bc

The Series Of Gaishan

book_age12+
1.0K
FOLLOW
8.3K
READ
family
tomboy
brave
CEO
drama
comedy
sweet
bxg
first love
Indonesia-My Possessive CEO Writing Contest
like
intro-logo
Blurb

Diminta juga kartu identitasnya?

Gaishan mencebik, dia mengeluarkan dompetnya dari saku depan.

Fathiyah mengarahkan cahaya ke arah dompet itu. Wah! Merah-merah semua isi dompet. Kayaknya memang bukan begal ini. Batin Fathiyah.

Gaishan memperlihatkan sim card mobil ke arah Fathiyah. "Bisa lihat, kan? Wajah di dalam gambar ini sama seperti wajah di depan kamu."

Fathiyah melihat gambar itu, "Sama."

Gaishan mengangguk puas.

Dia hendak meletakan kembali sim cardnya ke dalam dompet.

"Cuma hanya di dalam foto ini editan."

"Editan apaan? Jelas asli! Ini saya." Gaishan tidak terima baik.

"Lubang hidung di dalam sim itu kecil, sedangkan yang asli besar."

Gaishan, "...." harus tahan iman, harus tahan emosi, harus tahan pukulan. Ingat Gaishan, laki-laki Nabhan tidak memukuli perempuan.

chap-preview
Free preview
Chapter 1
Gaishan Raffasya Nabhan, pria yang kini berusia 27 tahun anak sulung dari Busran Afdal Nabhan itu, kini sedang mengendarai mobil mewah varian terbaru dari BMW. Soal harga bukan masalah baginya, itu adalah hal kecil, pria yang menjadi CEO sekaligus pendiri dari perusahaan hiburan besar yang bernama Gaishan's Entertainment itu baru saja pulang dari salah satu rumah teman bisnis. Malam hari, daerah jalan yang dia lalui terasa sepi, sekitaran jalan Cileungsi, daerah taman buah Mekarsari. Saat melewati jalan sepi itu, mesin mobil BMW terbaru hitam metalik itu tiba-tiba mati. "Mogok?" Gaishan mengerutkan keningnya. "Kenapa ini?" "Kenapa bisa mogok segala? Aku belum sampai rumah!" Gaishan menggertakan giginya kesal luar biasa. Dia melirik ke arah jam tangan rolex yang harganya jangan ditanya lagi, dijamin akan buat telinga tuli. "Jam setengah satu malam, hiss!" kesal Gaishan. Gaishan merogoh ponsel dari dalam saku celana hitam hasil buatan tangan dari desainer terkenal. Dia berniat menelepon seseorang untuk datang menjemputnya. Dia tidak ingin tidur di hotel, dia ingin agar segera pulang. Saat memencet tombol, tak ada perubahan apapun pada layar. Sinar layar tidak ada. Gaishan mengerutkan keningnya, dia mencoba untuk menghidupkan ponselnya. "Apa lagi ini? Mati? Lowbet! Benar-benar kena s**l hari ini!" rutuk pria yang merupakan CEO perusahaan hiburan itu. Gaishan keluar dari dalam mobil sambil mengomel, "Mobil apa? Mobil mahal? Mahal dari mana? Apa yang mahal? Pantatmu yang mahal!"  Dia melihat ke sekeliling. "Mana sepi begini, mau cari kendaraan bagaimana? Mau pesan grab juga tidak bisa, s**l!" Daerah taman buah Mekarsari itu terlihat sepi, orang-orang beristirahat karena waktu malam. "Ini karena Ivan, gara-gara menahanku terlalu lama di rumahnya, Ivan k*****t!" "Jadi telat, kan. Mana mobil mampus, hp udah wassalam, malam begini, sepi! Mana ada mobil lewat?" Gaishan mencibir sana-sini. Tak punya pilihan, Gaishan menunggu mobil atau angkutan lain datang, barangkali dia bisa minta tumpangan atau membayar untuk sampai rumah. Dia duduk di depan kap mobil sambil menunggu tumpangan. Hanya cahaya lampu jalan yang menemaninya. Dia menunggu dan menunggu, namun belum ada satu pun angkutan yang muncul. Harapan Gaishan untuk bisa sampai rumah menjadi mustahil. °°° "Bajay, lewat samping taman buah Mekarsari dong, aye mau lihat-lihat daerah situ, lumayan cuci mata malam-malam, siapa tahu ada buah yang nyasar, kan lumayan, hehehehe." Suara dari seorang gadis terdengar. "Ok," sahut sang sopir. Sang supir menuruti apa kata adik sepupunya itu, dia mengambil jalan sekitaran taman buah Mekarsari. "Bajay keliling aje, yah? Biar cuci mata bisa maksimal." "Ok, mantap! Itu yang aye suka!" seru antusias dari gadis itu. "Dari rumah Encing Jule, capek juga, bawa pakaian pesanan satu mikrolet," ujar gadis itu. "Hu'um." "Eh, Fathi, besok kite kagak usah nyari penumpang, yah? Abang capek! Mau istirahat, ini aje sekarang udah mau jam dua malam," ujar pemuda 28 tahun yang biasa dipanggil Bajay itu. "Ok, mau cuci dulu mikroletnya, agak kotor juga," balas gadis yang bernama Fathi itu. "Lagian kite nekat amat mau pulang jam segini, udeh malem, sepi, sunyi begini," ujar Bajay. "Abis kalau mau nginep di rumah Encing Jule, mau nginep di mana kita? Kamar cuma satu, lah, Budi dan Hakim aja tidur di ruang tamu, masa aye mau gabung tidur juga? Kan semuanya laki-laki." "Iye juga, yah." Bajay manggut-manggut. Rumah sang bibi yang berada di Jonggol itu terlalu sempit untuk mereka tiduri. Maklum, sang bibi hanya orang sederhana, dia menikah dengan orang asli Jonggol–Jawa Barat. Rumah hanya satu kamar, dua anak lelakinya tidur di ruang tamu, jika Fathiyah Ghaziyah yang biasa disapa Fathi itu tidur di rumah sang bibi, maka mereka akan berdempetan. Setiap minggu, sang bibi akan minta dibawakan pakaian jualannya agar dia bisa berjualan dan menghasilkan uang. "Abang lupa tadi kalau hari ini bawa barang jualan Ncing Jule, kita pulang nariknya malam, jam sepuluh. Mana perjalanan dari Jakarte ke Jonggol hampir makan dua jam, waduh, keram abis badan-badan ini," ujar Bajay, nama aslinya adalah Jayadi Makmur, namun biasa dipanggil Bajay oleh Fathiyah, singkatan dari Bang Jay. "Aye juga lupe, Bang. Mana tadi kite makan di rumah Ncing Jule, tambah makan waktu, kan," balas Fathiyah. "Dah, besok kite libur narik, tidur sampe sore baru bangun," ujar Jayadi. "Hadeuuuh, malam-malam begini udara di sekitar Mekarsari ini sejuk yah, Bang. Kagak ade polusi, seneng aye lihatnya." Fathiyah menghirup udara malam yang segar. Udara menerpa wajahnya, dia membuka topi hitam yang dia pakai membiarkan embusan angin menerpa rambut sepunggungnya yang dikucir satu. Fathiyah duduk di depan pintu angkot, dia memilih untuk tidak duduk di kursi, setiap hari pekerjaannya adalah kenek angkot. Dia dan sang kakak sepupunya itu biasa keluar rumah untuk bekerja jam tujuh dan pulang malam, kadang juga tak menentu, bisa berbagai hal, misalnya lelah, atau ada acara keluarga. Terlahir dari keluarga asli Betawi, dia sangat jago beladiri. Inilah fungsinya, menjadi kenek menemani kakak sepupunya yang sudah umur 28 tahun itu tapi belum menikah juga. Mungkin karena ekonomi mereka ditambah lagi gadis-gadis sekarang yang super pemilih, jadi bujang saja kakak sepupunya itu. Padahal kalau dilihat dari tampang sang kakak sepupu, wajahnya lumayan. Fathiyah telah tiga tahun lebih menjadi kenek, setelah dia lulus dari SMA, dia mengikuti Jayadi. Sang ayah yang merupakan anak pertama itu tidak punya anak lelaki, sudah sepuluh tahun menikah, namun belum dikaruniai anak, Fathiyah hadir saat usia pernikahan orangtuanya hampir mencapai sebelas tahun. Ayah Fathiyah mengajari Fathiyah ilmu beladiri silat. Namun, bukan hanya Fathiyah saja yang mengetahui silat, namun berbagai keahlian beladiri lainnya. Karena didikan keras dari sang ayah, Fathiyah, yang lahir 21 tahun yang lalu itu tahan banting. Saat Jayadi berkeliling di sekitar taman buah Mekarsari yang sepi, dia melihat mobil hitam. "Siapa tengah malam begini masih parkir di daerah jalan sini?" "Jangan-jangan mobil goyang lagi, muda-mudi jaman sekarang kacau." Jayadi geleng-geleng kepala. Saat sedang menunggu, Gaishan dapat mendengar suara mesin mobil, dia juga dapar melihat cahaya lampu yang dipancarkan dari kendaraan yang dia dengar. Gaishan turun dari kap mobil lalu melirik ke arah belakang. Senyumnya cerah, matanya terlihat bersinar seakan dia telah mendapat pencahayaan. "Mobil. Akhirnya, ada juga kendaraan." Harapan yang tadi luntur, kini bangun lagi.  "Bisa pulang, bisa pulang." Gaishan mengibas-ngibaskan tangan kiri dengan penuh antusias bertujuan untuk menghentikan mobil yang dia lihat. "Bajay, jangan mau stop, gaya baru begal itu. Aye udah hapal gerak-gerik begal, mereka main halus sekarang. Sekarang daerah jarahan mereka tambah luas. Jalan aje, Bang. Kite tinggalin aje ini orang." Jayadi mengikuti apa kata adik sepupunya, dia tidak menghiraukan orang yang sedang mengibas-ngibaskan tangannya. "Mobil saya mogok! Mobil saya mogok!" Gaishan berlari mengikuti angkot Fathiyah. "Tolongin saya! Saya harus pulang ke rumah!" "Saya harus pulang, mobil saya mogok, hp saya mati!" Jayadi yang mendengar teriakan kasihan dari suara pria yang dia dengar itu, menjadi iba. Jayadi menghentikan mikrolet yang dia kendarai. "Kenape berhenti, Bang?" tanya Fathiyah. "Fathi, orang itu kayaknye benar-benar kesusahan deh, Abang lihat, die kagak bohong," jawab Jayadi iba. Fathi melihat ke arah belakang, ada seseorang lari ke arah mikrolet mereka sambil mengatakan bahwa mobilnya mogok dan tak bisa pulang. Fathiyah yang duduk di depan pintu mikrolet itu turun. Gaishan lari ke arah mikrolet itu. "Akhirnya berhenti juga." Gaishan berhenti berlari di depan Fathiyah, bernapas lega, dia menghirup napas sebanyak-banyaknya. "Ada apa, yah?" tanya Fathiyah, matanya menyipit ke arah Gaishan. Fathiyah mencurigai bahwa pria yang dia lihat ini adalah begal gaya baru. Jadi dia siap siaga menyiapkan tenaga pukulannya. "Maaf, saya memaksakan angkotnya berhenti. Begini, mobil saya mogok, ini tujuan ke mana?" tanya Gaishan. Mata Fathiyah menyipit. "Kenapa, yah? Anda ini mau apa sebenarnya? Bilang saja." "Begini, saya mau ke Jakarta, tapi saya mobil saya mogok. Hp saya lowbet, baterainya habis, saya tidak ingin tidur di hotel," jawab Gaishan sambil memperlihatkan ponselnya yang mati dan menunjuk ke belakang mobilnya yang mogok. Fathiyah melirik ke arah belakang Gaishan, ada mobil hitam yang dia lihat, sepertinya mobil bagus. Pikir Fathiyah.  Dalam alam pikir Fathiyah, orang kaya mana yang tidak biasa tidur di hotel? Pasti laki-laki di depannya ini tukang bohong. Fathiyah maju, dia merogoh ponsel butut tanpa kamera, menyalakan senter lalu mengarahkan cahaya senter itu tepat ke wajah Gaishan. Karena cahaya tiba-tiba, Gaishan terkejut, dia menyipitkan mata. "Lubang hidungnya besar amat," celetuk Fathiyah. Hal pertama yang Fathiyah lihat adalah lubang hidung Gaishan. Gaishan, "...." syukur calon penyelamat ini perempuan, kalau tidak, sudah Gaishan smack-down. Wajah bagus, hidung mancung, mata bagus, pipi bagus, bibir bagus, telinga bagus, dagu bagus, cuma lubang hidung saja yang besar. Fathiyah menilai penampilan Gaishan dari dalam hati. Setelah menilai wajah Gaishan, Fathiyah belum percaya kalau Gaishan ini orang baik, dia menyinari baju dan dan celana yang dipakai di badan Gaishan. Leher bagus, jangkun ada, laki tulen. Bahu bagus, d**a bagus, perut bagus, cuma saja pusat tidak kelihatan. Pinggang bagus, paha bagus, betis bagus, kaki bagus.  Baju dan celana bagus, sepatu juga bagus. Ada jam tangan juga. Gaishan bingung, kenapa perempuan di depannya ini menyinari badannya dengan cahaya ponsel. Dia seperti barang yang akan dibeli oleh calon pelanggan. Seakan seperti pembeli yang sedang menilai kelayakan barang yang akan dibelinya. "Bukan begal, kan?" tanya Fathiyah tajam ke arah Gaishan. Sekarang Gaishan mengerti. Dia dinilai sana-sini, atas-bawah karena dia diragukan adalah begal. CEO Gaishan's Entertainment dikira begal! What?!  Gaishan hampir pingsan. "Mana ada begal tampan kayak saya? Penampilan ok begini," jawab Gaishan. "Begal tidak memandang tampang, tidak memandang bagus atau jelek, yang penting sikat kasih habis barang orang. Saya sudah sering nemuin begal seperti itu," balas Fathiyah tajam. "Bukan, saya bukan begal, kalau kamu tidak percaya, saya bisa tunjukan kartu identitas saya," balas Gaishan. Mengalah saja demi ingin pulang. "Mana?" Lah?  Diminta juga kartu identitasnya?  Gaishan mencebik, dia mengeluarkan dompetnya dari saku depan. Fathiyah mengarahkan cahaya ke arah dompet itu. Wah! Merah-merah semua isi dompet. Kayaknya memang bukan begal ini. Batin Fathiyah. Gaishan memperlihatkan sim card mobil ke arah Fathiyah. "Bisa lihat, kan? Wajah di dalam gambar ini sama seperti wajah di depan kamu."  Fathiyah melihat gambar itu, "Sama." Gaishan mengangguk puas. Dia hendak meletakan kembali sim cardnya ke dalam dompet. "Cuma hanya di dalam foto ini editan." "Editan apaan? Jelas asli! Ini saya." Gaishan tidak terima baik. "Lubang hidung di dalam sim itu kecil, sedangkan yang asli besar." Gaishan, "...." harus tahan iman, harus tahan emosi, harus tahan pukulan. Ingat Gaishan, laki-laki Nabhan tidak memukuli perempuan. Menilai bahwa orang yang meminta bantuan ini bukan begal, Fathiyah menganggukkan kepalanya, dia melirik ke arah mobil Gaishan. "Kami mau ke Jakarta juga, Anda boleh numpang ke dalam mikrolet kami, tapi maaf, mobil Anda tidak bisa kami derek." "Oh, itu tidak masalah, biarkan saja mobil tidak ada guna itu tidur di sini, besok saja orang-orang saya akan mengambilnya," balas Gaishan tidak keberatan. "Ok, naik." Pinta Fathiyah. Dengan senyum dan semangat kemerdekaan, Gaishan naik dan duduk di atas kursi mikrolet. Fathiyah ikut naik, namun seperti biasa dia tidak duduk di kursi, melainkan duduk di dasar angkot, dia duduk di depan angkot. "Bajay, tarik gas, kita pulang. Aman." "Ok." Jayadi menyahut. "Loh, kamu tidak duduk?" tanya Gaishan bingung. "Mata Anda sudah rabun? Saya sekarang sedang duduk." Gaishan, "...." ok, diam saja. Bersyukur sudah diberi tumpangan ke rumah. "Bajay, supaya cepat, lewat tol Jagorawi aje, biar kagak lama perjalanan kite, badan aye lelah." "Siap, Abang tancap gas nih." Dalam perjalanan yang hampir makan waktu 40 menit itu, Gaishan membuka suara. "Saya di Puri Indah, Jakarta Barat." "Bang, ke Puri Indah Jakarta Barat," ujar Fathiyah ke arah Jayadi. "Ok." Tak berapa lama, sampai di depan gerbang masuk Permata Puri Media, Jakarta Barat. "Mas, di sini saja yah? Kita nggak bisa masuk ke dalam," ujar Jayadi. "Sudah terlalu telat." "Tidak apa-apa." Gaishan tidak keberatan. Dia turun dari dalam mikrolet dan merogoh dompetnya. Dia mengambil beberapa kertas warna merah yang jumlah nol dari kertas itu ada lima. "Ini ongkos-" "Tidak perlu." Tolak Fathiyah. "Loh, tapi kan-" "Orang susah harus dibantu, bukan diperas kasih habis. Mas beruntung dapat kita di jalan," ujar Fathiyah. Gaishan melihat wajah Fathiyah yang tak memakai topi, lalu melirik ke arah sopir yang menaikan jempol kirinya sambil tersenyum ke arahnya. Dia mengangguk, mungkin ini adalah supir dan kenek yang jujur. "Bajay, ayo tancap gas." "Siap!" Mikrolet warna biru muda itu menjauh dari tempat di mana Gaishan berdiri. Setelah mikrolet tidak terlihat lagi di penglihatannya, Gaishan berjalan memasuki gerbang perumahan, gerbang di mana sudah lebih dari 27 tahun dia masuki. °°°

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Dosen Killer itu Suamiku

read
312.1K
bc

Guru BK Itu Suamiku (Bahasa Indonesia)

read
2.5M
bc

Kujaga Takdirku (Bahasa Indonesia)

read
76.1K
bc

Suddenly in Love (Bahasa Indonesia)

read
76.1K
bc

Istri Kecil Guru Killer

read
156.7K
bc

Aku ingin menikahi ibuku,Annisa

read
55.6K
bc

Pernikahan Kontrak (TAMAT)

read
3.4M

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook