02. Situation

981 Words
Oza duduk dikursinya dengan gelisah. Sudah dua jam lebih ia duduk di ruangan ini seraya di tatap lekat oleh sepasang mata cokelat s****n itu. Ingin rasanya Oza mencolok mata pria itu dan mendonorkannya pada tunanetra yang ada di luar sana agar dapat lebih bermanfaat. "Saya beneran mau marah ini" gumam Oza entah sudah yang keberapa kalinya. "Kamu tinggal jawab apa susahnya. Berkas apa saja yang sudah karyawan saya bawa ke ruko kamu?" "Mana saya tau Pak! Saya cuma tukang photo copy. Mereka bawa yah saya photo copy-in, Astagfirullahaladzim" Oza mulai kembali tersulut emosi. Pasalnya ia izin pada Bu Mira hanya sebentar, dan sekarang sudah dua jam lebih ia ditahan disini. Bersama Lingga dan tatapan lekatnya. "Kamu bisa saja dapat masalah jika perusahaan lain muncul dengan konsep mirip perusahaan saya. Yang tau data perusahaan otomatis bukan hanya karyawan, dan yang patut di curigai pertama kali tentu saja kamu" "Sumpah Pak! Saya cuma tukang photo copy" Oza ingin menangis rasanya. Dipaksa menjelaskan hal yang tidak diketahui, sama saja membuat Oza tertekan. "Sejak kapan awal nya?" Lingga kembali bertanya, yang membuat Oza semakin jengkel. "Sejak mesin photo copy kantor ini rusak lah" jawab Oza malas-malasan. "Lebih signifikan. Tanggal dan bulan" See? Lingga dan pikiran teramat tidak logisnya yang membuat orang lain jengkel kala berlama-lama dengan nya. Tidak masuk akal! "Saya ga ingat" Oza memijit pelipisnya pelan. Bisa gila ia jika sedikit lebih lama lagi disini. "Kalau kamu melihat karyawan yang pernah minta jasa photo copy, bisa ingat?" "Dasar gila" Oza mendesis lirih mendengar ucapan Lingga. "Bawa fotonya sini cepat" Oza punya akal-akalan akan asal tunjuk foto saja nantinya. Yang penting ia cepat keluar dari ruangan s****n ini. Lingga berdiri kemudian berbicara dengan sekretarisnya untuk menyiapkan semua data karyawan lengkap beserta foto. Tak menunggu sampai Lingga bosan, apa yang dibutuhkan pria itu sudah ada. "Silahkan di cek" Oza meraih album karyawan yang diulurkan Lingga kepadanya, kemudian mencentangnya secara random foto karyawan yang terdapat dalam album di depannya ini. Tanpa melihat nama, foto, apa lagi data diri. Ia benar-benar tidak peduli sekarang. "Sudah" Lingga mengangguk, ia mengambil ponselnya kemudian memanggil kaki tangannya. "Aldo, Masuk" Tak sampai satu menit, pria bernama Aldo yang notabenenya sekretaris Lingga itu sudah membuka pintu dan masuk ke dalam ruangan tersebut. "Kamu urus uang pesangon untuk orang-orang bertanda centang dalam album itu" Oza membelalakkan mata nya tak percaya kala mendengar rentetan kalimat yang diucapkan secara gamblang oleh Lingga. Pria ini gila? Ya pria ini benar-benar sudah gila! "Pak, Bapak pecat mereka?" "Bener yang itu 'kan?" Bukan nya menjawab Lingga justru balik bertanya, membuat Oza menggelengkan kepalanya cepat dengan ekspresi kebingungan. "Bukan! Saya asal tunjuk tadi" Lingga diam, ia menatap Oza dengan tatapan yang tak terbaca. Membuat Oza secara tak sengaja ikut tenggelam akan tatapan Lingga, mencoba mencari arti tatapan tersebut. Cukup lama sampai akhirnya suara Aldo memecah aksi tatap-tatapan gila mereka. "Jadi bagaimana, Pak?" Lingga mengedipkan matanya beberapa kali, kemudian memutus kontak mata mereka yang tercipta secara tiba-tiba. "Ya" Satu kata dari mulut laknat orang gila didepan Oza ini semakin membuat Oza ketar ketir. Oza kira tadinya pria ini akan membatalkan, tapi ternyata tetap teguh akan pendirian nya. Padahal kala tatapan Oza menyelami bola mata cokelat itu, ada sedikit sorot ketenangan yang membuat Oza yakin akan predikisi nya. But, it's just Oza expectation. Tatapan pria ini benar-benar tak terprediksi. Sekali lagi Oza melirik pada karya berbahaya yang ia ciptakan. Karya coretan pulpen hasilnya tadi merupakan karya abstrak yang sangat fatal yang pernah ia ciptakan. Bagaimana tidak? Puluhan orang tak bersalah yang ia pilih secara acak mengakhiri karir mereka begitu saja karena ulah nya. Bagaimana jika orang tersebut merupakan tulang punggung keluarga? Punya anak lima yang masih kecil-kecil? Punya istri yang sebentar lagi melahirkan? Akan sangat merasa bersalah sekali Oza! "Pak saya tadi pilihnya acak. Sumpah!" Lingga hanya diam, kembali menatap Oza sekilas, lantas berdiri hendak pergi dari ruangan tersebut. "Saya sedang membahas hal serius dengan kamu. Tapi kamu sepertinya anggap saya lagi main-main." "Pak saya mohon" Oza berucap lirih. "Jangan pernah remehkan keseriusan saya"   ***   "Assalamualaikum" Oza melangkahkan kakinya gontai memasuki ruko yang ia tinggal bersama pemiliknya ini selama berjam-jam. Ia pasrah akan mendapat ceramah panjang dari Bu Mira selaku pemilik usaha tempat bekerjanya ini. "Walaikumsalam, Dari mana aja kamu, Za? Ibu mau pulang nungguin kamu lama banget" "Maaf Bu. Tadi ada masalah sedikit sama kerjaan punya karyawan depan yang Oza anter. Jadi agak lama" Oza memilih menyembunyikan hal s**l yang menimpanya tadi dari Bu Mira. Tidak menutup kemungkinan hal tersebut akan cepat sampai kepada ibunya jika ia memberi tahu Bu Mira. Bu Mira ini sejenis Lambe Turah berjalan yang membuat Oza jauh lebih berhati-hati kala bicara dengan beliau. "Yaudah ibu mau pulang dulu. Nanti kunci yang bener yaa kalau kamu pulang" "Iya Bu" Selepas Bu Mira pergi, tubuh Oza merosot lemas keatas kursi yang biasa ia duduki. Kakinya sudah sangat lemas sedari tadi. Bayangan kehidupan sulit orang lain yang akan datang selalu berputar-putar di kepala Oza. Rasa bersalah semakin menggerogoti benaknya. Oza menghembuskan napasnya kasar, ia meraih ponselnya lantas melihat jam yang tetera di sudut layar ponselnya sekilas. Pukul tiga sore, sudah waktunya Oza menutup ruko ini dan bersiap pergi ketempat kerja keduanya. Mungkin benar Oza menghindar memiliki hubungan dengan pria kaya agar tidak menyusahkan dirinya sendiri, tapi untuk urusan pekerjaan, tentu saja bekerja mesti dengan orang yang lebih kaya darinya. Orang-orang semacam dirinya mana bisa dimintai pekerjaan 'kan? Fyi, dari pukul delapan pagi sampai tiga sore Oza bekerja melayani jasa photocopy disini, sedangkan dari pukul tiga sore sampai pukul delapan malam Oza akan bertugas menjaga seorang bocah laki-laki berumur tiga tahun yang terkesan kalem. Setelah beberapa menit, Oza kembali mencoba mengendalikan dirinya yang masih merasa linglung, bak orang yang baru saja terkena korban hipnotis. Ia mencoba bersikap masa bodo dan menahan untuk tidak ikut campur lagi dalam masalah kantor orang. Walaupun Oza tak yakin, rasa bersalah pada puluhan nasib orang yang telah ia hancurkan dengan mudahnya, hilang begitu saja. ***      
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD