Namaku Sartika

1503 Words
Tahun 1942 , Di rumah bordil dan pembantu — Sohien, Batavia. Ekonomi di Indonesia semakin memburuk. Itu juga berdampak pada kompeni. Di tambah lagi, kalahnya negara-negara sekutu saat terjadinya Perang Dunia II, menjadi catatan buruk sejarah kompeni. Seruan aneh kembali muncul di media bahkan penjuru kota. Mereka menyebut, sekarang masanya penjajah bermata sipit dari timur. "Nippon?" gumamku. "Baca apa Tik?" tanya Rubi, teman sekamarku. Tujuh tahun berlalu, membesarkan aku seperti sekarang. Kertas lusuh yang ibu berikan padaku di saat terakhirnya, membawaku ke tempat ini. Bukan sebagai nyonya kamar merah yang suka bercolek dan berlenggak lenggok, namun hanya b***k kelas bawah yang terus bekerja membersihkan kotoran. Lima tahun bekerja bersama Sohien — majikan berdarah China dan Belanda — cukup membuatku memiliki pengalaman sebagai pelayan terbaik. Aku mendapatkan banyak uang serta sempat duduk di bangku sekolahan. Aku cukup beruntung daripada Rubini — teman seperjuanganku — yang sampai sekarang masih belum bisa membaca, dan terus menerus ditipu oleh banyak hidung belang. Rubini bahkan tak menyadari hal itu. Dan seolah dialah yang telah memperdaya mereka. "Baca bangsa asia timur yang sekarang tengah meresahkan —" jawabku. Rubi tak lagi tertarik dengan rasa penasarannya tadi. "Jadi pindah ngebabu kemana lagi, Tik?" Rubi mengganti topik. Anak ini suka sekali bercolek. Dia bilang hanya itu keahliannya. Dibanding dengan gadis-gadis lain, memang kuakui bakat Rubi soal bercolek, dialah ahlinya. Tapi pikirannya terlalu lugu. Gampang untuk menjadi santapan pemuda hidung belang yang hanya menginginkan paras cantiknya. Tak heran, di usia yang masih belasan ini, Rubi sudah punya dua anak. Dari laki-laki yang tak jelas siapa. "Ke Bogor. Ikut temannya Sohien." Rubi ber-oh ria sambil memoles alis. "Entah kapan kita bisa jadi nyonya ya, Tik. Capek begini terus. Aku tuh pengen dapet suami kaya. Kayak si Surti tuh yang beruntung dapat bangsawan." "Kamu ini ngaca dulu lah Rubi. Pendidikan nggak ada kok ngarep jadi istri bangsawan" celetuk Parti, yang selalu setia meledek Rubi. Kedua orang ini memiliki hobi yang sama. Tapi dari segi pola pikir, aku akan memberikan nilai lebih pada Parti karena dia lebih kritis dalam berpikir. Selebihnya, mereka sama saja. "Eleh nggak ada hubungannya toh —" Parti bangkit dari kursinya. Seperti yang lalu-lalu, mereka akan terus berdebat hingga seluruh penghuni rumah penampungan datang untuk menonton. "Nggak ada hubungannya gimana? Kamu kepengen kayak Surti kan? Enak dapet bojo kaya? Surti tuh sekolah ! Bisa baca. Pinter kayak Sartika ini. Nggak kayak kamu ! Gila jantan! " Rubi pun jadi ikut banting pencil alis. Dengan kebaya yang belum sempat dia kenakan, perempuan itu tergopoh-gopoh mendatangi Parti yang juga tengah berias itu. "Ya terus kenapa?? Apa aku nggak boleh ngayal? Apa aku nggak bisa jadi seperti Surti? Kenapa kamu yang sewot?" Perkelahian tak bisa terelakkan lagi. Beberapa ada yang mencoba melerai — termasuk aku. Sedangkan yang lain ada yang malah acuh dan memilih melanjutkan kegiatan mereka. Padahal, pertikaian mereka sudah merembes saling caci maki lalu saling jambak menjambak. "Kenapa ribut kenapa ribut!" Sohien datang dengan tergopoh-gopoh. Beliau mulai unjuk gigi dengan bahasa ibunya. "Kalian semua kenapa ribut-ribut? Haiish! Tamu sudah datang. Lu semua masih mau makan hah?" Semua terdiam, termasuk aku. Sohien berhasil menetralkan suasana, sebelum atensinya jatuh mencariku. "Sartika! Ini malam kita berangkat ke Bogor. Cepat bereskan pakaian —" "Kok mendadak koh?" tanyaku bingung. Pasalnya, kemarin kokoh Sohien bilang akan berangkat besok atau lusa. "Jangan banyak tanya! Cepat kemas saja," bentaknya. Ada yang aneh dengan Sohien hari ini. Biasanya dia tak pernah semarah ini melihat pertikaian Rubini dan Parti. Dan lagi, tak pernah membentakku walau apapun pekerjaan yang kulakukan itu salah. Ibu benar telah menitipkan aku pada pria keturunan China ini. Meski dia memiliki bisnis yang menyesatkan, bagiku Sohien seperti bapak. Dia perhatian dan bahkan tak mengijinkanku mendekati p****************g yang ada di rumah bordilnya. Sohien paling tidak, masih lebih manusiawi daripada bibiku dulu. "Ada apa koh? Kenapa mendadak?" Aku mengikutinya yang keluar dari kamar rias setelah melerai pertikaian tadi. Dengan pipa yang masih menempel di sudut bibirnya, Sohien menghentikan langkah pincangnya. "Kamu harus pergi secepat mungkin. Keadaan sudah tak bagus." "Keadaan apa? Bisnismu? Atau —" Sohien seperti kehabisan kata-kata untuk menjawabku. "Cepat kemas barang-barangmu —" . . Tiga jam perjalanan dari Jakarta. Aku pergi sendiri dengan beberapa bekal nasihat yang Sohien berikan padaku. Sohien berharap aku akan mendapatkan hidup yang lebih baik. "Mereka orang baik. Sekarang jaman dikuasai oleh orang Nippon." "Bangsa Asia Timur? Mereka sama sepertimu kan?" sahutku. "Bukan. Kita beda mah!!" Sohien tampak tak terima dengan ucapanku. "Tapi keluarga Tojo ini sudah lama di Indonesia. Mereka tak seutuhnya sama seperti tentara mereka yang datang kemari. Yang jelas, kamu harus pandai-pandai jaga diri." Tapi tetap saja, aku khawatir dengan nasibku kedepan. Nasihat itu malah membuatku semakin gugup dan takut. Sekarang aku tepat di halaman mansion bergaya Georgian yang letaknya berada di tengah-tengah kawasan hutan lindung. Setelah melewati pagar dengan tingkat keamanan tinggi yang mengharuskanku di periksa terlebih dulu sebelum masuk, aku kembali di buat terhenyak dengan megahnya mansion yang di kelilingi beberapa danau buatan penuh dengan ikan koi. Belum hilang keterkejutanku, seorang wanita pertengahan abad melambai ke arahku dari depan pintu rumah. Ia berdiri dengan stelan kimono dengan lentera minyak yang menerangi tempatnya berdiri . Aku langsung turun dari mobil dan menghampirinya yang tampak sudah sangat tidak sabaran melihatku dari dekat. "Konichiwa , saya Sartika yang - " "Kau ikuti aku!" pintanya tanpa sedikitpun menoleh padaku. Ia berjalan sangat cepat padahal tubuhnya sudah setengah membungkuk. "Panggil saja aku Sunyang." Aku mendengarkannya sambil tertatih membawa beberapa barang bawaanku. Bibu Sunyang benar-benar tak membiarkanku bertanya ataupun membantah sedikitpun. Ia membawaku ke lorong-lorong gelap yang memang minim penerangan. Membuka beberapa pintu geser yang ku yakini adalah halaman belakang dari mansion yang dibangun campuran ala georgian dan Jepang ini. "Sebelah kiri adalah dapur - " Bibi menunjuk lorong gelap yang bahkan tak tampak jelas olehku. Saat aku menoleh lagi, dia sudah berada di anak tangga teratas tengah menilikku tajam , "Cepatlah!" hardiknya setengah berbisik. Sampai disini, aku hanya bisa menelan ludah sambil merengut kesal. Di ruangan berikutnya, bibi menunjuk kamar dengan pintu kayu ukir besar di sudut , "Itu kamar tuan muda tertua - Hide. Besok kau akan bertemu dengannya jam delapan pagi, siapkan dirimu satu jam sebelum bertemu dengannya," ujarnya cepat dan kembali berjalan. Kali ini ia menggeser pintu kayu lalu menunjuk lewat lentera minyaknya. Kamar kecil berukuran dua kali tiga meter yang dapat kuasumsikan adalah kamarku. "Ini kamarmu. Karena tugasmu adalah mengawasi dan melayani tuan muda kedua - Hiro, kamarmu sengaja bertepatan dengan kamar miliknya agar mudah dijangkau." Aku bahkan tak menyadari ada pintu besar lagi tepat di depan kamarku. Bibi Sunyang mendekatkan telinganya pada daun pintu lalu memberi isyarat agar aku diam. Aku berani bersumpah, rumah ini sudah tenang sejak aku sampai di depan rumah. Ini bahkan terlalu sunyi untuk ditinggali oleh manusia!! "Tuan muda kedua memiliki banyak gangguan. Terutama gangguan tidur di tengah malam. Sewaktu-waktu ia akan berteriak tanpa sebab. Dan tugasmu adalah menenangkannya dengan mengelus kepalanya hingga ia kembali tertidur atau menyuntikkannya obat tidur yang ada didalam laci jika hal itu tak berpengaruh padanya." Aku menganggguk paham , karena aku sudah mendengar ini dari Sohien sebelum bekerja di rumah ini. Sohien menawarkan ku menjadi pelayan rumah tangga dan pelayan keperluan pribadi tuan muda Hiro yang aku dengar seorang depresian. "AAAKKKK!" Aku terkejut mendengar teriakannya dari dalam kamar. Sunyang langsung mencari kunci dan membuka pintu , "Lakukan!" "Apa?" tanyaku bingung , bibi tetap tak mendengarkan bantahanku dan malah mendorongku masuk ke dalam kamar. Didalam sini bahkan lebih gelap. Karena terlalu panik, aku sampai menabrak beberapa meja pendek dan kursi yang tak tampak hingga menciptakan bunyi mengganggu. "SIAPAAA!PERGI!PERGI!" Aku mengerjap lalu setengah berlari menghampiri ranjang tuan muda. Dia berteriak dengan mata yang masih tertutup. Aku menghela nafas lega sambil melakukan apa yang dikatakan bibi padaku tadi. Mengelus kepalanya hingga kembali tertidur tenang ... Lucu sekali. Tuan muda bukan seorang anak berumur delapan tahun untuk diperlakukan seperti ini. Tapi dia benar-benar tenang sekarang.. "Ibu - " igaunya. Aku menarik selimut tebalnya hingga ke d**a. Tepat saat itu pula, tuan muda mendadak membuka matanya. Menggeliat lalu menatapku tepat di mata. "Jangan berhenti — " bisik Sunyang dari arah pintu. Aku menoleh berulang kali memastikan apa yang diisyaratkan Sunyang lagi padaku. Sunyang menunjuk jarum suntik yang ada di dalam laci. Saat tanganku diam-diam meraba nakas menuju jarum suntik , tuan muda menarik sebelah tanganku hingga aku jatuh tepat didadanya.. "Pergilah sebelum kau menjadi mangsa berikutnya," bisiknya dengan suara teramat parau. Aku masih mencerna ucapan tuan muda dicela-cela Sunyang kembali bertanya padaku dari tempatnya. Kalau Sunyang risih melihatku menjalankan tugas dengan lamban, kenapa bukan dirinya langsung yang datang dan memberi obat penenang? Daripada berdiri gelisah seperti takut akan diterkam oleh monster? Aku mencoba bangun dan kulihat tuan muda telahpun menutup matanya kembali. Sekali lagi aku menghela nafas dan menganggap semua tak pernah terjadi. Terutama ucapannya tadi yang sempat membuatku merinding. Sunyang menutup pintu kamar lalu diam dengan pandangan menusuknya. Setelah kuperhatikan dengan dekat, diwajahnya terdapat goresan dalam hingga salah satu matanya sedikit tertutup. "Lakukan seperti tadi setiap kali ia terbangun. Kalau tak berhasil, suntikkan saja jarum itu sekuat tenagamu agar si pembuat masalah itu tidak menyerangmu." Aku mendelik mendengarnya terus mengumpat meninggalkanku. Setelah Sunyang benar-benar pergi di telan gelapnya ruangan , aku langsung terduduk lemas di depan kamarku. Mana yang harus kutakuti lebih dulu? ucapan tuan Hiro yang menyuruhku pergi ? atau sikap Sunyang yang kuhendus juga sama menakutkan dan mencurigakan itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD