina berdua saja. Anta mengulurkan tangannya pada Lina. "Nama gue Antariksa Fernandio Mouren Hutomo. Panggil aja Anta. Kalo Lo?." Lina menerima uluran tangan Anta dan menjabatnya. "Gue Marlyna Syifana Halik, panggil aja Lina Kak." Anta tersenyum manis pada Lina. Oh tuhan! Lina ingin meleleh rasanya melihat senyuman manis barusan. "Lo ngak usah panggil gue Kak. Usia kita hampir sama kok. Ngak beda jauh." Kata Anta santai. Dia mengayunkan kakinya membuat ayunan yang sejak tadi dia duduki mulai bergerak perlahan. "Bukannya ngak sopan ya kalau manggil Lo ngak pake Kakak, kan Lo kakal kelas gue." Lina mengikuti Anta mengayunkan kakinya. "Ngak! Ngak apa apa. Gue emang kakak tingkat Lo tapi kita seumuran kok." Lina mengangguk paham. Dia menatap Anta dalam diam, sebenarnya ada yang mau dia tanyakan pada Anta tapi dia takut. Tiba-tiba Anta menghentikan gerakan kakinya membuat ayunannya berhenti. Lina juga ikut berhenti dengan wajah bingungnya. Anta menoleh kearah Lina. Gadis itu terkejut tentunya. "Ada yang mau lo tanyain ke gue?." Tanya Anta pada Lina. Lina mengangguk ragu. "Tanya aja, gue jawab kok." Kata Anta ramah. Mendengar nada bicara Anta yang ramah, rasa takut di hati Lina sedikit berkurang. "Mm... Lo... Lo jangan tersinggung ya! Lo punya Kepribadian Ganda kayak Kak Vander ya?." Pertanyaan yang sejak tadi mengganjal di kepala dan hati Lina akhirnya keluar juga. Lina tak berani menatap Anta. Dia takut menyinggung perasaan Anta. "Lihat gue!." Nada tegas itu keluar dari mulut Anta. Mau tak mau Lina menatapa Anta. Sorot mata itu menatap tajam manik mata Lina. "Kalau iya kenapa? Kalau ngak kenapa?." Tanya Anta dengan nada Dinginnya. Mata itu masih menatap tajam kearah Lina. Jujur Lina takut sekarang. Sorot mata itu sangat berbeda dengan sorot mata yang dia lihat beberapa saat yang lalu. "G-gu-gue...."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD