BAB 1

2116 Words
Angin malam terasa mengusik, aroma tanah yang basah semakin membuat suasana begitu mellow. Beberapa pasangan yang datang ke kafe tampak bahagia dengan dua cangkir kopi panas yang tersedia di atas meja. Sambil bercanda, mengobrol, atau sekedar saling menatap dengan penuh cinta. Berbeda sekali dengan seseorang yang duduk sendirian di balik meja nomor 15 yang termenung sambil menatap rintik hujan yang tidak reda-reda sejak satu jam yang lalu. Ingin rasanya dia pergi menerobos hujan, namun sayangnya dia tidak ingin bajunya basah. Secangkir kopi panas bahkan sudah dingin karena dibiarkan tanpa disentuh sama sekali. Dia tidak suka kopi, tetapi memaksa duduk di kedai kopi hanya untuk berteduh. Memutuskan pergi dengan sepeda motor, tampaknya adalah rencana yang buruk. Seharusnya dia pergi dengan mobilnya, setidaknya tidak akan membuang-buang waktu duduk di kedai kopi sambil melihat para manusia berkencan di malam Minggu. Rengga, nama laki-laki itu. Begitu melihatnya, orang-orang dapat langsung menyimpulkan jika dia adalah laki-laki menyebalkan yang tidak banyak bicara. Percayalah, dia hanya tidak suka dengan pembicaraan tanpa arti atau sekedar basa-basi. Dia bosan! Bosan dengan suasana kedai kopi ini karena terlalu banyak diisi dengan insan manusia yang berpasangan. Banyak terdengar gombalan receh yang menurutnya tidak penting sama sekali. Apakah masih jamannya gombal-gombalan? Begitulah yang selalu Rengga pikirkan ketika ada dua orang yang berkencan. Mungkin dia memang datang sendiri, itu semua karena waktunya terlalu berharga untuk dihabiskan hanya untuk mengejar kisah percintaan yang menye-menye semacam itu. Beberapa kali matanya menatap jam tangan mahal yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. Sudah waktunya pulang, tetapi lebih baik dirinya tetap berada di sini untuk sementara. Lebih baik melihat kerumunan manusia memadu cinta daripada pulang menyerahkan diri kepada kedua orang tuanya. Kedua orang tuanya sedang berusaha mencarikannya jodoh. Dengan mengenalkannya kepada beberapa perempuan pilihan orang tuanya tentunya. Perempuan-perempuan itu adalah anak-anak dari rekan Mama atau Papanya. Mungkin kedua orang tuanya hanya khawatir dengan kesendirian Rengga sejak lama. Rengga sama sekali tidak tertarik dengan hubungan semacam itu. Bukan karena dia kelainan atau apalah itu, tetapi karena memang belum ada satu pun perempuan yang bisa menarik perhatiannya. Dia juga bukan laki-laki pendiam dan kutu buku dengan kacamata minus yang tebal. Daya tariknya memang diakui oleh banyak orang, namun semua itu tertutupi oleh sikapnya yang terlalu dingin dengan perempuan. Mungkin teman dekat perempuan hanyalah satu orang saja. Itu pun karena usaha perempuan tersebut yang tidak kenal lelah untuk meruntuhkan kerasnya pendirian Rengga untuk tidak dekat dengan siapapun. "Rengga..." Suara seorang perempuan yang baru saja datang membuatnya sontak mendongak. Rengga tertegun sejenak, matanya masih meneliti. Mungkin antara tidak percaya dan percaya jika sosok cantik di depannya adalah seseorang yang sudah lama tidak dilihatnya. Senyum tipis yang hampir tidak terlihat berusaha dia sembunyikan. "Kenapa di sini?" Tanyanya dengan suara manja. Rengga menggeleng pelan, berdiri sebentar, lalu mendekap perempuan itu. Sudah lama sekali, tidak seperti ini. Merindu yang tidak pernah selesai dan perasaan senang yang membuncah karena baru saja bertemu kembali. Rengga melepaskan pelukannya, lupa jika sedang berada di tempat umum. Dia masih belum percaya, namun tetap menatap perempuan itu dengan penuh kerinduan. Lesung pipi manis yang jarang dia lihat selama hampir lima tahun belakangan ini. Senyum manja dan kata-kata cerewet pun tidak lagi dia dengar. Tetapi, akhirnya perempuan itu kembali. "Calista?" Ucapnya pelan lalu mengelus kepala perempuan itu. Sekali lagi, dia mengelus kepala perempuan itu. "Iya, ini aku. Kenapa kaget banget sih? Bukannya pulang malah nongkrong sendirian di sini. Kamu enggak tahu apa, aku bosen duduk sendirian di rumah kamu. Tadi sempat ditemenin sama Om Dino tapi akhirnya ditinggal lagi karena mau nganterin Kak Viona. Tante Audi juga baru sibuk masak, jadinya aku bosen. Kamu kan tahu kalau aku enggak suka di dapur. Jadi aku nyari kamu deh!" Cerita perempuan bernama Calista itu pada Rengga. Untuk beberapa saat Rengga hanya tersenyum tipis. Dia begitu mengenal perempuan di depannya. Orang yang tidak pernah menyerah untuk selalu berteman dengannya. Perempuan yang selalu bersamanya semenjak jaman SMA. Adik kelas bawel yang tiba-tiba masuk ke dalam kehidupannya hanya karena insiden kecil di waktu itu. Calista, nama itu sungguh berarti untuknya. Perempuan yang tidak pernah lelah mendekatinya hanya untuk menjadi temannya. Seseorang yang mengusir rasa sepinya ketika duduk di bangku SMA. Perempuan yang mau berada di sisinya tanpa berbicara sama sekali berjam-jam ketika hatinya sedang patah karena sesuatu. Rengga benar-benar banyak berutang budi pada perempuan itu, perempuan yang berusaha untuk tetap tinggal meskipun banyak sekali kepedihan yang dirinya dapatkan. "Kenapa diam aja sih, Ga? Aku mau kopi pahit." Rengeknya kepada Rengga dengan senyuman manis yang selalu ditampilkannya. Perempuan paling ceria yang pernah Rengga kenal selama ini. Rengga menarik salah satu kursi di dekatnya, meminta Calista untuk duduk disampingnya. Perempuan itu menurut, dengan senang dirinya duduk di dekat Rengga. "Aku pesenin dulu. Kamu tungga di sini, oke?" Ucap Rengga beranjak dari kursinya untuk menuju meja order. Semangatnya terisi kembali, wajah bahagianya bersinar juga. Tidak seperti Rengga beberapa tahun belakangan ini. Suram dan tidak bersemangat. Rasanya, nostalgia ini mengingatkannya kepada jaman SMA yang sudah terlewat lama. Ketika mereka akhirnya memutuskan untuk saling bersahabat. Meminta satu sama lain menunggu ketika harus berpisah jarak karena Calista akhirnya memilih melanjutkan studinya di Amerika. Calista menatap punggung Rengga dari kejauhan. Senyumnya mengembang dengan sempurna. Seperti ada luapan kebahagiaan yang tidak bisa dia jelaskan saat ini. Rengga adalah alasan terbesarnya untuk pulang ke Indonesia. Rengga juga adalah tujuannya ketika tidak tahu arah lagi. Laki-laki itu semacam magnet yang memang diciptakan untuk menarik Calista agar selalu mendekat. Andai, Rengga bukan orang yang terpaku pada masa lalu, mungkin Calista berani mengambil satu langkah lebih maju. Setidaknya, Rengga tahu, jika dirinya tidak hanya mengharapkan pertemanan seperti ini. Calista, jatuh cinta dengan Rengga! Sejak kapan? Mungkin sejak Rengga menolak berteman dengannya, mungkin ketika Rengga berusaha mengacuhkannya, atau mungkin ketika Rengga tidak pernah peduli padanya. Baginya, Rengga adalah satu-satunya laki-laki yang tidak tertarik dengannya. Laki-laki yang melukainya berkali-kali karena memintanya untuk menjauh. Tetapi nyatanya, Rengga adalah laki-laki yang berhasil menempati tahta di hatinya. Dan tahta itu, bernama cinta. "Nih, secangkir kopi pahit untuk princess Calista." Seru Rengga seraya meletakkan cangkir di atas meja. Calista tersenyum lebar menerima minuman yang Rengga suguhkan. Dia pecinta kopi, sangat! Apapun jenis kopinya, dia akan langsung jatuh cinta. Jika bicara soal kopi apa yang enak, Calista akan dengan mudah menjawab. "Wahh... Terima kasih banyak." Ucap Calista yang langsung menyeruput kopinya. Entah terbuat dari apa lidah perempuan itu, bahkan ketika kondisi masih panas dengan uap yang mengepul saja langsung bisa minum dengan nikmatnya. Rengga menggelengkan kepalanya, dia rindu suasana seperti ini. Susah sekali baginya untuk berteman. Karena tidak semua orang paham dan mau mengerti dengan sikapnya. "Ca, sejak kapan kamu ada di Indonesia? Kenapa enggak ngabarin sama sekali selama dua tahun ini? Aku pikir, kamu lupa." Tanya Rengga dengan mata yang fokus menatap Calista. Perempuan itu bahkan masih cantik dan sama persis dengan jaman SMA dulu. Bedanya, Calista yang sekarang sudah memakai make up walaupun hanya tipis. Aroma parfumnya pun masih sama, melati. Mungkin aroma itu juga menjadi favoritnya. Begitu menenangkan dan khas sekali. Calista memiliki wajah yang oval, dengan kedua mata bulat dan terang. Dia tidak gendut sama sekali. Bukan karena program diet ketat yang biasanya dilakukan para perempuan untuk menjaga penampilannya. Itu semua karena tubuhnya tidak bisa gendut. Percayalah, porsi makan perempuan secantik ini cukup mengerikan. Tetapi memiliki ukuran tubuh yang ideal. Cukup, Rengga tidak mau menilai orang lain sangat jauh. Apalagi Calista adalah temannya, bukan orang lain. "Aku di sini sejak seminggu yang lalu. Rencananya sih tadi mau ngasih kamu kejutan di rumah. Aku juga pernah main ke rumah waktu kamu masih di rumah sakit. Kata Tante, kamu enggak pernah berhubungan dengan siapapun. Satu pun teman di jaman kuliah enggak ada yang kamu bawa ke rumah. Tante khawatir kalau kamu enggak dapat jodoh, terus Tante punya rencana buat ngenalin anak-anak dari temannya Tante. Ya udah, aku punya ide deh kalau Tante aku minta buat ngomong sama kamu soal hal itu. Eh, malah enggak jadi surprise karena kamunya enggak datang." Gerutu Calista sambil mengerucutkan bibirnya. Rengga tertawa pelan, tidak bersuara namun dari ekspresi wajahnya begitu kentara. Hal yang sangat jarang, mungkin tidak pernah dia perlihatkan kepada siapapun. "Kamu kan tahu, aku enggak suka dengan acara semacam itu. Mama memang pernah nekad ngenalin aku sama anak temannya. Jadi, aku trauma aja. Kalau tahu itu kamu, mungkin aku enggak bakal kabur kaya gini." Jawab Rengga dengan jujur. Pengalamannya tentang dikenalkan dengan anak teman Mamanya cukup menyedihkan memang. Harus pura-pura baik di depan semua orang. Dan itu sangat menyebalkan. Jika memang mereka ingin dekat dengannya, alangkah baiknya dengan berteman terlebih dahulu? Rengga bukan laki-laki yang bisa langsung menyukai orang dalam satu pertemuan apalagi dalam satu waktu tanpa perkenalan formal layaknya orang berteman. "Terus, apa motivasi kamu datang ke kedai kopi tapi kamu sendiri enggak suka minum kopi?" Tanya Calista kembali dengan heran. Rengga menggeleng, dia juga tidak tahu mengapa harus datang ke kedai ini. Menurutnya, ada sesuatu yang membuatnya ingin datang. Tapi entah apa. Yang jelas dia nyaman duduk di tempat ini walaupun tidak suka minum kopinya. Walaupun tidak buruk untuk mencoba minum kopi, namun tetap saja, kopi selalu berakhir dengan rasa pahit. Entah kopi manis atau kopi pahit. Sama halnya dengan cokelat, berawal dengan rasa manis yang membuat ketagihan namun diakhiri dengan rasa pahit di pangkal lidah. "Tante bilang, kamu bakalan tugas keluar pulau, Ga? Aku pikir, kita bakalan sering ketemu setelah aku pulang ke Indonesia. Tapi akhirnya, kita bakalan berpisah lagi. Kadang kenyataan enggak sejalan dengan ekspektasi deh. Tapi enggak papa kok, kamu pasti sudah mempersiapkan semuanya dengan baik. Aku bangga sama kamu! Kamu bisa mengambil keputusan seberani ini." Puji Calista dengan senyuman yang dipaksa. Rengga menatap Calista sebentar lalu mengangguk. Dia tidak punya jawaban atas apa yang Calista katakan dan tanyakan padanya. Dia memang terpaksa mengikuti semua acara itu, tetapi demi dirinya sendiri. Bukan demi orang lain apalagi jiwa kemanusiaan yang sering digembor-gemborkan oleh para relawan itu. Dia tidak munafik, rekomendasi ke universitas terbaik adalah cambuk yang paling berpengaruh untuknya. Dia ingin melanjutkan studinya dengan mudah, dan mungkin inilah jalannya. Jalan yang tidak pernah dia pikirkan sebelumnya. "Lusa aku bakalan berangkat. Besok kita jalan-jalan dulu mau enggak? Sekalian aku mau beli sesuatu untuk dibawa. Lagipula, udah lama kita enggak jalan-jalan ke SMA lagi. Nanti kita jajan telur gulung sama es krim dua ribuan." Tawar Rengga yang disambut dengan tawa Calista. Dulu, makanan itu adalah makanan paling Calista suka. Makanan yang selalu menjadi daftar jajanan pilihan yang selalu Calista minta kepada Rengga ketika pergi ke kantin. Tidak terasa, mereka sudah sebesar ini, sedewasa ini. Namun kenyataan bahwa Calista memendam perasaannya sendiri tampak menyedihkan. Entah, Rengga merasa atau tidak. Namun laki-laki itu tidak pernah sama sekali membicarakan tentang perasaan kepada Calista atau kepada siapapun. Rengga tidak pernah mengatakan perasaan apalagi soal percintaan. Rengga belum siap untuk jatuh cinta dan dengan siapa itu, dia tidak siap. "Apa aku masih punya kesempatan? Maksudku, kesempatan untuk terus menunggu kamu selama setahun?" Tanya Calista dengan serius. Rengga mengerutkan keningnya, dia tidak paham kemana arah pembicaraan Calista saat ini. Dia diam, membiarkan perempuan itu menjelaskan maksudnya. Maksud yang mungkin akan membuat hubungan keduanya retak mulai saat ini. "Aku suka sama kamu, Ga! Aku enggak tahu kenapa aku punya perasaan kaya gini ke kamu. Tapi ini kenyataannya, aku enggak bisa mengelak lagi. Aku enggak bisa menahan semuanya lagi. Bayangin Ga, aku menahan perasaanku selama bertahun-tahun supaya kamu enggak pergi. Tapi kali ini, aku mau kamu tahu perasaanku. Aku mau kamu juga punya perasaan yang sama kaya aku. Kamu ingat kan, sejak dulu cuma aku teman kamu satu-satunya. Jadi, mungkin kan kalau kamu juga suka sama aku? Kamu bisa kasih aku kesempatan untuk membuat kamu jatuh cinta sama aku?" Ungkap Calista dengan kedua bola mata yang memerah karena menahan emosinya sendiri. Rengga terdiam cukup lama, semua ini diluar kuasanya. Namun Rengga juga sudah membicarakan semuanya di awal. Tidak ada kata jatuh cinta diantara kita. Mari berteman dengan ikhlas tanpa meminta pamrih untuk membalas perasaan. Rengga sudah menjelaskan jika dia, mungkin tidak bisa jatuh cinta. Kenyataan itu sudah doktrin kepada dirinya sendiri sejak lama. Rengga beranjak, tanpa sepatah kata pun. Inilah caranya, kabur dengan sisa kewarasan yang masih dia punya. Kenyataan tentang sahabatnya menyukainya adalah tamparan keras untuknya. "RENGGA! Kenapa? Apa jangan-jangan kamu seorang guy? Sama seperti yang dikatakan orang-orang selama ini?" Teriak Calista yang membuat semua orang menatap mereka. Posisi kedai kopi itu masih ramai dan hujan sudah mulai reda meskipun sedikit gerimis. "Ya, aku seorang guy!" Jawab Rengga tanpa menoleh sama sekali. Semua orang menutup mulut, sama halnya dengan Calista yang hanya bisa menghapus air matanya yang jatuh entah sejak kapan. Hubungan mereka berakhir, Rengga meninggalkan tempat itu tanpa satu kata pun. Hanya mengapatakan jika dia adalah guy. Tidak ada salam perpisahan atau setidaknya memberikan senyuman. Rengga benar-benar sudah kecewa. Kecewa pada dirinya sendiri, karena tidak bisa jatuh cinta dengan orang yang sudah dekat dengannya selama bertahun-tahun. ###
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD