Chapter 2

1041 Words
PoV : Susan Kukira hari ini tidak akan ada yang ingat akan hari ulang tahunku. Tujuh belas april, sweet seventeen. Tante, Om dan Dima sepupuku sama sekali tidak mengucapkan apapun pagi tadi. Keluarga yang selama delapan tahun terakhir tinggal bersamaku. Atau kata lainnya, akulah yang justru menumpang hidup pada mereka. Jadi, wajar saja hari penting seperti ini mereka tidak ingat. Aku yang memerlukan mereka, bukan sebaliknya.   “Susan,” panggil Lalila tak jauh di belakangku. Sepertinya dia juga baru sampai. Tasnya masih dia gendong. “Oh, iya. Hari ini kamu ulang tahun ya? Aku lihat pemberitahuannya di facebook.”   Mendengar dia berkata seperti itu perasaanku tidak enak. Bagaimana tidak? Seisi kelas itu sulit diterka sifat-sifatnya. Kadang mereka terlihat baik, lalu tiba-tiba mereka merisak diriku. Sepertinya seisi kelas memang tidak bersahabat denganku. Harusnya aku menyembunyikan identitas kelahiranku di media sosial.   “Apa hari ini aku yang pertama mengucapkan?” tanya Laila. Aku menatapnya ragu sambil mengangguk. Dia kemudian tersenyum dan mengangguk pula.   Dari kejauhan, kelas kami sudah terlihat. Kecurigaanku mulai timbul dengan pintunya yang tertutup. Apa mereka menyimpan seuatu di atas pintu? Sehingga ketika aku membukanya air ataupun sesuatu itu akan segera tumpah padaku. Dan Laila ini adalah umpan agar aku tidak mencurigai itu. Benar! Aku harus berhati-hati.   “Lail, sepertinya pulpenku habis. Aku harus membelinya dulu ke koperasi. Kamu duluan saja.” Aku sengaja mengatakannya supaya dia pergi ke kelas terlebih dahulu. Beranikah dia membuka pintu itu?   “Oh, Ok.” Dia menjawabnya dengan begitu santai.   Aku berbalik kembali untuk berpura-pura membeli pulpen. Sesekali kutengok dia, apa berani membuka pintu atau tidak. Nyatanya kecurigaanku hanya sebuah kekosongan. Laila masuk tanpa ada sesuatu yang terjatuh dari atas pintu. Mungkin memang aku yang terlalu berlebihan. Terang saja aku seperti ini. Aku bahkan lupa sebanyak apa periksakan yang mereka lakukan.   “Kalau begitu istirahat nanti kita ketemu di gudang belakang.”   Aku tidak sengaja mendengar sebuah kalimat yang diucapkan Jovi pada siswa yang berada sendiri di kelas 3-A. Sepertinya dia ingin melakukan pembalasan atas kematian sepupunya.   Dua minggu yang lalu, berita atas meninggalnya seorang siswa di kelas 3-C begitu viral. Dia melompat dari gedung rumah sakit saat dirinya dirawat. Kejadian itu membuat aku mengenal nama mereka. Ya, mereka adalah Jovi, Fadli, dan Rosa. Padahal mereka tidak sekelas dengan diriku. Bahkan bukan temanku sama sekali.   Aku melirik alroji. Sudah pukul setengah tujuh lewat. Tapi, kenapa kelas 3-A masih sepi? Sehingga Fadli disatroni oleh Jovi. Aneh, aku bahkan mempertanyakan sesuatu yang bahkan tidak ada hubungannya denganku.   Kejadian yang menimpa Rosa itu benar-benar di luar dugaan. Kasusnya menyita perhatian banyak publik. Jadi, sepertinya wajar saja untuk diriku yang tiba-tiba antusias mendengar kata yang tadi kudengar.   Kuharap Jovi ataupun Fadli tidak menyadari jika aku dengan tidak sengaja mendengar kalimat itu. Siswa-siswi yang berlalu-lalang di sini juga bahkan tidak peduli dengan mereka, yang hanya berdua di dalam kelas.   Hanya aku. Ya, hanya aku. Selalu aku yang berbeda dari orang lain.   Ingatanku hampir saja lupa tentang hari ini. Bahkan ketika aku pergi, mungkin saja ini masih rencana mereka untuk merisak diriku. Aku mengurungkan niatku ke koperasi. Langkahku terhenti bersamaan ketika Jovi berdiri di depan pintu.   Aku mematung untuk sesaat, sepertinya wajahku juga mulai pucat memikirkan banyak dugaan tentang perisakan. Perlahan Jovi memutar pandangannya melihatku. Aku terkejut. Apa dia tahu jika tadi aku menguping kalimat yang diutarakannya?   Sesaat kami saling bertukar pandang. Dan itu membuatku semakin gugup. Hingga akhirnya aku memutar badanku untuk kembali ke kelas. Laila yang sudah masuk ke kelas pasti sudah mempersiapkan jebakan bersama yang lainnya. Gravitasi pada langkah kaki ini seolah semakin ringan. Tidak berlari tapi kecepatannya semakin bertambah.   Kudapati pintu kelas yang terbuka. Suasananya seperti biasa. Para gadis yang tidak jauh dari pembicaraan skincare, drakor atau pacar. Sedangkan para lelaki yang sibuk bermain game online atau tertidur di kelas. Aku cukup lega mereka tidak merencanakan perisakan di hari yang biasanya istimewa bagi sebagian orang.   *** Pelajarannya cukup membosankan. Bahkan seperti biasa pelajaran tidak banyak yang masuk ke otakku. Aku memutar-mutar pulpen di tangan. Tidak sabar menunggu bel istirahat berbunyi. Apalagi jika ingat dengan kalimat yang diucapkan oleh Jovi. Kebencian dirinya begitu melekat. Dan itu terlihat dari raut wajahnya saat mengucapkan kalimat tadi.   Dua minggu yang lalu Rosa meregang nyawanya sendiri dengan melompat dari lantai tiga gedung rumah sakit. Di hari pemakamannya Jovi tidak bisa mengendalikan emosi. Dia berkali-kali berteriak bahwa penyebab kematian Rosa adalah Fadli. Padahal depresi yang dialami oleh Rosa sama sekali tidak ada hubungannya dengan Fadli. Rasanya setiap gadis pasti sulit menerima ketika dirinya menjadi korban pemerkosaan.   “Aduh. Pelan-pelan, anjir.” Bima mendorong Cakra.   Loh, rupanya bel sudah berbunyi. Aku bahkan tidak mendengarnya saking asik melamunkan tentang mereka bertiga. Kira-kira, apa yang akan dilakukan Jovi pada Fadli? Apa aku harus melaporkannya pada guru? Hah, guru? Si konseling itu? Tidak. Aku akan lihat dulu apa yang terjadi di sana. Daripada melibatkan orang yang tidak berguna itu.   Langkah kakiku sempat berhenti di depan ruangan 3-A. Fadli masih terlihat di kelasnya. Itu artinya dia tidak ingin menemui Jovi mungkin. Eh, tunggu! Pikiranku berubah setelah melihat Fadli berdiri dan berjalan dengan langkah kaki yang begitu lemas. Aku mengikutinya pelan agar dia tidak menyadari. Rupanya Jovi sudah ada terlebih dahulu di gudang belakang. Dia sudah duduk menunggu kedatangan Fadli.   “Aku kira kamu tidak akan datang,” kata Jovi tersenyum. Loh? Dia tidak ingin memukul Fadli? Dengan senyum itu dia bahkan tidak terlihat menaikan emosinya.   “Ada apa sebenarnya, bro?” Wajah Fadli terlihat pucat.   “Bro? Masih minat mengatakan itu padaku? Rosa itu sudah tidak ada, Fad.”   “Maaf,” katanya terdengar lirih.   “Setiap malam aku bahkan masih merasa jika Rosa itu masih ada. Apa kamu tidak merasakan itu?” pertanyaannya membuat Fadli semakin pucat. Dia hanya terdiam tak mau menjawab. Lalu, Jovi kembali berbicara, “Di dunia ini yang peduli padaku itu hanya Rosa. Aku tidak tahu apa dunia ini masih berarti untuk diriku atau tidak.” Jovi menundukkan kepalanya. Tapi aku menyadari bahwa dia tersenyum. Senyum yang menurutku licik. Seolah sedang merencanakan sesuatu.   “Heh,” tangannya mengepal memukul d**a kiri Fadli pelan. Seperti layaknya para sahabat yang bercanda. “Aku terlalu berlebihan, ya. Kamu sendiri yang pacarnya bahkan tidak merasa hubungan kalian terikat."   “Kamu salah. Aku juga masih merasa jika Rosa itu masih ada.” Fadli memenggal perkataan Jovi.   “Apa kamu tahu apa yang dikatakan Rosa sebelum dia bunuh diri?” tanya Jovi.   “Apa?” aku menunggu jawaban itu. Fadli menggelengkan kepalanya. Sedangkan aku semakin penasaran oleh Jovi.   Perbincangan mereka semakin menarik. Membuatku enggan meninggalkan tempat ini. Semoga saja tak seorang pun sadar jika aku tengah menguping pembicaraan mereka. Aku sama sekali tidak ingin terlibat apa-apa. Meskipun, perlahan aku terseret mengetahui beberapa hal? Baiklah mari kita amati mereka lagi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD