PROMOTION?

569 Words
Seharusnya gue tadi enggak usah masuk kerja. Iya, kalau nenek moyang lo punya pohon duit yang tinggal petik sendiri, Kem! Enggak usah bingung. Itu suara malaikat dan setan dalam diri gue yang berbantahan. Dan enggak usah tercengang, karena pada dasarnya suara malaikat gue lebih nyelekit ketimbang setannya. Lo bingung? Gue juga. Yang gue tahu, sisi yang menyuarakan kewarasan gue lebih kurang ajar dibanding sisi sebaliknya. Mungkin untuk menjaga seonggok otak gue yang lebih banyak kotornya itu. Gue jadi melantur ke mana-mana, kan? Semua ini gara-gara Pak Arven—iya, itu nama bos di kantor gue. Dan yang lo sekalian kudu paham, sudah kodratnya bos itu diciptakan untuk menyengsarakan anak buah, salah satunya memberi masalah, beban pikiran atau apalah itu namanya. Kemarin, gue dengan percaya diri melangkah ke ruangannya untuk penilaian kinerja. Lo enggak perlu nerusin mendengarkan ocehan gue karena tebakan lo pasti sudah benar. Iya, gue gagal naik pangkat. Gagal bahkan sebelum gue mengutarakan pendapat. “Kemilau Hetami,” panggilnya waktu itu. Gue segera menegakkan badan dan berjalan seperti ‘wanita sukses’. Jangan tanya gue bentuknya gimana, yang jelas gue berusaha membusungkan d**a dan mengirimkan sinyal: gue siap menerima jabatan baru ini. “Ya, Pak?” Pasang senyum lima ribu watt. “Baiklah.” Dia berdeham sejenak. “Pada dasarnya, kinerjamu baik. Kamu sering tepat waktu. Kamu juga bisa memahami pekerjaan yang diberikan.” Tentu saja. Sebut saja gue Kemilau—eits, jangan coba-coba menyamakan kalimat gue seperti korban-korban p*******n yang disamarkan di media itu! “Kamu bisa bekerjasama dalam tim. Efisien. Pencapaian yang bagus.” “Terima kasih, Pak.” “Sama-sama. Dan setelah ini, bisa panggilkan Adipati Sagala?” Apa? Apanya yang dipanggilkan? “Ehm... Pak, apa ada yang kelupaan?” Please... please, bilang kalau di pojok bawah itu ada tulisan kalau gue direkomendasikan naik jabatan. Dan Pak Arven hanya lupa menyampaikan. “Bagaimana dengan promosi saya, Pak?” tanya gue lancang. Gue benar-benar berharap Pak Arven akan membuka dokumen penilaian dengan lebih teliti. “Kemi,” ucapnya. “Kamu belum siap untuk dipromosikan.” “Tapi, tadi kata Bapak, saya sudah mengerjakan segalanya dengan baik dan...dan—“ Sial! Gue kehilangan kata-kata. “Kemi, intinya adalah, kamu belum siap untuk posisi yang lebih tinggi. Kita akan lihat setahun ke depan, ya,” lanjutnya, dengan senyum merekah... yang membuat perasaan gue terjun bebas. Sakit. Gue sakit hati. “Tolong panggilkan Adipati Sagala, ya.” Gue tahu, gue memang jahat, sehingga di detik itu gue berdoa khusyuk: jangan sampai Saga naik pangkat! Gue mendesah lagi. Otak gue bener-bener jago soal memutar kenangan pahit. Dan duapuluh empat jam setelahnya—yaitu, hari ini—rasa kecewa gue enggak berkurang sedikit pun. Itulah makanya gue telat ngantor. Bukan karena gue malas, tapi emang sengaja. Iya, gue sengaja telat ngantor karena gue masih sakit hati! Kedengarannya menyedihkan? Tapi, lo sekalian juga mungkin aja ngelakuin hal yang sama kayak gue kalau dikecewakan. Enggak usah munafik dengan segala macam hati besar dan rezeki yang enggak bakal ketukar. Gue lagi sakit hati. Dan enggak mempan diomongin begitu! Mata gue jelalatan setelah membalas senyum Mila—resepsionis kantor—seadanya. Dan saat itulah mata gue menemukan dia. Seorang lelaki yang asyik menekuri ponselnya. Mengenakan kemeja berwarna hijau pupus, celana bahan dan sepatu pentofel berkilat. Alah... kandidat karyawan baru? Sepertinya bagus untuk dijadikan pelampiasan. Saat itu juga, gue bertekad untuk menghancurkan bayangan dia tentang indahnya bekerja di Arven Tanudiredja & Rekan, sebuah Kantor Akuntan Publik tempat gue mencari sesuap nasi sekarang!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD