Gara-gara Kartu Nama

1633 Words
Tiga hari setelah pertemuan tak disengaja Rica dan Dito saat itu disalah satu pesta pernikahan teman Rio, selama itu pula Dito dibuat terganggu gara-gara ia memberikan nomor ponselnya pada Rica. Dito ingat betul alasan gadis itu meminta nomor ponselnya karena alasan kemudahan untuk bertemu  dengan puteranya Leon. Tanpa curiga sedikit pun  Dito memberikan nomor pribadinya dengan sangat enteng. Tanpa tau, apa sih yang akan terjadi. Ia tak pernah mengira remaja tersebut akan se-freak ini. Rica semakin gencar mencari perhatian Dito. Apalagi saat tau status pria itu ternyata sebagai orangtua tunggal. Gadis itu tak mau melewatkan kesempatan yang ada didepan mata. Rica selalu saja mengiriminya pesan yang membuat ponselnya terlihat selalu ramai. Padahal pesan tak penting yang ia dapat, Seperti  ucapan selamat pagi, selamat malam,  selamat siang. Apakah sudah makan siang? Apakah sudah makan malam? Semua pesan itu hanya berjarak waktu beberapa menit saja, dan itu yang sangat membuat Dito jengkel setengah mati. Dito menyugar rambut nya kebelakang kemudian menyandarkan punggungnya pada kursi kebesarannya. Mendapat tanggung jawab sebagai Direktur Utama sangatlah berat, ditambah masalah ponselnya yang selalu ramai membuat pria itu ingin sekali melempar ponselnya dari lantai dua puluh satu yang ia pijaki sekarang. Rica’s calling Astaga anak ini...sungguh menyebalkan! ini adalah panggilan masuk yang ke duapuluh delapan kali dalam kurun waktu lima menit saja. Dito menggeser ikon hijau dilayar ponselnya, pria itu hanya menempelkan benda pipih tersebut di telinganya tanpa mau berucap apapun. "Assalamualaikum, om" setelah sapaan itu, kekehan kecil terdengar malu diujung sana. Ralat. Menyebalkan maksudnya. Rica mana ada rasa malu lagi perihal begini. "Waalaikumsalam. Ada apa?" jawab Dito datar. "Om lagi apa? Aku ganggu ga?" "Saya sibuk Rica. Jika kamu menelpon saya hanya untuk menanyakan hal yang kurang penting, saya rasa lebih baik kamu tutup telepon nya" Dito menghela nafas nya kasar. Mengumpat dalam hati untuk tidak memaki Rica sekarang juga. "Yaudah deh kalau aku ganggu, oh iya Om.. Leon sekarang lagi main sama aku, kita lagi makan siang dirumahnya aku," nada suara diujung sana masih terdengar riang, walau penolakan sudah didapat. Namun.. Astaga! Pria itu lupa menjemput putra nya. "Kamu nyulik Leon?" tanya Dito spontan, yang langsung membuat Rica diseberang sana tergelak kencang. "Ga mungkin lah Om, masa ada orang nyulik ngasih tau alamatnya tanpa minta tebusan sih" tawa Rica semakin kencang terdengar. Ia membayangkan wajah Dito dibalik telepon tersebut pasti sangat menggemaskan. "Emang suara aku kayak orang lagi ngancem yah?" Rica menghentikan tawanya dan mulai mengeluarkan nada suara serius. "More than that" jawab Dito asal. "serius?" Rica bertanya dengan nada suara tak percaya. Bisa-bisanya Dito bilang begitu. "Saya tutup" "Jangan!" Rica berseru cepat. Sudah ambil paket nelpon buat menghubungi Dito juga, kalau digunakan sedikit kan mubazir. Pikir gadis itu tak rela. "berisik" Dito reflek menjauhkan ponsel yang ia pegang dari telinganya. Pria itu mendecak kesal. "Om, nanti om aja yah yang jemput Leon" Nada suara Rica kembali terdengar seperti biasa. "Saya akan suruh sopir saya untuk jemput. Saya sibuk Rica” "Ga boleh!" Sekali lagi, Dito reflek menjauhkan ponsel yg ada di genggamannya dari telinga. "Jangan teriak! Kamu pikir saya tuli?!" Dito mendecak malas. Menanggapi gadis satu ini sama seperti menanggapi neneknya yang bar-bar. Gadis ini benar-benar sebelas duabelas dengan neneknya. "Ga boleh. Pokok nya ga boleh. Kalau bukan om yg Jemput, Leon ga boleh pulang!" ucap Rica menggebu dengan nada memerintah. "Saya lagi banyak kerjaan" "Leon ga boleh pulang!" Gadis Gila! "Oke jam tujuh saya kesana. Kirim aja alamat rumah kamu" Sebelum mendengar ocehan tak jelas Rica lagi, Dito buru-buru menutup panggilan telepon mereka secara sepihak. Pria itu mengusap wajahnya kasar. Menghadapi tingkah aneh gadis itu yang baru-baru ini datang ke kehidupan monotonnya setelah 5 tahun, membuat rasa complicated pada diri pria itu. *** Pukul tujuh lewat delapan belas menit di kediaman keluarga Admaja. Dito benar menepati janjinya. Ia menekan bel rumah yang ada disamping pintu kayu bercat putih tersebut sedikit malas. Jika bukan karena anaknya ia tak akan mau berkunjung kekediaman gadis itu. "Cari siapa pak?" begitu pintu tersebut terbuka, Dito disambut oleh Uni, asisten rumah tangga dirumah ini. "Rica ada ,Bi?" Dito tersenyum kecil pada Uni, membuat wanita paruh baya yang sebentar lagi memiliki cucu tersebut tercenung karena sedikit senyuman yang diberikan duda anak satu itu. Over freak yaa pesona Dito ini. Semua wanita berbagai generasi jika sudah diberi senyum sedikit saja bisa jatuh hati. "Oh ada Pak. Ayo masuk" Dito mengangguk mengikuti Uni masuk. Bertamu disaat jam makan malam membuatnya tak enak hati. Tapi mau bagaimana lagi, gadis itu benar akan menahan Leon seharian penuh jika bukan dirinya yang menjemput sendiri kesini. Mau dua-tiga kali berkendara pun membuatnya malas. Oleh karena itu ia memutuskan untuk langsung menjemput puteranya i walau nekat dijam makan malam seperti ini. "Om Dito!" Dito menoleh saat mendengar suara cempreng nan keras itu dari arah kanan, pria itu menatap datar Rica yang tersenyum sumringah kearahnya. "Mana Leon?" masih dengan tatapan datar dan nada suara datar yg Dito tunjukkan, namun bukannya membuat senyuman diwajah Rica luntur tapi malah membuat wajah gadis itu berbinar senang saat direspon. "Lagi makan malam, ayo ikut. Aku juga belum selesai makan malamnya." "Ga perl..." Dito menggeram tertahan saat di rasa tangan Rica sudah menarik lengannya menuju ruang makan. "Ayah!" Leon berseru senang saat melihat sosok tegap sang ayah berada disana. Dito hanya tersenyum menanggapinya. Pria itu mengedarkan pandangannya, sudah ada Nino, Rio dan Laila yang sudah duduk manis bersama Leon. "Ayo sini gabung sama kita, kebetulan banget loh kamu dateng nya jam segini." Laila tersenyum kearah Dito, membuat pria itu tersenyum canggung dibuatnya. "Ga perlu Mbak, saya nungguin Leon selesai makan saja setelah itu kami akan pulang" Dito menolak halus, sangat tak sopan menurutnya jika harus langsung makan malam dirumah orang yang belum lama dikenalnya. "ga papa, Tante seneng kok. Ayo duduk dulu" Laila menarik kursi kosong disebelah Nino, dan menepuknya pelan. Seperti memberi isyarat 'ayo duduk'. "Maaf-" "Udah ayo om, ga usah malu-malu gitu dong. Masa sama calon mertua sendiri harus malu" Rica terkikik geli sesaat setelah mengatakannya. Berbeda dengan dua saudara laki-lakinya yang kini menatapnya tak percaya, dua kakak-beradik itu bergidik geli mendengar ucapan Rica. "Apaan sih kak Rica, jangan banyak ngelantur deh." Nino menggelengkan kepalanya pelan menanggapi ucapan Rica.Kakak nya ini benar-benar ajaib. "Cek daftar pelajarannya No, kalau ada ulangan Sosiologi biasanya emang suka ngelantur kakak lo" Rio menimpali seraya menyuapkan kembali nasi ke mulutnya. "Ih apaan sih. Kalian berdua tuh harus baik sama Om Dito! Mereka calon kakak ipar buat Nino, calon adik ipar buat bang Rio dan calon menantu buat mama" Rica tersenyum menjijikan diakhir kalimatnya saat mengatakan kalimat laknat di telinga dua kakak-beradik itu. "Rica!" "Kak Rica!" Dua kakak beradik tersebut menyebutkan nama Rica hampir bersamaan dan Menatap garang pada Rica yang langsung terdiam karena terkejut. "Apaan sih!" sewot Rica ketika kembali sadar pada suasana disekitarnya. "Bang Dito, jangan ditanggepin yah. Mungkin kak Rica tadi siang ada ulangan Sosiologi mendadak, jadi agak halu" Nino berbalik menatap Dito tanpa mengindahkan Rica yang sudah mencak-mencak ditempat duduk nya. Sementara Dito hanya diam. Menatap pertengkaran keluarga didepannya dengan wajah aneh. "Nino, sekali lagi lo bacot minatur tenda lo gue gunting" "Apa sih Kak!" giliran Nino yang mendecak malas kearah Rica. Kakak nya ini benar-benar bukan tandingan untuk diajak bermusuh. "Udah lanjutin makannya. Ga baik ribut-ribut didepan makanan" Laila menyela seraya menaruh lagi sepotong ayam dipiring Leon. Bocah itu hanya diam menikmati makanannya tanpa terganggu sedikit pun akan perdebatan kecil yang terjadi disekitarnya. "Selamat makan om Dito" **** "Kak, Leon sama Ayah pulang dulu yah.. Sering-sering jenguk Leon ya kak" Otomatis ketemu ayah juga, Leon. Big no! Dito bergidik ngeri, entah mengapa ucapan Leon terdengar horor ditelinganya. "Udah Leon ayo pulang. Besok kamu masih sekolah kan, nanti kesiangan" Dito menyela sebelum Rica mengatakan hal aneh yang membuat Leon semakin senang dan ia menderita. "Bentar, Om" Dito yang tadi sempat membalikkan badan hendak masuk kemobil mengurungkan niatnya, ia berbalik was-was kearah Rica. Matanya seolah berkata ‘Ada apa?’ "Aku boleh minta kartu nama Om Dito ?" Rica menengadahkan tangan kanannya kearah Dito. "Tidak" singkat. Pria itu tidak lagi menanyakan untuk apa, dan kenapa. To the point, as usually. "Satu aja" "Tidak bisa" Dito kembali berbalik kearah mobil dan mulai menggiring Leon masuk ke mobil. Setelah menutup pintu disebelah tempat duduk Leon, Dito berputar kearah kanan hendak masuk juga kedalam mobilnya. "Satu aja om" Rica menarik-narik lengan kemeja Dito, membuat pria itu risih dan mulai berbalik menatap Rica. "Untuk apa?" Dito menjawab ketus dan menatap Rica malas. "Mmm... Buat koleksi" Rica tersenyum bodoh, menampakkan deretan gigi rapinya. "Kartu nama saya bukan untuk mainan" Dito masuk kedalam mobil dan mulai mengunci pintunya, tanpa menghiraukan Rica yang sudah mencak-mencak tak karuan. Saat telah menyalakan mesin mobil nya, Dito dibuat tercengang oleh tingkah Rica selanjutnya. "Astagfirullah!" Dito terkejut bukan main. Bagaimana tidak? Rica naik keatas kap depan mobilnya dan menempelkan wajah serta tangannya kekaca depan mobil Dito, membuat dirinya tampak sangat mengerikan. Apa lagi ini malam hari, dan rambut gadis itu tergerai acak. "Rica! Turun!" Dito menggeram kesal dibuat Rica. Apalagi saat gelengan kuat yang didapatinya dari gadis itu. Membuat Dito mau tak mau harus turun dari mobilnya. "Turun ga?!" Dito menatap Rica kesal bercampur geram. Gadis ini selalu membuat ulah! "Ga! Sebelum aku dikasih kartu nama" Rica menggeleng tegas. Dito menghembuskan napasnya kasar. Menatap Rica sebentar dan meneguk saliva-nya berat. Oh tak ada pilihan lain. "Sekarang turun!" Rica mengambil kartu nama ditangan Dito cepat dan menatapnya berbinar. 'I got you' . "Gendong.." ucap Rica manja seraya mengulurkan kedua tangannya kearah Dito. "Saya ga main-main saat saya bilang akan nabrak kamu sekarang, Rica" Rica buru-buru turun dari kap mobil Dito, gadis itu tersenyum senang dan melambaikan tangan semangat kearah mobil Dito yang telah berlalu dari pelataran rumahnya. Dito jadi merasa Rica melebihi batas akan dirinya. Walaupun gadis itu juga lah yang ikut andil menemukan puteranya, tapi ia rasa sekarang Rica sudah menjadi sangat ‘Annoying’ bagi dirinya. Bahkan hanya untuk sebuah kartu nama hal nekat semacam naik ke kap mobilnya tadi saja ia lakukan. Dito benar-benar tak percaya dia akan dipertemukan dengan gadis semacam Rica. Lima menit setelah ia memberikan kartu namanya dan pulang dari rumah Gadis itu, Dito tersadar akan kebodohannya. Kartu nama tersebut memuat kontak dan juga alamat perusahaan tempat ia bekerja. Siapa yang tahu hal nekad macam apa yang akan gadis itu lakukan nantinya? Sial! Ia kecolongan untuk kesekian kalinya. ***   Visa Ranico Prabumulih, Sumatera Selatan
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD