Si Gadis Baper

1624 Words
Aku mencintainya begitu dalam. Namun bukan berarti aku tidak mampu membencinya. Hanya saja rasa benciku tak pernah ingin kutunjukkan didepannya. Matahari pagi perlahan sudah mulai meninggi. Akan tetapi perempuan itu masih setia berjongkok di samping sebuah pusara. Wajahnya yang sering kali terlihat tanpa ekspresi, kini penuh dengan raut gelisah. Bahkan bibirnya sudah kemerahan akibat dari gigitan nakal oleh deretan gigi putihnya itu. "Hai Ma.." "Hm... Elva..." putusnya kembali. Sudah hampir dua jam Elva berada di sini, tetapi berulang-ulang hanya kalimat itu yang keluar. Bibirnya seakan kelu hanya untuk berbicara panjang lebar saja. Dulu. Dulu sekali dia bisa berceloteh panjang lebar hingga orang yang mendengarkannya merasa lelah. Tapi kini, semenjak kejadian kelam itu semua sudah berubah. Tidak ada Elva yang dulu penuh senyum dan tawa. Semua telah berubah. Terkubur dalam bersama jasad sang Mama yang begitu dia cintai. "Ma.. Elva datang." Hanya satu kalimat itu bisa membuat tangisannya tumpah ruah. Bibirnya terisak-isak dengan tarikan napas berat. Rasanya sudah begitu lama Mamanya pergi, tapi kenapa semuanya masih sama. Perasaan sakit dan sedihnya tidak sepenuhnya hilang. Semua masih membekas bahkan sampai merubah segala prilaku Elva. "Elva kangen Mama," ungkapnya pelan disela-sela tangisannya. "Elva mau minta maaf, Ma. Belum bisa menjadi seperti dulu lagi." "Elva nggak sanggup bohongi diri Elva sendiri tentang rasa kehilangan ini." Gadis itu menunduk dalam. Berkali-kali sapuan tangan pada kedua pipinya terjadi. Tepat ditanggal ini, 16 tahun yang lalu Mamanya pergi membawa semua kenangan. Meninggalkannya bersama sang Ayah serta seorang kakak laki-laki. Dulu waktu Elva kecil, dia berpikir Mamanya sudah jahat pergi begitu saja. Tanpa pamit sedikitpun kepadanya. Namun lambat laun dia mengerti bila Tuhan sudah memanggil sang Mama untuk selama-lamanya. "Mama baik-baik aja kan di sana. Maafin Elva yang jarang datang ke sini. Elva takut Ma. Takut kalau sudah ke sini, Elva cuma bisa diam seperti tadi." ungkapnya kembali. Sapuan kencang angin yang menerpa wajahnya membantu turunnya kristal bening dari matanya itu. Walau berulang kali Elva mengusapnya. Tetapi air mata itu seakan tak pernah habis mengalir. Menangisi nasibnya sendiri. "Mama tahu, sekarang Elva sudah bisa merancang baju sendiri. Sekarang Elva sudah bisa merealisasikan cita-cita Elva. Andai Mama ada di sini, Elva akan buatkan baju terbaik untuk Mama." Perlahan-lahan telapak tangannya mengusap pusara itu. Seakan-akan merasakan tubuh sang Mama yang terbaring di sana. Walau kini Elva sudah memiliki Mama yang baru dan tak kalah baiknya. Tetapi dia masih ragu hanya untuk sekedar cerita pada Mama barunya itu segala perasaan yang di rasa. "Ma.. Terima kasih. Pasti Mama kan yang mengirimkan Mama Ora untuk kami semua? Dia baik banget Ma. Sangat baik. Tapi Elva masih takut Ma. Elva takut, ketika Elva sudah begitu nyaman padanya seperti ke Mama. Dia pergi seperti Mama. Meninggalkan semuanya." Berulang kali Elva mengusap air matanya agar tidak jatuh ke pusara sang Mama. Tapi tetap saja gagal. Bibirnya bergetar menahan isak tangis yang terus meledak. Untung saja kondisi pemakaman pagi ini begitu sepi. Hingga dia bebas untuk mengungkapkan segala perasaannya. "Aku selalu merindukanmu, Ma." tutupnya di akhir kalimat. Dia mencium batu nisan yang bertuliskan nama sang Mama. Kemudian bangkit untuk menjauh. Akan tetapi sebelum berlalu dia melirik sekilas sebuah pusara lain. Yang letaknya tak jauh dari pusara sang Mama. Dulu bila dia dan Ucca sering ke sini, maka mereka juga tak lupa membersihkan serta mendoakan sosok yang terbaring di samping pusara Mama Elva. Seorang perempuan yang juga sudah begitu baik. Mempertaruhkan nyawa untuk adik kecilnya tercinta. Mama Idni. Langkah kaki Elva berbalik. Mendekati pusara tersebut. Membersihkan beberapa daun yang berserakan di atasnya. "Ma..." panggilan Elva melemah. Dia membalik arah pandangannya. Memandang pusara Mama kandungnya. Kemudian melirik kembali ke arah pusara dihadapannya itu. "Mama kangen Idni? Elva juga kangen dengannya Ma. Sekarang dia sudah bisa bicara dengan lancar Ma. Mama Ora yang membantunya." ucap Elva sambil tersenyum dalam ringisan. Dia ingat betul bagaimana dulu keterbatasan Idni dalam berbicara. Namun dengan sabar Ora mengajarkan semuanya. "Nanti Elva janji akan ajak Idni ke sini untuk pertama kalinya," janjinya sebelum berlalu pergi. Cukup sudah rasa rindu yang selama empat tahun ini tertahan. Dia tidak boleh terperangkap dengan kesedihan kembali. *** Setelah melakukan perjalanan yang lumayan melelahkan, akhirnya Elva sampai. Bukan ke rumahnya yang dia rindukan. Namun ke sebuah resort yang sengaja Elva pilih bukan karena bagusnya. Melainkan karena resort ini bukan milik Ayahnya. Dia sama sekali belum memberitahu seluruh keluarganya bahwa dirinya sudah kembali. Elva takut. Bukan takut karena jumlah anggota keluarganya yang banyak itu. Melainkan dia takut cinta delapan tahun yang dulu dia simpan diam-diam di hati tahu bahwa dirinya ada di sini. Setelah empat tahun menghilang. Mencoba mengikhlaskan orang tersebut. Dia tidak mau disangka perempuan perusak hubungan orang yang tiba-tiba saja datang kembali. Untuk itu dia memilih diam. Walau seperti seorang maling di kampung halamannya sendiri, Elva ikhlas. Yang penting dirinya dan sang istri tidak tersakiti oleh kehadiran Elva. "Selamat pagi, mau pesan berapa kamar?" Elva diam. Dia membalas tatapan resepsionis tersebut. Jujur saja Elva tidak mengerti mengapa ditanya mau pesan berapa kamar. Bukankah dia datangnya sendirian. "Dua," balas suara laki-laki di belakangnya. Tepat ketika Elva mencoba berbalik, tubuhnya menubruk pada bidang d**a laki-laki itu. Lalu... "Oh, hai. Elva," "Di.. Mas." "Jangan dipisah gitu dong ucapnya. Nanti kangen. Panggilnya Dimas. Bukan. Di.... Mas," kekehnya geli. Laki-laki itu diam ketika Elva menatapnya tanpa ekspresi. "Kenapa?" "Lukamu?" Tanya Elva sambil menunjuk area yang terdapat luka tadi lagi. Dimas tertawa geli. Mengusap area sekitar bibirnya kemudian pada pelipisnya yang masih terasa perih. "Akh, itu. Tidak ada luka yang berani lama-lama tinggal di tubuh ini." Balasnya sambil tersenyum geli. "Ish. Gue serius. Secepat itu hilangnya?" Tanya Elva kembali. "Iya. Gue punya obatnya. Lo mau pakai?" Balas Dimas dengan sebelah alisnya terangkat. Memandang Elva dari atas hingga bawah. "Mana luka lo? Nggak kelihatan." Elva tidak menanggapinya, dia berbalik. Mencoba melupakan pembahasan Dimas tadi. Jelas saja lukanya tak terlihat. Karena letaknya begitu dalam pada hatinya. Luka yang dibuat oleh seseorang yang bahkan tidak tahu kalau dia sudah menyakiti Elva. "Akh, gue tahu." Bisik Dimas kembali dari belakang tubuh Elva. "Pasti letaknya di sini kan," tunjuk Dimas pada punggung Elva. "Punggung?" Gumam Elva. Gadis itu menggeleng cepat. Sok tahu sekali laki-laki ini. Sejak kapan Elva punya luka di punggungnya? "Bukan di punggung. Tapi hati lo," balas Dimas sambil berbisik pelan. "Gue tunjuk di sini karena nggak mungkin gue tunjuk bagian depan lo yang rata seperti ekspresi wajah lo itu," sambung Dimas dengan cengiran maha dasyat. Ketika laki-laki itu siap untuk di serang balik, Elva tidak bergeming. Dia hanya memandang Dimas tanpa repot-repot membalas semua ucapannya tadi. "Gue duluan," ucap Elva sebelum berlalu. Di tempatnya Dimas diam dengan kedua tangan terangkat. Bibirnya terbuka lebar, kedua matanya menatap bingung kepergian Elva. Kok ada perempuan model begitu? Batin Dimas. Dia menggaruk kepalanya, mengingat-ingat terakhir kali memiliki hubungan dengan seorang perempuan. Rasa-rasanya berbeda jauh dengan Elva. Padahal Dimas mengharapkan amukan balasan dari Elva tadi. Eh, nasibnya memang tidak baik. Elva malah memilih diam dan berlalu pergi. "Kok bisa?" Gumam Dimas pelan. Rasa penasaran mulai menghinggapi tubuh laki-laki itu. Super sekali. Setelah sekian lama tidak berhubungan dengan perempuan, baru kali ini ada yang berhasil menyentil ego laki-lakinya untuk bisa menaklukkan perempuan itu. "Maaf, mau pesan berapa kamar?" Tanya resepsionis kembali. Dimas melirik sosok di sampingnya yang sudah datang, kemudian memberikan senyuman singkat padanya. "Satu kamar saja. Yang private room." Tutupnya bersamaan dengan rangkulan tangan besar itu pada bahunya. *** Elva meringis jijik melihat sebuah gantungan yang bertuliskan honey moon pada sebuah pintu. Pintu yang berada di sebrang kamarnya. Kebetulan dia memesan private room pada resort ini. Namun ternyata pilihannya salah. Karena sedang ada yang melakukan bulan madu pada kamar depannya. Itu berarti Elva akan merasa menjadi perempuan terjones selama menginap di sini. "Bukan keputusan yang tepat," gumam Elva kesal. Langkahnya menjauh. Sebelum matahari terbenam, dia ingin menikmati keindahan pantai ini. Mungkin saja setelahnya, hatinya akan lebih tenang. Dan bisa menemui semua keluarganya. "Terima kasih," ucap Elva ketika sebuah minumannya datang. Gadis itu memilih duduk. Menatap ke arah pantai lepas yang letaknya dibelakang resortnya itu. Begitu indah, dan nyaman. Pantai memang menjadi tempat favoritnya dan keluarga. Menghabiskan waktu bersama. Berbagi canda tawa serta air mata. Elva ingat, dulu ketika Ayahnya ingin melamar Mama Ora semuanya diungsikan ke hotel keluarga dekat dengan pantai. Menunggu kegilaan sang Ayah yang katanya ingin menikah lagi kala itu. "Daddy," gumam Elva sebelum mengecap minumannya. Namun setelah ucapannya itu, seseorang duduk tepat di depannya. Memandang kedua mata Elva jauh ke dalam. "Gue tahu semua perempuan pasti kayak lo. Kalau sendirian ada aja yang di baperin," candanya kembali. Elva tidak membalas. Dia meletakkan minumannya di atas meja sambil memandang lekat sosok yang seharian ini hadir tanpa diundang. "Ke.. Kenapa?" tanya Dimas gelagapan. Dunia benar-benar sudah terbalik. Biasanya perempuan yang akan salah tingkah ketika di tatap oleh lawan jenis, tapi tidak berlaku pada dua manusia ini. Dimas lah yang merasa paru-parunya sesak setelah ditatap Elva begitu dalam. Tangannya tak henti-henti bergerak. Merapikan rambutnya yang terasa tidak rapi. "Lo kenapa sih?" "Nggak papa," balas Elva singkat. "Lo nggak marahin gue karena ganggu lo lagi?" tanya Dimas sambil menaikkan sebelah alisnya tinggi-tinggi. "Buat apa? Lo punya hak untuk itu. Dan gue punya hak buat acuhin lo." balas Elva singkat. Dimas mencibir. Mendekatkan dirinya sambil menatap Elva dalam. "Biar gue tebak, lo tipe perempuan yang sukanya minta hak lo tapi nggak mau melakukan kewajiban lo," balas Dimas dengan kekehan geli. "Lo salah," sanggah Elva. Pandangannya menatap ke arah lain, sambil mengingat-ingat bagaimana dia sudah menjalankan semua kewajibannya tapi tidak pernah diberikan haknya sedikitpun. "Salahnya?" "Karena gue bukan perempuan seperti itu. Sekalipun gue harus terjatuh dalam memenuhi kewajiban gue, hak gue nggak pernah gue minta. Lo tahu karena apa? Karena yang lo pikir itu adalah hak lo, belum tentu Tuhan berkata sama." "Aw.. Menarik." balas Dimas. "Oke. Mungkin gue salah ucap tadi. Tapi sekarang gue yakin benar." "Benar?" "Iya, lo tipe perempuan baper'an. Yang semuanya dimasukkan ke dalam hati. Padahal ada kalanya hal yang terjadi harus dipikirkan dengan logika. Bukan dengan perasaan," tutup Dimas. Laki-laki itu tersenyum, kemudian dengan mudahnya mengacak-acak rambut Elva. "Lepaskannya perasaan yang mengikat lo begini. Gue yakin setelahnya, lo bisa merasakan kehidupan baru yang lebih indah." ungkap Dimas sebelum berlalu. Tangan kanan Elva tergantung di udara. Niatnya ingin merasakan tempat dimana tadi Dimas mengacak-acak rambutnya. Namun tertahan oleh logikanya. "Jangan terjatuh ke lubang yang sama, Va." gumamnya bermonolog. Padahal harusnya Elva tahu, orang yang kuat itu bukan orang yang tak pernah terjatuh. Melainkan orang yang sudah terbiasa terjatuh, hingga tidak ingin merasakan rasanya sakitnya terjatuh lagi. *** Continue.. Jangan lupa taplovenya.. aku tunggu banget komen kalian Jangan lupa follow jejaring sosialku Wattpad : Shisakatya Instagram : Shisakatya Youtube : Shisakatya Twitter : Shisakatya
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD