2

1076 Words
... Cepat-cepat Cressentia menyelesaikan masakannya. Ia tidak ingin melewati waktu petang ini dengan sentakan-sentakan dari Bendict. ... Semak belungkar bergerak tak tentu disertai suara berisik gesekan daun dan ranting. Sepasang telinga panjang berwarna keabuan terlihat muncul dari balik semak. Tak lama kemudian, hewan berbulu keluar dengan lompatannya yang khas. Hidung kelinci liar tersebut bergerak-gerak. Di samping mulutnya terdapat sisa makanan berwarna orange. Dia melihat-lihat sekelilingnya. Tak lama kembali meloncat menjauhi semak sebelumnya menuju tempat lain. Kekehan terdengar dari atas pohon cendana yang berdiri kokoh di dekat semak tadi. Seorang ras Dryad bernama Franklyn sedang menikmati sarapan. “Jangan membuangnya sembarangan, Frank!” Bertnard menyugar rambutnya yang hampir saja terkena lemparan biji buah dari sahabatnya. Dia berada tepat satu dahan di bawah Franklyn. “Aku tidak membuangnya sembarangan,” bantahnya. “Lalu yang tadi?” Franklyn menyeringai. Tak perlu baginya menjawab pertanyaan retoris dari sang sahabat. Keduanya terdiam. Semilir angin meniup rambut mereka sehingga menjadi berantakan. Sesekali Bertnard membenarkan tatanan salah satu bagian tubuhnya tersebut, berbeda dengan Franklyn yang justru menyenderkan tubuh serta menutup mata. “Tidakkah kau tau?” “Tidak.” Franklyn memiliki konsentrasi tinggi untuk menjawab perkataan temannya. Meskipun dengan mata tertutup dan kesadaran yang hampir hilang, dia masih mampu untuk membuat sahabatnya itu kesal. Bertnard mendesis. Bibirnya menipis seiring waktu. “Apa kau tidak bisa menghormati orang yang sedang berbicara?” “Tidak jika itu kau.” Dengan kesal Bertnard menarik kaki kiri Franklyn yang menggantuk. Membuat si empu kehilangan keseimbangan dan jatuh. “Hei!” “Apa yang kau lakukan?” tanya Franklyn setelah berhasil mendarat dengan sempurna. Kaki kanannya ia tekuk dengan lutut mengenai dadanya sedangkan lutut yang satunya menyentuh tanah. Dia mendongak seraya menepuk-nepuk kedua telapak tangannya. “Awas!” Bertnard melesat turun dan mendarat di belakang Franklyn. Dia menangkap sebuah anak panah yang semula meluncur hingga hampir mengenai karibnya. “Refleksmu selalu bagus.” “Dan sikapmu selalu menyebalkan,” ucap laki-laki yang bertelanjang d**a tersebut. Franklyn tertawa sejenak. Frranklyn berdiri. Dia membersihkan ujung bawahannya yang mungkin saja terkena debu. Diikuti Bertnard, keduanya mulai berjalan menyusuri hutan. “Tetua selalu saja menugaskan kita untuk wilayah hutan ini.” Bertnard menunduk membiarkan Franklyn yang kembali memanjat pohon. Dia menangkap seekor kura-kura sebesar telapak tangan yang sedang memakan rumput. “Apa yang kau lakukan kali ini, Fanklyn?” tanyanya tanpa menatap lawan bicara karena terlalu sibuk denga hewan bertempurung yang ia bawa. “Manusia ada di dekat sini.” “Buah ini bagus untuk kesehatanmu, Pak.” Bertnard tersenyum memandangi tangkapannya. Suara hentakan tanah membuat Bertnard menoleh. Debu berterbangan bersama kesiur angin seiring loncatan Frankyn. “Dia masih muda.” “Tidakkah kau memiliki niat unik?” “Apa kau pikir itu mudah?” Fraklyn melanjutkan langkahnya. Dia sesekali meraih akar gantung dan meloncat dari satu akar ke akar yang lain. Bertnard menyusul tak jauh d belakangnya. Dia meninggalkan kura-kura dengan tempurung hijau itu di bahan pohon setelah memetik satu buah mangga untuknya. “Tapi sepertinya menyenangkan.” “Dengan panah yang siap membunuhmu setiap hari?” “Kau takut dengan sebatang panah?” “Kau lupa manusia memiliki akal untuk melindungi dirinya. Itu bukan perkara sulit sebenarnya. Tapi jalan aman lebih baik membatalkan niat.” “Bagaimana dengan dia?” Keduanya berhenti pada sebuah pohon Jati yang sedang meranggas. Tempat mereka cukup tinggi serta aman untuk mengamati daerah sekitar. “Apa kau bisa menjamin?” Franklyn mnyeringai. Dia memiliki mangsa empuk kali ini. Di bawah sana ada seorang gadis berambut hitam legam sedang menarik anak panahnya. Bertnard mengangkat sebelah alisnya. Dia menatap tidak yakin pada sahabatnya. “Sejak kapan kau ragu?” Sebelum ini dia tidak pernah ditanya pendapat oleh sahabatnya itu. Biasanya sebaliknya. “Kita dapat.” Franklyn meloncat dari pohon tempatnya mengamati dan meraih dahan pohon lain. Bertnard membiarkan saja karibnya tersebut. Dia hanya mau memperhatikan dari jauh. Bukan memperhatikan Franklyn, melainkan dua gadis berekor yang sedang bermain air di sungai. Cukup jauh dari tempatnya, tetapi masih sangat jelas bagi Bertnard untuk mengamati mereka. “Maih banyak tempat yang harus kita lihat.” Hampir saja Bertnard terjungkal. Tiba-tiba Franklyn duduk di sampingnya. Daun jati jatuh melewati keduanya. Sinar matahari mulai terik. “Cepatlah!” “Kau hampir membunuhku!” sentak Bertnard. Laki-laki yang memiliki hidung bangir tersebut kembali meloncat turun. “Bagaimana?” tanya Bertnard setelah berhasil menapak tanah. “Berhasil?” “Apa kau tidur tadi?” “Ras Huldra terlalu sayang untuk dilewatkan.” Franklyn mendengus. Temannya terlalu tergila-gila dengan ras yang selalu bermain air tersebut. “Kita bertemu di pohon kemarin.” Setelah berkata demikian, Franklyn meninggalak Bertnard. Dia berlari menuju bagian tenggara hutan perbatasan melaksanakan perintah dari tetua untuk menjaga wilayah mereka dari manusia. @@@ Embikan domba bersahutan dari tanah lapang membuat Cressentia membatalkan tarikkan anak panahnya. Dia berlari cepat menuju domba-dombanya. Memeriksa apa yang terjadi dengan ternak miliknya. Tak lama dia sudah sampai di tempat para domba. Matanya memandang sekeliling dan dibuat geleng-geleng ketika melihat tunangan dan seorang wanita—bawahannya—tertidur di bawah pohon mangga. Beruntung keadaan domba-dombanya baik-baik saja. Hanya dua di antaranya sedang kejar-kejaran. Sebelum melangkah mendekati kedua orang yang sedang tertidur itu, tangan Cressentia tergerak membenarkan busur yang ia gantungkan di pundak kiri. Dia kemudian mulai melangkah. Gerakan melambai daun apel terlihat dari bayangan yang terbentuk bergerak-gerak. Angin sepoi menerpa rambut legam yang ia gelung dan tusuk dengan sebuah ranting. Beberapa anak rambut yang bebas bergerak seiring tiupan angin. Cressentia mengambil topi Bendict yang semula menutupi wajah. Sinar matahari tepat mengenai wajah pasangannya tersebut. Membuat tidurnya terganggu dan akhirnya terbangun. “Siapa yang mengusulkan berburu kemarin?” tanya Cressentia. Bendict mengusap wajahnya. Dia belum memiliki kesadaran penuh. Matanya merah karena mengantuk. “Aku lelah, Cres.” “Kau membiarkan aku berburu sendiri? Di sini sudah ada Ignes yang menjaga domba kita.” Cressentia mundur selangkah ketika menyadari raut wajah tunangannya berubah lebih keras. Dia tidak berani menatap tepat pada Bendict yang kini terlihat berkali lebih menyeramkan. “Baiklah kau lanjutkan tidurmu. Aku minta maaf karena sudah menggangu.” Gadis itu menggenggam erat ujung busurnya. Kakinya bergetar seakan ada yang mengangkat tulangnya sehingga kapan saja bisa tumbang. “Aku pergi dulu.” Setelah itu dia berlari kembali memasuki hutan. Membiarkan Bendict kembali tidur. Mengganggu tidur Bendict bukanlah hal yang baik karena itu sama saja menyerahkan nyawa. Napas Cressentia putus-putus ketika sampai di hutan. Bukan karena elah berlari, tetapi karena takut dengan wajah Bendict. Urat pelipisnya terlihat lebih jelas, rahang mengetat dan wajahnya yng merah padam. Gadis itu mendudukkan diri di bawah sebuah pohon. Dia menyenderkan punggung pada batang pohon. Tunik berwarna putih yang terbuat dari bulu domba itu dia singkirkan dari bawah tubuhnya. Dia menarik anak panah dari wadah lalu memasangnya pada busur. Menarik karet busur bersama dengan anak panah tadi. Setelah itu dia mengarahkan sedikit ke atas dengan sasaran acak. Kemudian dia melepaskan tali busur dari tangan kanannya dan mebiarkan anak panah melesat dengan sendirinya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD