Chapter 1 Ajakan Menikah

1547 Words
Aku memperhatikan lelaki itu. Laptopnya jelas spek laptop mahal. Kaus polo hitam yang membalut tubuhnya dengan pas itu juga termasuk kaus branded. Aku perhatikan lelaki itu lagi. Postur tubuh tegak dan badannya jelas bagus. Rambutnya agak gondrong tapi tetap tampan. Alisnya tebal, hidungnya mancung, bibirnya… Well, aku berusaha fokus kembali pada tujuanku. Jadi aku mulai bicara. “Gue-” Baru saja aku bicara satu kata, tangannya langsung terangkat ke udara. Pertanda agar aku berhenti. “Lima belas menit lagi baru ajak gue ngomong,” ucapnya. Aura dominan lelaki itu kuat juga. Aku langsung tunduk mengangguk atas ucapannya. Mataku kemudian mulai menatap sekeliling lelaki itu. Mencari kira-kira dimana ponselku diletakkan. Hanya saja aku tidak menemukannya. Jelas tidak terlihat. Mungkin disimpan di saku atau dalam tas. Entahlah, aku memilih mengidarkan pandangan ke sekeliling restoran saja. Bapak dan istrinya tadi sudah pergi. Jadi hanya kami di restoran ini. Lima belas menit harus menunggu lelaki itu rasanya terlalu lama. Aku mulai haus. Sebenarnya ada lembaran uang di dompetku tapi aku pikir bisa pakai cara ini untuk menagih ponselku. “Gue haus. Tolong kembaliin HP gue dong. Buat beli minum. Bayar pake QRIS,” ucapku Lelaki itu berdecak. Ia merogoh sakunya dan saat itu mataku berbinar. Kalau ponselku sudah diberikan, aku akan langsung lari saja. Persetan dengan ide lelaki itu untuk balas dendam ke Ilham. Aku hanya butuh ponselku untuk melakukannya. Tanganku sudah bersiap untuk menerima dengan penuh rasa syukur. Akan tetapi senyuman di wajahku langsung sirna begitu yang diletakkan di tanganku adalah sebuah kartu. “Pake itu aja. Pin 0893. Jangan ngomong lagi.” Aku menatap kartu di tanganku itu dan kemudian menatap lelaki itu. Kali ini dia memasang earphonenya. Seolah memberitahuku bahwa apapun yang aku katakan selanjutnya itu percuma karena dia tidak akan mendengar. Kartu yang diberikan lelaki itu adalah kartu prioritas. ‘Pamer!’ Pasti maksudnya ingin menunjukkan kalau dia kaya. Baiklah kalau begitu, aku akan pakai kartu ini untuk pesan minuman paling mahal! Tapi tidak jadi. Karena takutnya dia tiba-tiba minta ganti rugi, jadi aku cari aman saja dengan pesan chocolate latte. Ternyata sistemnya adalah pesan dan nikmati dulu, nanti tagihan akan datang di akhir. Setelah aku selesai memesan, Lelaki itu masih tetap fokus menatap laptopnya. Aku pun memperhatikan wajahnya. Mulai timbul rasa penasaran. Apa kami bertemu di klub semalam? Tapi dia bawa laptop. Apa dia menemukanku di jalanan? Mulai timbul banyak pertanyaan dan aku ingin segera tahu jawabannya. *** Sudah beberapa menit berlalu dan aku menjadi semakin tidak nyaman. Menunggu adalah hal yang paling membosankan. Apalagi dia adalah orang asing. Wajahnya sih ganteng, lumayan bikin betah memandang. Kalau dibanding Ilham, jelas lelaki di depanku ini lebih menawan. Aku jadi ingat Ilham lagi, kan! Kalau dipikir-pikir, Ilham itu jelek. Selama ini pasti mataku jadi buta ketutupan cinta sehingga menganggap dia lelaki paling tampan di dunia. Saat sedang memikirkan Ilham, minumanku datang. Aku mengucapkan terima kasih kepada pelayan yang mengantar kemudian langsung menyeruputnya habis. Untuk manusia yang minum air banyak sepertiku, sekali seruput langsung habis. Bahkan terasa kurang. Aku masih merasa haus. Jadi aku pesan minuman lagi, jenis yang berbeda. Minuman rasa taro yang menyegarkan. Kali ini langsung dua gelas. Sampai dua gelas pesananku itu datang, lelaki itu masih asik dengan laptopnya. Seolah aku benar-benar tidak terlihat. Aku jadi penasaran dia sebenarnya kerja apa. Jadi aku langsung berdiri kemudian berpindah posisi ke belakang lelaki itu. Menatap layar laptopnya begitu saja tanpa izin. Kepalaku langsung pusing melihatnya. Yang jelas bisa aku simpulkan kalau dia sedang mengerjakan kode pemrograman. Sepertinya lelaki ini bekerja di bidang IT. ‘Uh seksi juga.’ Bagiku orang-orang yang bekerja di bidang IT itu orang yang otaknya seksi. Aku kemudian kembali duduk di tempatku. “Duh ini lama banget sih,” keluhku kemudian menyeruput es taroku. Aku memutuskan menghabiskan waktu dengan mengetukkan jemari di meja. Tidak lama kemudian lelaki itu melepas earphonenya dan melipat laptopnya. Aku merasa lega. Akhirnya! “Nah. Buru. Mana HP gue?” pintaku sambil menggerakkan tanganku dengan gerakan meminta. Tanganku yang sedang menadah itu tiba-tiba disalami olehnya. Tangannya besar, terasa hangat menggenggam tanganku. “Indra Ardana, dipanggil Indra.” ‘Oh maksudnya kenalan?’ Aku baru paham maksud lelaki itu tiba-tiba menyalamiku. Indra kemudian melanjutkan ucapannya. “Salam kenal Devira Anjani, yang dipanggil Vira.” Keningku mengernyit. Indra mengerikan. Kenapa dia bisa tahu nama lengkapku? Tangan kami yang bersalaman pun itu berakhir karena Indra menarik tangannya lebih dulu. Ia masih menatapku. “Kita ketemu di klub semalem. Lo mabuk dan hampir dibungkus,” ucapnya. “Hampir? Bukannya gue dibungkus lo?” sindirku. Indra mengangkat satu alisnya. Yang sialnya itu kelihatan menarik bagiku. Dia ini benar-benar menawan sekali. Meski tidak ada senyuman sedikit pun di wajahnya sejak tadi. Kalau orang bilang cantik atau ganteng itu relatif. Bagiku kegantengan Indra itu mutlak. “Lo tau arti bungkus nggak?” tanya Indra. Aku tahu. Aku sengaja bilang begitu untuk menjebaknya. Supaya dia beritahu apa yang terjadi semalam. Meski tidak yakin pertanyaan jebakanku itu akan berhasil. Aku mengangguk. “Gue nolongin lo. Harusnya bilangnya makasih.” “Thank you so much ya, Indra. Udah ngambil HP gue. Jadi gue harus nunggu lama disini.” Indra sepertinya terkejut dengan responku. Jelas ucapanku itu tadi sengaja aku ucapkan dengan nada yang mengjengkelkan. “Gue serius. Gue nggak ngapa-ngapain lo semalem. Lo terlalu mabuk. Sampe ceritain terlalu banyak hal.” Indra kemudian mengeluarkan ponsel. Aku kira ponselku, ternyata bukan. “Gue rekam yang lo bilang semalem. Sebagai bukti kalo gue nggak ngapa-ngapain lo.” Aku membuka mulut karena terkejut. Mulai khawatir terkait apa saja yang aku beritahu kepada lelaki asing ini. “Nggak usah khawatir. Rahasia lo aman,” ucapnya. Pantas saja Indra tahu nama lengkap ku. Tahu soal Ilham dan Meri juga. Entah apa saja yang sudah aku beritahu padanya saat mabuk “Oke. Gue percaya sama lo,” ucapku putus asa. Sebenarnya aku tidak terlalu yakin. Ilham dan Meri yang sudah sangat aku kenal saja tega menghancurkan kepercayaanku. Apalagi Indra orang asing yang baru aku temui ini. “Jadi kenapa lo pake ngambil HP gue dan nyuruh gue kesini?” Aku kemudian menunjuk pipiku. Bekas tamparan istri sah tadi masih terasa. “Berkat lo gue digampar emak-emak.” Indra minum dengan santai. “Siapa suruh lo nyamperin bapak-bapak,” ujar Indra. Melimpahkan kesalahan sepenuhnya padaku. “Siapa suruh lo nulisnya sok misterius gitu. Nggak detail. Mana gue tau wujud lo kayak gimana.” “Gue pikir lo inget yang terjadi semalem.” “Ya enggaklah!” sahutku kemudian minum. Baru sedikit saja bicara dengan Indra, emosiku terpancing dengan cepat. “Termasuk ciuman?” tanyanya. Pertanyan dari Indra itu berhasil membuatku tersedak. Disaat aku terbatuk-batuk, aku kira dia akan berinisiatif melakukan sesuatu untuk membantu. Ternyata tidak! Yang Indra lakukan hanyalah bernapas. “Kata lo-” “Bercanda,” potong Indra cepat. “Lo udah cerita semuanya semalem dan gue jadi tau problem lo.” Aku langsung memegang kepalaku, merasa pusing. Bukankah itu termasuk privasi? Tapi itu juga salahku. “Emang gue udah bilang apa aja?” “Banyak. Soal Ilham sama Meri.” Aku berdecak sebal. “Tadi lo bilang mau ngasih tau cara buat balas dendam. Buruan kasih tau. Abis itu balikin HP gue.” Indra minum terlebih dahulu sebelum kemudian bicara. “Nikah sama gue.” Satu detik, dua detik, hembusan AC di restoran terasa menyapu pipiku. Selanjutnya aku tertawa. Terbahak-bahak sampai perutku terasa sakit. “Gue serius. Nikah kontrak. Gue bisa kasih uang bulanan dua digit kalo lo jadi istri gue.” Tawaku terhenti. Aku kira Indra bercanda tapi keliatannya dia serius. “Lo nggak mabuk, kan?” tanyaku. “Gue serius nyari istri. Nyokap nuntut untuk nikah terus.” Aku jadi prihatin. Aku tatap Indra dengan lekat. Berusaha menebak umurnya. Kalau orang tuanya sampai mendesak, kemungkinan Indra sudah tua. Akan tetapi dari tampangnya, dia masih terlihat begitu muda. Lalu muncul dugaan kedua. Apa mungkin Indra belok? Dia tidak suka perempuan? “Lo waktu mabuk bilang pengen punya cowok yang lebih dari Ilham buat balas dendam. Gue bisa bantu itu. Kita kerja sama. Simbiosis mutualisme.” “Pede banget lo ngerasa lebih dari Ilham.” “Jelas. Gue nggak selingkuh.” Ucapannya cukup bisa menohok hatiku. Terlalu fakta! Hanya saja, aku tidak habis pikir dengan Indra. Bisa-bisanya dia menganggap serius omongan ngelantur orang yang mabuk. “Kok lo nganggep serius omongan gue pas mabok?” tanyaku. “Omongan orang mabok itu omongan yang paling jujur,” sahut Indra. Aku menghela napas. “Lo sehopeless itu ya sampe nawarin ke stranger kayak gue? Lo nggak mikir panjang? “Lo juga sehopeless itu ya galauin Ilham sampe mabok sendirian di klub? Nggak mikir panjang?” Aku mengepalkan tangan. Indra ini sebenarnya sedang menawarkan pernikahan atau mau menantang debat sih? Aku berusaha tenang. Berusaha mengabaikan tawaran mendadak ini. ‘Fokus Vira. Lo cuma butuh HP untuk segera viralin Ilham sama Meri.’ “Lo bilang bakal kasih uang bulanan dua digit. Dengan duit segitu berarti lo kaya dong? Harusnya lo bisa cari perempuan lain untuk dibayar. Kenapa ngajak gue yang entah bibit bebet bobotnya kayak gimana? Perempuan antah berantah yang tiba-tiba mabok di klub hampir di bungkus.” “Nyari perempuan lain juga entah bibit bebet bobotnya kayak gimana. Sedangkan lo, lo udah jelasin diri lo semalem sejelas-jelasnya.” “Sebenarnya gue ngomongin apa aja sih semalem?” tanyaku penasaran. “Cukup banyak untuk buat gue yakin menikahi lo.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD