Part 2

1071 Words
Bara, pria yang berumur tiga puluh tahun itu merasa ada yang aneh ketika dirinya sedang berjemur di balkon kamar. Ia merasa seperti ada yang memperhatikannya. Namun saat ia menoleh, tidak ada siapa pun. Ia juga jadi kepikiran soal gadis yang ia temui di tangga tadi. Gadis yang sepertinya penghuni baru di rumahnya ini. Ya, rumahnya. Rumah besar ini sengaja ia jadikan kos-kosan khusus untuk karyawan kantor di Jakarta. Memang tidak banyak karena ini bukan kos-kosan umum yang bisa dimasuki siapa saja. Hanya karyawan rekomendasi tertentu yang bisa tinggal disini. Tentu dengan biaya cukup besar. Toh perabotan di rumah ini sangat lengkap dan bebas digunakan siapa pun. Sebenarnya rumah ini adalah rumah peninggalan orangtua Bara yang sudah meninggal tiga tahun silam. Kepergian orangtuanya yang begitu mendadak karena sebuah peristiwa yang tak pernah Bara kira sebelumnya. Ia masih tidak terima atas kepergian orangtuanya. Ayahnya yang menderita penyakit jantung tiba-tiba jadi kena serangan jantung mendadak hingga membuatnya tak bisa diselamatkan, begitu pun sang Ibu yang seperti menahan rasa sakit yang begitu dalam sejak kepergian Ayahnya yang akhirnya ikut tiada tepat setelah satu minggu kepergian sang Ayah. Kehilangan yang bertubi-tubi membuat Bara menjadi sosok yang dingin dan tidak peduli pada siapa pun. Ia hanya sibuk menghabiskan waktu dengan pekerjaan kantornya atau liburan sesekali ke club malam demi mencari hiburan. "Aku harus belanja mingguan nih. Sepertinya stok makanan di kulkas sudah habis. Padahal orang-orang sini jarang sekali makan di rumah, tapi kalo sudah akhir bulan begini biasanya mereka akan memanfaatkan dapur untuk memasak. Dasar manusia. Boros di awal, dan melarat di akhir bulan." Bara menggeleng-gelengkan kepalanya memikirkan para karyawan yang ngekos disini. Mereka suka sekali foya-foya dan makan enak ketika awal bulan, tapi menjelang akhir bulan... kalo gak indomie, ya telor ceplok. Syukur-syukur Bara selalu mengisi kulkas demi kebutuhan mereka. Bagaimana pun juga mereka bayar kos disini kan mahal. Jadi fasilitasnya harus bagus meski tidak mereka manfaatkan dengan maksimal. Bara turun dari mobil alphard-nya yang sudah terparkir di halaman sebuah supermarket. Seperti biasa, ia mengambil troli dan mulai menyusuri rak-rak bahan makanan serta buah-buahan. Tak lupa ia membeli beberapa cemilan dan minuman untuk mengisi kulkasnya yang hampir kosong. Saat sudah selesai dan memastikan tidak ada yang lupa, pria itu segera mendorong trolinya ke arah kasir. Namun gadis di depannya tampak begitu lama melakukan pembayaran sehingga ia hampir lima menit berada di belakangnya. Dia tampak mengambil sesuatu dari saku celananya tapi tidak ada apapun. "Yah, Mbak. Dompet saya ketinggalan," ucap gadis itu yang terdengar agak ketakutan. Mungkin juga malu. "Yah, gimana sih, Mbak? Ini udah di scan loh. Kalo dibatalin susah." Kasir wanita itu tampak cemberut dan terlihat sekali tidak suka dengan gadis di depannya. Bara sedikit mengernyitkan keningnya lalu menyadari jika gadis di depannya ini adalah gadis yang baru tinggal di kos-kosannya. Ia sangat ingat. Maka ia segera mengeluarkan dompet dari saku celananya. "Biar saya yang bayar. Dia satu tempat tinggal sama saya kok," ucapnya. "Sekalian disatuin sama struk belanjaan saya aja." "Eh?" Kasir wanita itu terlihat kaget dengan kedatangan Bara, apalagi wajah Bara yang sangat tampan dan suaranya yang ngebas. "Iya, Kak. Siap." Ia langsung menscan belanjaan milik pria itu. "Loh." Camila agak kaget dengan sosok pria yang ia lihat di tempat kosnya, pria yang juga membuat bajunya kotor semalam. "Maaf, Pak. Jadi merepotkan," ucapnya yang merasa sungkan. Rasa dendamnya pada pria itu sudah tidak ada sama sekali. Apalagi setelah pria itu membantunya hari ini. Bara hanya mengangguk kecil kemudian berjalan keluar dari supermarket dengan membawa dua kantung belanjaan dan diikuti oleh Camila. "Panggil saya Bara aja. Saya belum setua itu untuk dipanggil Bapak." Camila tersenyum kecil kemudian mengangguk. "Iya, Maaf. Saya Camila. Ternyata kita satu tempat tinggal ya." Bara mengangguk pelan. "Ya, kau tinggal di rumahku," ucapnya seakan menjawab pertanyaan Camila soal kenapa Bara malah tinggal di sebuah kos-kosan padahal dia punya mobil mewah. Harusnya dia bisa tinggal di apartemen kan. Camila jadi merasa tidak enak karena salah paham dengan Bara. "Iya. Maaf, saya pikir pemiliknya gak tinggal disana makanya saya gak bilang siapa-siapa, hanya ke pemegang kunci kamar aja dulu." "Ya, tenang saja. Lebih baik kau pulang bersamaku. Lantas bagaimana bisa kamu kesini tapi gak membawa dompet?" tanya Bara yang menatap ke arah Camila. Membuat gadis itu sedikit gugup. "Eh. Tadi pesen ojek online dan bayarnya pun non cash. Saya memang pelupa." Camila menggaruk kepalanya yang mendadak gatal. "Asal pas kerja nanti, jangan sampai jadi pelupa." "Eh?" "Saya Manajer di kantor kamu. Kamu yang akan menjadi sekretaris baru saya kan? Kita lihat, apa kinerjamu cukup bagus untuk menjadi sekretaris saya. Atau saya akan turunkan kamu menjadi staff biasa lagi." "A-apa?"  ............ Sepanjang perjalanan kembali ke rumah kosnya, Camila lebih banyak diam. Apalagi setelah ia tahu jika pria di sebelahnya ini adalah atasan sekaligus pemilik rumah kos yang ia tinggali. "Jadi, kenapa tiba-tiba kau menerima tawaran untuk pindah? Bukannya kau menolak mentah-mentah saat ditawari jabatan bagus dan kantor pusat?" tanya Bara yang memecah keheningan. Setahunya karyawan dari Malang yang direkomendasikan untuk mengisi posisi sebagai sekretarisnya menolak setelah sebelumnya Bu Diana resign karena ingin menjadi ibu rumah tangga seutuhnya. Walau beberapa hari sebelumnya ia sempat mendapat telpon dari Gio dan mengabarkan jika karyawan pindahan itu menerima tawaran dan langsung tanda tangan kontrak. Ia jadi penasaran kenapa tiba-tiba Camila menerima tawarannya setelah sebelumnya menolak dengan alasan terlalu jauh dari desa tempatnya tinggal. "Eh, itu... " Camila bingung bagaimana harus menjawabnya. Tidak mungkin ia bilang menerima tawaran kerja disini karena ingin move on setelah pernikahannya gagal, kan? Nanti jadi curhat dong. "Saya hanya mengira jika penawarannya sangat bagus untuk karir saya. Walau jauh dari tempat tinggal saya, tapi kan saya harus bisa keluar dari zona nyaman." Bara mengangguk-angguk mengerti. "Saya kira kamu pindah karena menghindari seseorang." Ia mengedikkan bahunya dan tetap menatap lurus ke jalanan di depannya. Camila menatap ke arah Bara dengan meneliti. Bagaimana bisa pria itu menebak dengan benar? Atau dia asal menebak saja? Tapi kok bisa pas? "Memangnya tadi belanja apa?" tanya Bara lagi. Sebenarnya ia paling malas mengajak ngobrol tapi ia juga tidak nyaman jika hanya diam-diaman dengan orang lain di dalam mobilnya. "Cuma keperluan mandi kok sama cemilan aja." "Udah ke dapur kos?" Camila menggeleng. "Memangnya kenapa?" "Disana banyak makanan. Saya selalu belanjakan setiap minggunya. Jadi kalo kau masak, ya masak aja. Bahannya ada di kulkas. Itu free alias fasilitas dari rumah kos milik saya." Bara menjelaskan panjang lebar. "Oh ya? Kebetulan sekali saya suka masak." Camila tampak antusias sekaligus beruntung karena ternyata tempat kosnya terdengar sangat nyaman. "Bagus lah. Daripada bahannya jadi busuk karena jarang yang masak." Diam-diam Bara mengulum senyum sembari melirik sekilas ke arah Camila yang tampak menatap ke luar jendela mobil. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD