bc

Kisah

book_age16+
164
FOLLOW
1K
READ
badboy
mystery
school
spiritual
like
intro-logo
Blurb

Ini kisah tentang gadis indigo bernama, Lembayung. Langgas nama teman hantunya dan Atuy sahabat karibnya. Kisah ini dimulai dari dirinya yang harus membantu Atuy mendapatkan cintanya, siapa sangka ini juga menjadi awal mula kisah dirinya bertemu dengan ketua geng motor di sekolah mereka. Sifat ceria dan periang gadis itu nyatanya mampu menarik perhatian sang ketua, hingga pada akhirnya dirinya harus berurusan dengan sifat egois pemuda itu. Tidak hanya itu, masih ada kisah Langgas yang berharap bertemu kembali dengan kekasih hatinya dan kisah cinta Atuy yang kian berwarna seakan jalan takdir begitu mulus untuknya.

Lalu, bagaimana kisah selanjutnya? Akankah lembayung luluh begitu saja dengan ketua geng itu? Dan mungkinkah ada maksud lain dari si ketua geng mendekati Lembayung? Jangan lupakan Langgas yang masih menunggu, akankah ia juga berhasil bertemu dengan kekasihnya kembali? Dan siapa pemuda yang menjadi ketua tertinggi di geng motor itu?

chap-preview
Free preview
01| Lembayung
Hawa panas menjadikan banyak daun mengering, aku mengeluh lagi. Mungkin ini menjadi hari penuh keluh kesah untukku, bagaimana riangnya ibu menyuruh untuk memetik dedaunan layu dikebun, membuatku tak tega hanya untuk menyampaikan mosi penolakan. “Cepatlah sedikit wahai anak muda, tenagamu tak sekuat baja sepertiku,” suara ayah terdengar, nada penuh ejekan itu membuatku menoleh dan menggerutu kesal. Ada apa dengannya? Mengapa tiba-tiba menjadi sangat semangat membantuku. Biasanya, beliau hanya meminum kopi dan membaca koran disaat libur begini. Apa dirinya juga terkena rayuan hangat dari ibu? Aku tak habis pikir di usia mereka yang kian menua, ayah masih saja menjadi korban perayuan handal ibuku. “Lihatlah, bahkan ayah sudah mendapatkan lebih dari itu, mengapa kau lambat sekali? Jika begini sampai esok pun tak akan selesai,” lagi, dirinya memang suka sekali mengejekku. Menjadi hal lumrah dalam rumah ketika ibu mengomel memintaku untuk berhenti meladeni setiap ucapan ngelantur ayah. Aku hanya diam, meladeninya sama saja menciptakan keributan di kebun ini. Lebih baik, kembali memberi semangat pada diri sendiri agar lebih cepat mengumpulkan daun-daun kering ini. Lama-lama aku jadi semangat, memikirkan betapa nyamannya merebahkan diri di kasur empuk milikku menjadi penyemangat tersendiri. Ayah juga sudah tak meledekku, pria itu kini sibuk mengumpulkan dedaunan. Mengusap peluh kuedarkan pandanganku barangkali melihat ibu yang berbaik hati membawakan es jeruk dan gorengan, namun sepertinya nihil. Hanya sosok Langgas yang kutemukan didekat pintu masuk rumah. Aku melambaikan tangan padanya, dibalasnya dengan lambaian dan senyum lebar. “Hei, kau melambai pada siapa?” refleks aku langsung menoleh kearah ayah, ia menatapku heran. Aku hanya menggeleng dan menyengir tak jelas, sedang kulirik Langgas yang malah tertawa puas melihatku kepergok ayah. “Sudah, biar dilanjutkan tukang kebun saja. Besok ayah akan menyuruhnya kemari, untuk membantu menanam jagung juga,” ayah berujar sepertinya ia kasihan padaku yang sudah kucal begini. Dari pagi buta aku memang sudah berada dikebun yang sebenarnya tak begitu luas. Aku mengangguk girang, meletakkan karung didekat tempat sampah dan masuk kedalam rumah, tak lupa membasuh kaki dulu mencegah ceramah berkepanjangan dari ibu rumah tangga dirumahku. “Langgas, kenapa muncul siang hari?” Tanyaku setelah menutup pintu kamar dan melihatnya duduk dikursi meja belajar. “Aku, hanya ingin melihatmu,” jawabnya, tangannya sibuk melipat kertas origami. “Aku ingin mandi, jika nanti Ibu masuk kedalam kamar. Berhentilah melipat kertas itu agar ia tak curiga,” kataku mengingatkan. Langgas hanya mengangguk. —— “Makanlah yang banyak, seharian ini kau sudah bekerja keras.” Ayah menepuk pelan puncuk kepalaku, aku tidak banyak bicara takut nasi yang ada didalam mulut berceceran keluar. “Apa mau tambah?” Ibu bertanya, mengulurkan nasi yang sudah ditambah dengan lauk pauk pada Ayah. “Tidak perlu,” jawab Ayahku, mulai menyendokkan nasi mengisi perut buncitnya agar kembali berenergi. Aku tak tau sampai kapan ayah akan mengandung tanpa harus melahirkan, apakah didalam perutnya terdapat bakso besar yang tidak bisa terurai. Kurasa tidak, bagaimana caranya menelan bakso besar itu sedang mulutnya kecil dengan kumis melintang diatasnya. “Ibu, aku naik ke kamar lebih dulu,” aku bergegas menaiki undakan menuju kamarku dilantai atas, tidak sabar bertemu dengan Langgas. Hari ini aku ada janji dengan Langgas seperti malam Minggu biasanya, ia akan bercerita panjang lebar. Aku suka mendengarnya bercerita, bahkan dirinya seperti mendongengiku sampai tertidur. Kubuka pintu kamar, menatap sekeliling ruangan pink milikku, kata Langgas ia sempat malu untuk masuk kedalam kamarku karena bernuansa khas wanita. “Langgas?” panggilku mengunci pintu , mengantisipasi ayah atau ibu yang sewaktu-waktu akan masuk tanpa mengetuk pintu. “Ya?” aku menoleh, menatap pemuda yang sudah duduk anteng pada hambal berbulu disamping tempat tidurku. Segera aku ikut bergabung dengannya, menatapnya yang sibuk melipat kertas origami menjadi berbagai bentuk. “Malam ini, kau ingin bercerita tentang apa?” Tanyaku to the point, Langgas menatapku sebentar sebelum kembali menyelesaikan lipatan origaminya menjadi burung kecil. “Liliana,” jawabnya semangat, balik menatapku lekat, aku sudah tak takut ditatap begitu. “Ayolah, yang lain saja. Aku benar-benar bosan mendengarkan ceritamu tentang Liliana, sekali-kali kau harus bercerita mengenai Lembayung.” “Liliana,” ulangnya lagi, aku mendesah pasrah. Mengangguk dan mulai mendengar apa yang ia ceritakan, lagi dan lagi sejujurnya aku sudah mendengar cerita Liliana berulangkali dari Langgas. “Langgas, aku sudah mendengar kisah Liliana ini berulang kali, tetapi siapa itu Liliana?” Tanyaku, berulangkali aku mendengarnya, sebenarnya aku merasa tak paham siapa itu Liliana, dan ada hubungan apa perempuan itu dengan Langgas? “Kau akan tau lain kali, intinya Liliana begitu menawan dan tidak pernah bosan memberikanku permen gulali,” ujarnya tersenyum lebar. “Lalu, bagaimana dengan Lembayung sendiri? Aku memberikanmu banyak kertas origami, kau tak mau memujiku menawan? Apa aku tak cantik?” kataku jahil, menatap netra gelapnya dengan tenang. Langgas menatapku, terdiam sebelum tersenyum begitu lebar menampilkan gigi putihnya yang begitu rapih. Rambut hitam legamnya melambai-lambai terbawa angin dari kipas yang kuhidupkan, jujur Langgas itu sangat tampan menurutku. “Terimakasih Lembayung, kau baik seperti Ibuku, dan kau cantik setara dengan Lilianaku.” Katanya tulus yang malah membuatku tertawa keras. “Baiklah, lanjutkan ceritanya.” Malam ini, aku ingin mendengar sampai habis cerita Liliana. “Liliana selalu bersamaku, kami berteman sejak kecil, kami selalu menaiki kereta kuda bersama untuk menuju kota. Kami juga mengaji bersama di surau desa,” Langgas nampak antusias, sama ketika pertamakali ia menyebutkan nama 'Liliana' didepanku dulu. “Lalu, sekarang dimana Liliana? Apa dia sudah tidak mau bermain bersamamu lagi?” tanyaku, sebenarnya aku sudah tau jawabannya hanya saja melihat raut wajahnya yang seperti orang marah ketika aku bertanya begitu menjadi hal seru tersendiri. “Tidak tahu, kami belum bertemu. Kata hatiku, sebentar lagi,” aku tertawa keras, bagaimana bisa Langgas sepolos itu, benar-benar aneh. “Lalu Lembayung, apa kau tak mau bergantian untuk bercerita? Kau tak punya teman seperti Liliana yang sangat cantik?” Langgas berganti menatapku, aku mendengus kecil. “Tidak punya, karena hanya aku yang cantik.” Ujarku, tersenyum semanis mungkin menatapnya. Langgas selalu bertanya padaku mengenai 'teman' dan aku selalu menjawabnya jika tidak ada seorangpun yang mau berteman denganku. Ini karena kepribadianku yang cukup sulit berteman, biarlah orang berbicara apapun sesuka hatinya. Aku tidak akan peduli, karena setiap orang mempunyai opini masing-masing. Langgas melanjutkan bercerita, dan aku kembali menjadi pendengar setia. Ia tak akan pernah bosan bercerita, bibir tipis itu seperti tak kenal kata lelah untuk terus bergerak menceritakan banyak hal. Tentu tentang Liliana-nya. Terkadang, aku sangat bersyukur memiliki Langgas, ia bisa menjadi pendengar yang baik setiap kali aku bercerita padanya, tak hanya itu Langgas juga sering menasihatiku jika aku sudah mulai berkeluh kesah mengenai hidupku. Tapi terkadang, aku cukup kewalahan ketika orang-orang bertanya dengan siapa aku menggobrol, dan mengataiku orang gila karena berbicara sendiri. Cukup hanya kita yang tahu, untuk apa mereka tahu jika tidak bisa menghargai apa yang menjadi kelebihan dan kekurangan kita.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

DENTA

read
17.1K
bc

(Bukan) Pemeran Utama

read
19.6K
bc

Tentang Cinta Kita

read
190.6K
bc

Byantara-Aysha Kalau Cinta Bilang Saja!

read
284.9K
bc

Head Over Heels

read
15.9K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
206.1K
bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook