02. Rumah Nenek-Kakek

1810 Words
Suara bel yang terus-menerus dipencet terdengar nyaring memenuhi sebuah rumah berukuran besar yang tampak sederhana dan elegan pada saat bersamaan. Tak berselang lama, keluarlah seorang wanita paruh baya membukakan pintu. Wanita yang terlihat ayu dengan baju batik dan celana kainnya bernama Trisha.  "Nenek! " Baru saja pintu terbuka, beliau sudah dikejutkan dengan pelukan di pinggangnya yang berasal dari gadis kecil mengenakan kaus putih dan celana jeans hitam. "Eh, ada cucu Nenek datang. Sana, masuk. Kakek lagi nonton TV," perintah Trisha mendorong lembut si gadis kecil. "Kakek! " Lagi-lagi si gadis berteriak dan langsung berlari untuk mengatur Kakeknya, Alwi. Trisha yang mendengar teriakan cucunya tersenyum kecil. “Kamu ke sini sama siapa? Papa, Mama, sama Fina mana?” tanya Alwi menyadari bahwa sang cucu, Fani, hanya masuk seorang diri. “Aku datang sama Mama, Papa, sama Fina juga, Kek. Mama sama Papa lagi ngeluarin barang. Fina lama, jadi aku tinggal," ucap Fani. “Aku kangen banget sama Nenek sama Kakek, tau. Nenek sama Kakek kenapa enggak pernah datang ke rumah aku lagi?" Fani mendongakkan kepalanya, melihat wajah sang Kakek yang mulai memiliki garis-garis keriput di wajahnya. “Sejak kapan kamu punya rumah? Itu rumah Papa sama Mama. Bukan rumah kamu," sambar Rian yang sudah masuk ke dalam rumah dan menyalami tangan Ayah mertuanya. Mendengar perkataan Papanya, Fani langsung memajukan bibir bawahnya kesal. "Kakek, aku juga mau dipeluk sama Kakek." Fina yang awalnya mengantuk setelah melihat Fani dipeluk Alwi membuka suara. “Sini, sama Nenek.” Dengan sigap Trisha menarik tangan Fina lembut dan memeluknya. “Aku mau dipeluk sama Kakek, Nek.” Fina memberontak pelan di pelukan Trisha. “Kamu enggak mau dipeluk Nenek?” tanya Trisha dengan raut dibuat sesedih mungkin. “Mau, tapi aku juga mau dipeluk sama Kakek,” suara Fina bergetar. “Sini, Kakek peluk.” Akhirnya Alwi bersuara setelah melihat Fina hampir menangis. “Tapi aku enggak mau bareng Fani, Kek. Dia nakal," keluh Fina yang ditatap Fani dengan terkejut. “Aku enggak nakal! Kamu enggak boleh peluk Kakek!" sahut Fani kesal. “Kamu nakal!” “Udah, udah. Jangan berantem," tukas Trisha. “Mau peluk Kakek!” “Fani, gantian sama Fina meluknya.” Alwi berusaha membujuk Fani. “Enggak mau. Fina ngatain aku nakal.” Fani makin mengeratkan pelukannya. “Fani, kamu udah pelukan duluan sama Kakek. Gantian sama Fina, ya.” Trisha ikut membujuk Fani. “Kita peluk Kakek sama-sama,” putus Fani masih dengan raut sebal. "Aku enggak mau! " “Fani, gantian sama Fina. Jangan egois. Papa enggak suka!" tegas Rian. Fani menenggelamkan wajah di lengan Alwi. Dia diam, tidak menunjukkan tanda-tanda akan melepaskan pelukannya pada sang Kakek. “Jangan buat Papa marah, Fani,” kecam Rian membuat Fani dengan sangat tidak rela melepaskan pelukannya. Setelahnya Fina langsung berhambur ke pelukan sang Kakek. Fani mendongak, melihat wajah Papa dan Mamanya yang tersenyum. Dan itu berhasil membuat hatinya sakit, tapi dia hanya bisa menunduk. “Aku masih mau peluk Kakek,” gumamnya. Gerakan bibir Fani tertangkap indra penglihatan Trisha. Wanita itu memperhatikan wajah sendu Fani. Terbesit rasa iba di benak Trisha. Ditariknya tangan Fani menuju dapur. Fani hanya diam mengikuti langkah kaki Trisha. “Nenek tadi buat puding cokelat kesukaan kamu, loh,” ucap Trisha setelah sampai di dapur dan menyuruh Fani untuk duduk di kursi meja makan. Fani masih diam. Dia sibuk memperhatikan Neneknya yang mengeluarkan puding cokelat dari kulkas. Tidak mendapat jawaban yang antusias seperti biasanya dari Fani, lentera Trisha melihat ke arah Fani yang sudah berlinang air mata. “Loh? Kok nangis?” Trisha langsung menerapkan Fani. Mendapat pelukan dari Neneknya tidak membuat tangis Fani mereda, justru semakin menjadi. Trisha membiarkan bajunya basah oleh air mata Fani. Setelah Fani sudah lebih tenang, barulah dilepaskannya pelukan itu untuk menatap wajah Fani. Trisha mengusap air mata yang membasahi pipi Fani dengan jemarinya lembut.  “Fani kenapa nangis, sayang?” "Aku sedih, Nek." Setelah mengatakan itu, air mata Fani kembali luruh. “Sedih kenapa?” “Sedih lihat wajah Nenek sama Kakek. Pasti itu sakit 'kan, Nek? Garis-garisnya jahat, ngejelekin wajah dan tangan Nenek sama Kakek. Aku enggak suka sama dia! Kenapa dia jahat sama Nenek sama Kakek? Hukum aja dia, Nek, dia udah jahat! Jahat!" Fani menangis histeris. Tangisan Fani terdengar sampai ke ruang keluarga. Alwi, Rian, Dina, dan Fina segera ke dapur untuk melihat apa yang terjadi. Di dapur, mereka heran melihat Trisha tertawa sedangkan Fani menangis. “Nenek kenapa ketawa?” Fani yang masih menangis, bertanya kesal. “Kamu kenapa nangis?” tanya Fina heran. “Itu, garis-garis yang ada di wajah dan tangan Nenek. Dia jelekin Nenek, Kakek juga. Aku enggak suka sama garis-garisnya, ”pesan polos Fani membuat 4 orang dewasa itu tertawa, tidak dengan Fina yang tampak terkejut. “Fani, garis-garis ini enggak jahati Kakek sama Nenek. Kalau seseorang di wajah dan lokasinya, udah ada garis-garisnya, berarti orang itu udah tua, sayang. Udah sama kayak Kakek dan Nenek. Kakek sama Nenek udah tua, udah punya cucu tiga. Kamu, Fina, sama Lili," jelas Kakek, membuat Fani membulatkan matanya lucu. “Kakek, jangan! Nanti pipi aku lepas," ujar Fani langsung melindungi pipi tembamnya dengan kedua telapak tangan saat Kakek menariknya. Lantas mereka tertawa. Anak kecil itu memang sangat menggemaskan dan sangat periang. Dia bisa membuat orang-orang yang ada di sana tertawa. Tingkah polosnya, wajah menggemaskannya saat kesal. Bahkan, hanya dengan tawanya dia sudah bisa membuat orang-orang di sekitarnya ikut bahagia dan tertawa. Namun, ketika dia sudah menangis pilu, orang yang mendengar tangisnya juga bisa ikut meneteskan air mata.  Karena kelamaan melamun, Trisha tidak sadar Fina yang mengantuk dibawa oleh Alwi ke kamar. Sedangkan Fani sedang bertanya dan sudah mempertanyakan beberapa kali pertanyaannya. “Nenek ih, aku kan tanya. Kenapa enggak dijawab?” tuntut Fani kesal. “Eh? Tadi Fani nanya apa?” “Enggak jadi! Nenek enggak jawab! Aku udah capek nanya!" Tanpa sadar nada bicara Fani meninggi. “Fani, jangan ngomong kayak gitu sama Nenek. Itu namanya enggak sopan, sayang. Minta maaf sama Nenek," perintah Dina lembut, memberi pengertian pada anaknya. “Enggak mau. Nenek nakal, Ma. Aku nanya enggak dijawab. Aku males sama Nenek.” Fani bersedekap dengan wajah sebal. “Fani! Mama udah kasih tau kamu baik-baik, ya! Disuruh minta maaf malah ngelawan! Dilembuti malah menjadi kamu, ya! Mau kamu apa?! Kalau ngomong sama orang yang lebih tua dari kamu, SIAPA PUN itu, jaga cara bicara kamu! Jangan ngebentak-bentak kayak gitu! Enggak sopan! Kapan Papa sama Mama pernah ngajarin kamu mengatakan enggak sopan kayak gitu?! Lihat Fina! Dia enggak pernah kayak kamu! Minta maaf sama Nenek!" Dina membentak marah. “Fina aja, enggak pernah kayak kamu! Kalau disuruh, ya dikerjai. Dilarang, ya enggak dikerjai. Kamu harusnya bisa kayak Fina! Nurut sama apa yang dibilang orang tua. Bukan Nenek yang nakal, tapi kamu! Sekarang, minta maaf sama Nenek! Jadi kayak Fina, anak yang penurut!" Rian ikut berucap dengan nada tinggi penuh ketegasan. Fani menunduk sedih, membiarkan cairan mengalir membasahi pipi tembamnya. Tangis Fani tidak sepenuhnya karena bentakan dari Mama dan Papanya, tapi lebih karena Mama dan Papanya yang selalu saja setiap marah pasti membandingkan dia dan Fina. Fina beginilah, Fina begitulah. Selalu seperti itu. Masih dengan kepala menunduk menatap lantai yang dipijaknya, Fani mendekati Trisha. Tepat di depan Trisha, barulah Fani mendongak. Menunjukkan wajahnya yang dibanjiri air mata. "Nenek, maaf." Setelah mengatakan itu, tangis Fani pecah. Dia terisak. Kontan saja Trisha langsung merengkuh tubuh mungil Fani yang bergetar. “Udah, enggak apa-apa. Nenek enggak marah." "Nenek, maaf." Fani semakin histeris karena Trisha belum memaafkannya. Fani takut Mama dan Papanya marah, membentaknya lagi, dan memukulnya menggunakan rotan. “Iya sayang, tapi berhenti dong nangisnya. Nanti Nenek enggak mau maafin nih kalau kamu masih nangis,” balas Trisha. Mendengar ucapan itu, Fani mampu menggerakkan jarinya untuk mengusap jejak air mata di pipi dan sisa-sisa air mata yang masih keluar dari pelupuk mata. Setelah Fani merasa yakin bahwa sudah tidak ada air mata lagi di wajahnya, dia pun mendongak menatap wajah Trisha. “Udah, Nek. Aku udah enggak nangis lagi. Nenek mau maafin aku, 'kan?” tanya Fani tersenyum lebar. “Iya, Fani sayang. Ya udah, kita makan pudingnya, yuk. Tadi kita 'kan mau makan puding," ucap Trisha tersenyum. “Nanti aja, Nek. Aku mau lihat kelinci.” Fani sangat antusias untuk melihat kelincinya. “Nanti ya, sayang,” bujuk Trisha. “Tapi, Nek-“ Ucapan Fani terpotong oleh suara kembarannya yang baru saja kembali masih dalam keadaan mengantuk di gendongan Alwi. “Mama, Papa,” ucap Fina. “Loh? Kok udah bangun, sih, anak Papa? Hm? Boboknya enggak nyenyak, ya?” tanya Rian lembut. Fani yang mendengar Papanya berbicara lembut dan menggendong sang kembaran bahagia hanya bisa melihat pemandangan itu dengan sakit. “Nenek, aku lihat kelinci aja, ya,” pinta Fani pelan. "Aku juga mau ikut." Fina yang masih sedikit mengantuk berbicara. “Ya udah, iya. Tapi, nanti aja ya lihat kelincinya, setelah selesai makan. Kalian belum pada makan siang, 'kan?” tanya Trisha, tidak mengerti bagaimana perasaan Fani yang sangat ingin melihat kelinci dan pergi dari pemandangan yang menyesakkan d**a itu. “Tapi, Nek. Aku mau lihat kelinci sekarang,” mohon Fani sekali lagi dengan memelas. “Ya udah, boleh.” "Aku juga mau, Nek." Fina menyambung. “Tapi kamu belum makan, sayang. Kita makan dulu ya. Kalau kamu enggak makan, nanti kamu sakit terus Mama sedih. Selesai makan, baru deh kita lihat kelincinya. Janji, Mama temenin. ” “Enggak mau. Aku maunya sekarang. Fani aja boleh. Kenapa aku enggak boleh?" Fina menatap sang Mama dengan mata berkaca-kaca. “Fani, makan dulu ya. Baru lihat kelincinya," ucap Rian akhirnya kepada Fani. 'Aku enggak mau, Pa. " “Kamu harus ngerti, dong. Kembaran kamu belum makan. Dia juga mau ikut lihat, bukan cuma kamu doang yang mau ngelihat," tutur Rian terlihat jengkel. “Tapi, Pa-“ “Nanti atau enggak sama sekali,” ancam Rian penuh kontrol. Dengan sangat terpaksa Fani duduk kembali di kursi yang tadi didudukinya. Saat makan dimulai, Fani makan dengan perlahan sambil menunduk, menahan laju air matanya. Dia tidak mau semuanya tau bahwa dia sudah hampir menangis. "Padahal tadi waktu aku mau lihat kelinci dibolehin. Mama sama Papa juga tau kalau aku belum makan, tapi waktu Fina juga mau ikut lihat kelinci belum makan, Fina enggak dibolehin. Mama sama Papa enggak mau Fina sakit, tapi kenapa sama aku enggak? Kenapa Mama sama Papa enggak ngelarang aku kayak Mama sama Papa ngelarang Fina karena takut sakit? Apa kalau aku yang sakit Mama sama Papa enggak sedih kayak waktu Fina yang sakit?" batin Fani sedih.  Mungkin, karna terlalu asyik membatin, tanpa sadar makanannya hanya diaduk-aduk saja dari tadi. “Fani, itu makanannya dimakan! Atau kamu enggak boleh lihat kelincinya!" tegas Rian. Hal itu membuat Fani mengembangkan senyumnya dan hatinya pun terasa menghangat. Bukan, bukan karena ucapan tegas Rian, tapi karena Fani menangkap Papanya bilang begitu karena tidak ingin dia sakit. Saat sudah selesai makan, Fina yang masih mengantuk tidak jadi ikut melihat kelinci di belakang dan malah pergi tidur. Begitu juga dengan Dina yang menemani Fina tidur. Alwi pergi ke ruang kerjanya setelah membuka kunci pagar kelinci diikuti Rian. Sedangkan Trisha membereskan meja makan. Fani berjalan gontai seorang diri ke belakang. Kelincinya ada 8 ekor, 4 jantan dan 4 betina. Kelinci-kelinci itu berada di dalam pagar dengan ketinggian mencapai d**a Fani. Dengan hati-hati Fani membuka pintu pagarnya dan langsung masuk, tidak lupa ditutupnya kembali pintu pagar itu. Kelinci-kelinci itu milik Fani dan Fina yang sengaja dibelikan Kakek sebagai hadiah ulang tahun ke-4 mereka. Awalnya, kelinci itu hanya ada 2; betina dan jantan. Yang betina milik Fani, yang jantan milik Fina. Namun, kelinci betina melahirkan anak-anak. Hingga sekarang, kelincinya sudah ada 8 ekor. Dua pasang milik Fani, dua pasang lagi milik Fina.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD