bc

Terperangkap Sindikat Mafia

book_age18+
334
FOLLOW
3.2K
READ
adventure
twisted
mystery
expert
detective
realistic earth
crime
weak to strong
like
intro-logo
Blurb

Ezra Ardika, hanya seorang office boy di kantor jasa detektif swasta. Ia ingin sekali menjadi detektif. Kesempatan itu mulai terbuka ketika Alika, salah satu agen detektif paling handal memintanya untuk menjadi asisten dalam menangani kasus orang hilang dengan korban bernama Septi. Meskipun begitu, Jacky, sang direktur mewanti-wanti agar Alika jangan melepaskan Ezra seorang diri karena belum berpengalaman.

Pekerjaan Ezra memuaskan Alika. Di sisi lain Alika sedang menangani kasus lain, sehingga dalam sebuah situasi sulit, terpaksa Ezra dilepas untuk melakukan penyelidikan sendiri. Namun direktur menganggap itu melanggar standar operasional prosedur. Akibatnya mereka diberhentikan dari menangani kasus tersebut.

Terlanjur terlibat dengan penyelidikan kasus hilangnya Septi, Ezra memutuskan untuk meneruskannya secara diam-diam. Namun tanpa diduga saat melakukan penyelidikan, ia terperangkap dalam sindikat pengedar narkoba.

Awalnya Ezra terpuruk, tetapi akhirnya ia mencoba keluar dari situasi tersebut sambil terus mencari jejak keberadaan Septi.

Apakah ia akan berhasil melepaskan diri dari perangkap dan berhasil memecahkan kasus?

chap-preview
Free preview
Menjadi Asisten Detektif
Ezra meletakkan satu tumpuk berkas ke atas meja kerja Alika. Selesai sudah tugasnya memfotokopi dan menjilid sembilan eksemplar berkas-berkas tersebut. Alika tersenyum puas dengan kecepatan kerja Ezra. "Sudah kamu urutkan, Ezra?" Ezra memeriksa ulang tumpukan berkas tersebut. "Sudah, Kak." "Aku masih punya satu tugas lagi buatmu!" Alika mengambil sesuatu dari dalam laci. "Siap, Kak!" ujar Ezra, menunggu kiranya tugas apa lagi yang harus dikerjakannya. Alika memberikan dua batang cokelat kepada Ezra. "Tugas selanjutnya adalah habiskan dua batang cokelat ini. Kamu belum sarapan kan?" Ezra cengar-cengir. Ia menerima cokelat dari Alika. "Ini tugas yang sangat berat, Kak, tapi terima kasih masih diberi kepercayaan buat menghabiskan dua batang cokelat." Alika terkekeh. "Tidak semua orang mampu melakukan tugas itu. Hehehe!" Ezra mengerjap senang. Ia berlalu dari hadapan Alika sambil menimang-nimang dua batang cokelat di tangannya. Ia memilih duduk di pojokan. Alih-alih memakannya, Ezra mengantongi dua batang cokelat pemberian Alika. Ia tidak biasa ngemil pada saat jam kerja. Ia memiliki prinsip untuk selalu fokus pada pekerjaan. Sehingga ia jarang sekali bermain gadget pada saat jam kerja, kecuali ketika berkomunikasi saja. Setiap memiliki waktu luang seperti saat ini, Ezra ingin sekali bermain rubik. Ia sangat menggemari permainan itu. Namun ia tidak pernah membawa alat permainan itu karena sadar dirinya akan hanyut dalam permainan itu sehingga khawatir akan mengganggu pekerjaannya. Dua tahun lebih Ezra bekerja sebagai office boy pada CV. J-Sukma, yaitu sebuah perusahaan jasa detektif swasta yang sangat terkenal di Semarang. Sedikit banyak ia paham bagaimana cara kerja para egen detektif. Bisa dibilang, di antara karyawan yang seprofesinya, hanya Ezra yang paling bersemangat untuk mempelajari bagaimana seorang detektif bekerja. Ia tidak segan bertanya banyak hal kepada para agen detektif, mulai dari istilah-istilah yang asing di telinganya, sampai pada hal yang ia tidak diperbolehkan untuk mengetahuinya karena itu menyangkut penyelidikan. Hampir semua agen detektif yang bekerja pada CV. J-Sukma pelit berbagi ilmu. Itu tidak menyurutkan semangat Ezra untuk mengetahui lebih jauh tentang dunia perdetektifan. Bahkan ia merasa tertantang dan tidak lelah bertanya kepada mereka. Begitu besar rasa penasarannya dan begitu seringnya ia bertanya, membuat para agen detektif menjulukinya si kepo. "Siang, Kepo!" sapa Jacky Sukma, direktur perusahaan. Lelaki berdandan nyentrik itu melirik dua batang cokelat yang bagian atasnya menyembul dalam saku bajunya. Ezra mengangguk hormat. "Pagi, Pak!" "Yang di saku baju itu apa?" Jacky pura-pura bertanya. Ia salah satu penggemar cokelat. "Cokelat, Pak!" "Kamu pasti bingung cara menghabiskannya bukan?" Jacky mengerling. Ia sedang menggoda Ezra. Ezra paham bosnya sedang menggodanya. Ia tidak mau kalah, balas menggoda. "Iya memang, Bos, tapi tenang saja saya akan mencari tutorialnya di Youtube." "Hahaha!" Jacky kagum dengan kepandaian Ezra dalam membalikkan situasi. "Kalau bapak mau, silakan!" Ezra menawarkan cokelatnya. Jacky mengerjap curiga. "Ah masa?" "Beneran, Pak. Cuman dua seringgit. Hehehe!" Jacky ngakak, sambil meninggalkan Ezra. Ia sudah menduga Ezra pasti tidak akan memberikannya secara percuma. Lagi pula jika office boy itu betulan memberikan cokelat padanya, ia pasti gengsi menerimanya. Jacky memang mengondisikan suasana kerja agar selalu menyenangkan. Itu ditunjang dengan gayanya yang low profile dan menjadikan karyawannya sebagai mitra, bukan tentang bos dan anak buah. Ia juga selalu memberi contoh agar semua yang berada di perusahaannya sederajat dan mengharamkan kesenjangan antar profesi. Meskipun memang pada akhirnya, semua harus bertanggung jawab pada posisinya masing-masing. Jacky juga sering memperhatikan kinerja dan aktivitas Ezra. Ia mengagumi anak muda itu yang sangat gigih untuk belajar. Kadang ia ingin memberi pelatihan kepada Ezra agar bisa belajar banyak tentang dunia perdetektifan. Namun, untuk saat ini kantornya sangat sibuk. Sehingga keinginannya tersebut harus mengendap. Di mata Jacky, Ezra adalah seorang pemuda ceria dan supel. Sehingga meskipun kadang para agen detektif sering kesal karena Ezra sering bertanya, para agen detektif tetap merasa terhibur dengan keceriaannya. Ezra tipe orang yang menyenangkan ketika sedang diajak ngobrol santai, tetapi seketika menjadi orang paling menyebalkan ketika rasa penasarannya tinggi. Hampir semua para agen detektif pelit berbagi ilmu dan pengalaman, apalagi membuka kasus kepada selain detektif, namun Alika adalah pengecualian. Gadis berusia dua puluh lima tahun itu sering sekali menceritakan pengalamannya kepada Ezra. Bahkan dalam beberapa kasus, Alika melibatkan Ezra dalam penyelidikan, meskipun hanya sebatas menjadi tempat sharing, menemaninya melakukan investigasi, sampai minta pendapat. Itu membuat Ezra semakin paham bagaimana cara memecahkan kasus. Di samping rasa penasarannya tinggi, Ezra juga cerdas. Itu membuatnya cepat menyerap ilmu perdetektifan. Bahkan menjadi detektif adalah impiannya sejak kecil. Ezra sadar ia hanya office boy, tetapi ia yakin impiannya itu akan terwujud, cepat atau lambat. Ia hanya perlu terus belajar dan berusaha. *** "Saya punya kasus baru!" beritahu Jacky kepada Alika. Alika mengerjap seraya mendesah pelan. Ia menduga, Jacky memanggilnya karena akan memberinya kasus baru tersebut padanya. Jika benar, maka itu akan membuatnya semakin repot. Dua kasus lain yang sedang ia tangani saja belum selesai. "Bisa dibilang ini kerja sosial," ujar Jacky. "Karena klien kita ini tidak mampu untuk membayar biayanya." Alika menelan ludah. Tadi ia sudah mantap akan menolak diberi kasus baru karena ia sedang menangani dua kasus berat sekaligus. Sekarang ketika tahu bahwa kasus baru tersebut tidak ada biayanya, ia menjadi tidak enak untuk menolak karena nanti dianggap hanya mau menerima kasus yang ada uangnya saja. Sungguh ia menjadi dilema. "Tapi tenang saja. Siapa pun yang menangani kasus ini akan tetap mendapatkan bayaran sepadan." Jacky meyakinkan. "Klien kita ini adalah teman sekolah saya waktu SMP dulu." Pernyataan Jacky justru semakin membuat Alika merasa serba salah. Jika sang direktur saja ikhlas membantu membiayai kasus tersebut, lalu apakah pantas ia menolak untuk mendedikasikan keahliannya? "Saya berharap kasus ini kamu yang menanganinya!" Alika tercenung. Badannya nyaris tidak bergerak. Matanya lama tidak berkedip. Napasnya tertahan di paru-paru. Hatinya bimbang untuk memilih antara menolak atau menerima. Yang bisa ia lakukan hanya melepaskan napas pelan-pelan melalui mulut dan tersenyum gamang. "Saya tahu kamu super sibuk!" Jacky memasang wajah memohon sambil menatap Alika lekat-lekat. "Tapi, hanya kamu yang cocok menangani kasus ini. Kamu paling berpengalaman dalam memecahkan misteri kasus orang hilang." Mimik memohon Jacky baru saja meruntuhkan keinginan Alika untuk menolak, meskipun ia sadar dirinya akan kewalahan jika nanti menangani tiga kasus sekaligus. "Bagaimana, kamu sanggup kan?" Jacky sebenarnya tidak tega tapi ia tidak punya pilihan lain. "Kalau kamu butuh tambahan asisten, nanti saya carikan." Alika mendesah perlahan. "Saya selalu enggak bisa menolak tugas dari bapak, meskipun secara jujur harus saya katakan bahwa jika menerima kasus itu maka saya nyaris tidak akan punya waktu untuk beristirahat." Jacky mengangguk paham. Wajahnya menyiratkan perasaan tidak enak hati sekaligus memohon. "Kamu berhak berkata tidak." Alika mengerjap. Seulas senyum tipis tersungging dari sudut bibirnya. "Saya terima kasus itu, tapi saya butuh asisten dari orang kita sendiri. Saya malas bekerjasama dengan orang yang belum memahami cara kerja saya." "Semua asisten detektif di kantor kita sudah memiliki job. Kamu tahu itu." Nada suara Jacky menyiratkan agar Alika memahami situasi. "Mau nggak mau kita harus nyari di luar." "Sebenarnya ada, jika bapak menyetujui!" Alika mengerjap. Sepasang alis Jacky terangkat bersamaan. "Siapa?" Alika terdiam sejenak. Ia menatap Jacky bimbang. "Bagaimana kalau Ezra?" Mendengar penawaran Alika membuat Jacky terdiam. Ia tidak menduga nama Ezra akan disebut. Office boy itu belum pernah berpengalaman sebagai asisten detektif. Itu membuatnya ragu apakah pilihan Alika akan tepat. "Saya tahu bapak ragu!" ujar Alika sedikit kecewa. "Apa alasan kamu memilih Ezra?" tanya Jacky dengan nada menggugat. "Karena saya yakin Ezra mampu bekerjasama dengan saya untuk menangani kasus baru ini!" Alika berkata mantap. Sama sekali tidak ada keraguan dalam hatinya. Jacky menyandarkan punggung ke sofa. "Kompetensi tidak bisa diukur hanya berdasarkan keyakinan saja." Alika mengangguk paham. "Saya tahu kapasitas Ezra. Saya percaya ia mampu. Bapak hanya perlu mempercayai saya saja." Jacky penasaran kenapa Alika seyakin itu. "Tolong yakinkan saya dalam satu kalimat bahwa Ezra mampu menjadi asisten kamu!" "Ezra telah belajar banyak tentang dunia perdetektifan. Memang, ia belum pernah terlibat secara langsung, tapi intuisi saya berkata ia lebih cocok menjadi asisten saya ketimbang asisten detektif lain yang sudah berpengalaman." "Itu dua kalimat!" keluh Jacky sambil terkekeh. "But it's ok. Saya tahu kamu tidak asal pilih. Jadi meskipun dalam hal ini kita beda pendapat, tetapi saya merasa perlu untuk menyetujuinya." Alika tersenyum senang. "Bapak tidak terpaksa bukan?" Jacky menegakkan badan, menatap Alika lekat-lekat. "Saya terpaksa atau tidak, itu tidak penting karena yang penting adalah kamu harus bisa memecahkan kasus ini sesegera mungkin." Alika mengagguk mantap. "Siap, Direktur!" "Tapi ada dua hal yang harus kamu pahami." Jacky menatap Alika lekat-lekat. "Pertama, Ezra hanya menjadi asisten kamu untuk kasus ini saja. Kedua, jangan lepas Ezra sendirian. Ia tanggung jawabmu, jangan pertaruhkan reputasimu hanya karena ingin memberi kesempatan pada Ezra untuk berkembang." Alika mengangguk paham. "Saya pun sebenarnya ingin memberinya kesempatan untuk menjadi asisten detektif, tetapi untuk saat ini situasinya belum memungkinkan. Paham?" "Paham, Pak!" "Kalau begitu, selepas makan siang nanti kita bahas kasusnya." "Siap, Pak!" *** Ezra sedang mengunyah cokelat ketika Alika menemuinya. "Eh, Kak Alika!" Ezra menelan kunyahan cokelat di dalam mulutnya. Alika melirik arloji di pergelangan tangannya sambil geleng-geleng kepala. "Kamu hanya butuh waktu kurang dari setengah jam untuk memfotokopi dan menjilid sembilan eksemplar berkas. Tapi kamu membutuhkan waktu hampir satu jam hanya untuk menghabiskan dua batang cokelat. Sepertinya selera makan kamu sedang bermasalah!" Ezra mengelap bibirnya menggunakan tisu yang sedikit belepotan oleh cokelat. "Kak Alika nggak pernah komplain sama pekerjaanku sebagai office boy, tapi cuma ngabisin dua batang cokelat saja cerewet. Hehehe!" Alika mendelik tapi samar-samar senyumnya tidak bisa ia sembunyikan. "Kamu itu masih jomblo, nggak ada yang ngingetin kamu buat sarapan tepat waktu. Jadi Kak Alika terpanggil buat memastikan kamu makan secara teratur." Ezra cengar-cengir. "Terima kasih, Kak Alika baik sekali." "Nggak usah basa-basi!" hardik Alika. "Habiskan cokelatmu. Setelah itu kamu ke ruanganku!" "Udah selesai kok, Kak!" ujar Ezra. Alika melirik sebatang cokelat tersisa yang ada di saku baju Ezra. "Itu apa?" Ezra meraba cokelatnya. "Ini buat sarapan besok." Alika mendengus. Gadis berusia berusia dua puluh lima tahun itu sudah menganggap Ezra seperti adik sendiri. Ia hanya setahun lebih tua dari Ezra. "Ya sudah, nggak papa. Aku cuman mau nanya sama kamu." "Tanya apa, Kak?" Alika menatap Ezra lekat-lekat. "Kamu pengen jadi detektif?" Spontan sepasang mata Ezra berbinar. "Maulah, Kak!" "Kalau begitu kamu harus belajar banyak dan terlibat langsung dalam sebuah penyelidikan. Oleh karena itu, persiapkan diri kamu karena mulai siang ini kamu aku jadikan asisten." Ezra terperanjat gembira. Seolah ia tidak percaya pada apa yang barusan didengarnya. Selama ini ia memang banyak membantu Alika tetapi bukan sebagai asisten. "Kamu sanggup?" "Sanggup, Kak!" jawab Ezra tegas. "Tapi hanya untuk satu kasus ini saja!" Alika menegaskan. "Setelah itu kamu kembali lagi ke pekerjaanmu semula." 

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Di Balik Topeng Pria Miskin

read
861.2K
bc

Aku Pewaris Harta Melimpah

read
153.6K
bc

Menantu Dewa Naga

read
177.4K
bc

Breaking the Headline

read
23.3K
bc

Aku Pewaris Keluarga Hartawan

read
146.2K
bc

Si Kembar Mencari Ayah

read
29.7K
bc

KEMBALINYA RATU MAFIA

read
11.8K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook