bc

Kawin Gantung

book_age18+
0
FOLLOW
1K
READ
HE
age gap
arranged marriage
arrogant
sweet
bxg
campus
teacher
like
intro-logo
Blurb

"Mau apa ke rumah Pak Indra, Ma?""Mau belajar! Ya jelas mau melaksanakan wasiat eyangmu, Caca!""Dih, aku masih SMA, Ma!""Tenang saja, kalian tidak dibolehkan dulu berhubungan layaknya suami istri.""Lah terus? Piye, Ma?""Kawin gantung. Ntar kalau kamu udah dewasa baru boleh produksi keturunan."Waduh, kawin gantung katanya?!

chap-preview
Free preview
Wasiat Eyang
"Jalannya yang bener!" "Badannya tegak!" "Senyum dikit, jangan manyun!" Berbagai wejangan sakti terus menyerangku siang ini. Huft, walau kesal, tapi gak ada pilihan. Namaku Annisa. Sering dipanggil Caca kadang Ica. Aku anak perempuan satu-satunya dari tiga bersaudara. Dua kakakku pria tulen semua. Baru sekitar dua Minggu yang lalu, Eyangku meninggalkan dunia ini. Konon ada wasiat yang Eyang tinggalkan untuk para cucunya. Mending kalau wasiatnya bagi warisan tanah atau kebon berhektar-hektar. Lah ini? Wasiat perjodohan zaman Siti Nurhaliza, eh salah ding, Siti Nurbaya. "Kenapa malah bengong, Ca?" Mama menepuk bahuku. "Ma, apa gak bisa nanti aja gitu wasiatnya? Ini kan terlalu dini, Ma. Aku masih kecil," rengekku. "Kecil apanya? Ukuran bra-mu sudah cukup begitu, masih mau dibilang anak kecil, jangan ngeyel kamu!" Anjay! Mukaku langsung merah mendengar ucapan Mama. Apalagi di sini ada dua abangku yang sedang duduk. Bahkan Bang Fatih, Abang tertuaku langsung memalingkan muka ke arah lain. "Ma, ih, jangan bilang-bilang, malu!" Aku merajuk. "Ya makanya, dengerin Mama. Ayo, latihan lagi, jalan yang bener. Lepas ashar nanti kamu akan melangsungkan pernikahan." Ya Salam, mimpi apa aku semalam ya? Hello, aku masih anak SMA lho! "Ma, aku kan masih sekolah?" Aku masih berusaha keras untuk menolak. "Ekhm, apa Mama sudah yakin dengan keputusan Mama? Ica masih belum dewasa lho, Ma?" Bang Fatih ikut bicara. Aku tersenyum lebar, "Tuh, Bang Fatih juga sependapat denganku. Apa Mama tega biarin aku nikah di umur belia ini? Kalau aku bunting bagaimana?" Plak! "Aduh." Aku mengeluh saat Mama memukul lenganku. "Bahasamu itu ya? Awas saja kalau nanti kamu ngomong kasar lagi di depan calon suamimu." "Kasar apanya emang?" Mama menggeleng dan berdecak pelan, "Manusia itu bukan bunting, Ca. Tapi hamil. Ngerti kamu?" "Nah itu. Kalau aku hamil bagaimana? Sekolahku? Masa depanku? Masa aku harus jadi emak-emak saat teman-temanku asyik di bangku kuliahnya sih?" "Gak kebayang si Ica malam pertama, yang ada dia ngompol di kasur, haha! Aduh!" Tawa Bang Zein langsung lenyap saat Mama memukul lengannya. "Jangan ngeres! Mama nikahin Caca sekarang bukan berarti bisa berhubungan suami istri seperti pada umumnya. Mereka hanya mengikat janji pernikahan dengan perjanjian tidak dulu berhubungan sebelum Caca siap dan dewasa." Ucapan Mama membuat otakku berpikir. "Maksudnya, Ma?" Bang Fatih juga sepertinya penasaran dengan maksud ucapan Mama. "Jadi nanti Ica kawin gantung dulu. Nikah sah secara agama, tapi belum boleh bersama sebelum Icanya siap." Mama memberi penjelasan. Aku manggut-manggut. "Terus selama kawin gantung ini berlangsung, apa aku boleh pacaran sama cowok lain, Ma?" "Hus! Ya jangan dong, Ca! Memang Mama sengaja melakukan kawin gantung ini karena tahu sifat kamu. Takutnya kamu nanti malah pacaran sama pria lain. Dan wasiat Eyangmu tidak terlaksana." "Yah.... padahal rencananya aku punya banyak gebetan di kelas dua belas ini." Aku pura-pura kecewa. Ya walau sebenarnya beneran kecewa sih, aku gak bebas lagi ngecengin cowok bening di sekolah. "Udah jam setengah tiga, Ma. Apa gak sebaiknya Ica bersiap?" tanya Bang Fatih. "Iya juga ya. Ayo, Ca. Mandi yang bersih sana!" Aku kembali masuk ke dalam kamar. Sebelum mandi seperti yang Mama suruh, aku berdiri di depan sebuah foto. Foto liburan akhir tahun lalu. Eyang Sobar memelukku hangat dan tersenyum denganku ke arah kamera. Eyang adalah manusia terbaik yang sangat aku sayangi. Ibaratnya sosok Eyang menggantikan sosok Papa yang sudah pergi lebih dulu saat aku duduk di bangku sekolah dasar. Setiap ada masalah, Eyang adalah tempat pertamaku untuk curhat. Kadang heran, Eyang sangat penyayang dan ramah, tapi Mama kok malah lebih keras dan cerewet ya? Tapi walaupun begitu, Mama tetap yang terbaik. Dan saat ini, kalau bukan karena wasiat Eyang, mana mau aku kawin buru-buru. Macam udah bunting duluan aja. Ah, satu lagi. Gak kebayang kalau misalnya teman-temanku tahu masalah ini, bisa habis diledekin setiap hari. "Ca!" Suara Mama terdengar di luar kamar. Bah, cepet amat? "Apa, Ma?" Aku melongok keluar pintu. Weh, beneran udah siap ternyata. "Ya ampun, Ca, kenapa belum mandi juga?" Mama langsung ngomel. "Iya, iya, aku mandi sekarang." Beruntungnya aku tipe gadis yang gak bisa dandan, jadi cukup mandi dan pakai baju, udah beres deh. "Lho, kok gak dandan?" tanya Mama lagi setelah aku keluar dari kamar. "Ini udah rapi kok, Ma." "Ica udah cantik tanpa dandan, Ma." ucap Bang Fatih. Mama gak memedulikan ucapan Bang Fatih. Malah menarikku ke kamarnya. "Sini, dandan dikit dong kamu ah, masa mau ketemu calon suami kayak gini? Ini apalagi? Malah pake baju ginian?" Mama mendandaniku sambil ngomel. Kadang kagum sama almarhum Papa. Kok bisa bertahan ya sama Mama yang cerewetnya tak tertolong lagi? "Nah, selesai." Mama tersenyum puas dengan hasil karyanya. Aku menatap cermin. Weh, beneran ini aku? Kok cantik banget sih? Alamak, berasa disulap sama ibu peri, hihi. "Ma, apa gak malu nanti pas keluar?" tanyaku kikuk. Ya gak biasa aja kan, dandan kayak gini. "Malu itu kalau gak pake baju, ayo ah! Kedua abangmu sudah menunggu di luar." Mama benar. Bang Fatih dan Bang Zein sudah menunggu. Ah, aku paling sungkan sama Bang Fatih. Selain karena jarang bicara, Bang Fatih juga selalu sibuk bekerja. Usaha Papa dia yang gantikan. Kalau Bang Zein masih kuliah. Sifatnya berbanding terbalik dengan Bang Fatih. Sangat jail dan cengengesan. Saat aku keluar menghampiri kedua abangku, Bang Fatih nampak terkejut menatapku lama. "Heh, jangan ngiler! Itu adik kita, Bang!" Bang Zein nyengir sambil menyikut lengan Bang Fatih. "Aku hanya kaget, Ica ternyata sudah dewasa," ucap Bang Fatih. "Nah kan, apa kata Mama juga? Ica memang sudah dewasa, tinggal menunggu usianya matang aja. Ayo, kita berangkat!" Bang Fatih menyalakan mesin. Aku dan Mama duduk di belakang sedangkan Bang Fatih duduk ditemani Bang Zein di sampingnya. Aku tahu, sesekali Bang Fatih menatapku dari kaca depan. Apa aku terlihat jelek?Malu, sumpah! Abangku yang satu ini memang berbeda. Dia selalu ada saat aku butuhkan. Ya walaupun caranya berkomunikasi sangat kaku. Tapi Mama bilang, itu cara Bang Fatih mengungkapkan kasih sayangnya pada adik. Mungkin karena aku adik perempuan, jadi Bang Fatih lebih memperhatikan aku dibanding Bang Zein. "Lho, ini ngapain kita ke rumah Pak Indra, Ma?" tanyaku heran. "Kamu kenal Indra?" Bang Fatih yang bersuara. "Lha, dia kan guru baru di sekolahku, Bang," jawabku. "Dia calon suami kamu, Ca. Baguslah kalau kalian sudah saling kenal." Mama mengelus lembut punggungku. Waduh, ini beneran aku mau dikawinin sama Pak Indra? Guru olahraga itu? Haduh, bagaimana ini? Kalau saja bukan karena wasiat Eyang, huft.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Her Triplet Alphas

read
7.0M
bc

The Heartless Alpha

read
1.5M
bc

My Professor Is My Alpha Mate

read
475.3K
bc

The Guardian Wolf and her Alpha Mate

read
522.4K
bc

The Perfect Luna

read
4.1M
bc

The Billionaire CEO's Runaway Wife

read
614.4K
bc

Their Bullied and Broken Mate

read
473.5K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook