Tiga

918 Words
    "Loh, ada apa ini anak Ibu pada akur? Sampe pulang bareng lagi." Sapa Ibu saat melihat kedua anak dan menantunya memasuki pekarangan rumahnya. "Assalamualaikum, Bu." Ucap Jihan sambil menyalami tangan ibunya dan masuk kedalam rumah. Didalam dia kemudian duduk disamping sang bapak     "Assalamualaikum, Bu. Sehat?" Tanya Imran seraya memeluk ibunya. "Waalaikumsalam, sehat, Le. Ayo, Nduk masuk nanti cucu ibu kedinginan." Kata sang ibu sambil menarik tangan menantunya masuk kedalam.     "Kenapa anak Bapak ini cemberut terus dari tadi?" Tanya Bapak Jihan. "Kepengen nikah mungkin, Pak." Celetuk Imran. "Apaan sih, Bang! Gak lucu!!" Sungut Jihan. "Tambah gak lucu lagi kalian itu. Udah gede juga masih aja berantem." Kata Ibu sambil menggendong Vira.     "Pak, Imran mau ngomong sesuatu sama Bapak, sama Ibu juga. Bisa?" Tanya Imran saat Jihan pergi kekamarnya. "Mau ngomong apa?" Tanya sang Ibu. "Begini, Ibu dan Bapak masih ingat dengan Pandu?" Tanya Imran. "Teman kampusmu di Bandung itu?" Tanya sang Bapak yang mulai tertarik dengan obrolan ini. "Ada apa?" Lanjut sang bapak.     "Begini, kan Bapak sama Ibu sudah kenal sama dia. Kebetulan dia sama orang tuanya lagi di Semarang. Jadi besok mau ngobrol sama bapak dan ibu." Jawab Imran. "Ada hubungannya sama Jihan?" Tanya bapak yang mulai bisa menebak kemana arah pembicaraan putranya ini. "Ada, Pak. Tapi si adek besok katanya mau pergi main." Balas Imran.     "Ya jangan bolehin main. Orang mau ada tamu. Bilang sama temenmu, besok bapak sama ibu bisa. Ya kan, Bu?" Tanya bapak pada ibu. "Iya, Pak. Jadi kamu sama istrimu nginep sampe kapan?" tanya Ibu.      "Lusa, Buk." Jawab Imran. "Temanmu itu pacar baru adekmu?" Tanya Bapak. "Bukan, Pak. Mereka nggak pacaran." Kata Imran. "Kamu gak lupa dengan sakitnya adekmu tahun lalu kan, Bang?" Tanya Bapak.     "Abang gak lupa. Tapi abang pastiin ke bapak, kalau lelaki ini lebih baik dari mantan adek itu. Abang kenal sama temen abang sedari kuliah. Dia baik, dan bertanggung jawab. Dia juga tau agama pak." Ucap Imran menjelaskan.     "Kita lihat besok, Bang." Kata Bapak sambil mengangguk.     "Ya sudah. Sana ajak istrimu istirahat. Adek juga disuruh istirahat." Kata Ibu.     "Iya buk, Imran permisi dulu pak, buk." Pamit Imran.     "Anak kita udah pada gede ya, Buk. Imran udah ada anak, Jihan mau dilamar. Dulu Bapak masih ingat Imran yang nyari Jihan kalau dia pulang sore - ..." kata bapak yang mulai mengingat tentang masalalu. Ada rasa hangat dihati Imran mendengar hal itu. Mungkin bapak merindukan dirinya dan Jihan. Sekalinya pulang, hanya sebentar.     "Adek, kata bapak, kamu nggak boleh pergi besok." ucap Imran ketika melewati kamar Jihan. "Kok gak boleh?" Protes Jihan. "Kan mau ada tamu." Jawab Imran. Jihan hanya bisa diam. Dia bisa apa kalau bapak dan abangnya yang bilang.     “Besok temenin adek lari pagi.” Kata Jihan pada Imran yang masih berdiri didepan pintu kamarnya.     “Siap.”     *****     Paginya setelah subuh, Jihan dan Imran berlari mengitari komplek rumah. Saat kecil mereka berdua sudah biasa balapan lari. Mereka adalah saudara satu ibu, namun beda bapak. Imran tahu adiknya sedang memendam sesuatu. Mungkin setelah lomba lari, Imran akan menanyakannya pada Jihan. Mereka berhenti ditaman yang ada didalam komplek. Mereka beristirahat disana. Dimata Imran, keadaan adiknya sama seperti beberapa tahun lalu, sama ketika meminta izinnya untuk pacaran dengan ketua tim musik yang aneh itu.     "Dek." Panggil Imran sambil menyerahkan minuman kemasan yang tadi dibelinya. "Makasih, Bang." ucap Jihan sambil menerima botol itu dan meminumnya. "Kenapa?" tanya Imran. "Kemarin adek udah sholat istikharah. Dan selalu Mas Pandu yang muncul dipikiranku." ucap Jihan sambil memandang taman.     "Selain Pandu kamu mengharap siapa?"     "Gak ada, aku gak ngarepin siapa - siapa."     "Ya udah. Nanti kamu tentuin pilihan kamu. Abang tau Pandu itu cowok yang gak sempurna. Tapi dia bisa ngelindungi kamu, seperti abang dan bapak ngelindungi kamu. Ya ... Kalau kamu udah jadi istrinya sih." ucap Imran yang hanya dibalas diam oleh Jihan.     "Yuk pulang apa masih mau lari lagi?" Tanya Imran.     "Jalan aja, pegel ini." Jawab Jihan.     *****     Kedatangan keluarga Pandu kerumah Jihan disambut dengan hangat oleh keluarga itu. "Han, buru keluar, atau gue yang masuk." ucap Siska sambil berbisik menahan geram. Mungkin jika Vira bersamanya dia akan menangis. Tapi suami pekanya itu memilih mengajak sang putri ke ruang tengah. "Jihaaannn." Desis Siska lagi.     Ckllek     "Iya, ada yang bisa dibantu?" Canda Jihan dengan  hanya mengeluarkan kepalanya di sela-sela pintu. "Loe gak pake make up?" hal itu menjadi perhatian Siska saat melihat sang adik ipar benar-benar terlihat polos. "Pake pelembab kok." Ucap Jihan santai.     Mendengar hal itu, Siska menghela nafasnya pasrah, "Sini gue dandanin. Tipis aja." Ucap Siska sambil mendorong Jihan memasuki kamarnya lagi. "Gak mau!" Kata Jihan keras. "Lo gila ya, mau ketemu calon laki sama calon mertua itu dandan dikit aja." Balas Siska sabar.     Jihan dan Imran beda tipis. Namun sama dalam dua hal, keras kepala dan akan bersikap keras kalau sedang kacau. Dengan sabar Siska mendandani Jihan, wajah polos Jihan sebenarnya sudah sangat cantik, mungkin ini gen dari ibu mertuanya. "Nah udah siap." Kata Siska puas melihat hasil riasannya.     "Sis." Panggil Jihan.     "Hm."     "Aku takut."     "Takut kenapa?"     "Kalau dia kaya-"     "Enggak! Mas Imran bilang ke gue, kalau Pandu kaya cowok berengsek itu, gak mungkin dia kenalin ke lo." Ucap Siska memotong perkataan Jihan. "Dah dah. Percaya sama abang lo. Apa lo tau, saat lo disakitin sama cowok gak jelas itu, abang lo sakit juga, Han. Makanya kenapa dia selalu tanya ke lo saat lo diluar kota, lagi ngapain tiap malem minggu. Itu karena dia gak mau kecolongan lagi." Sambung Siska lagi. "Turun yuk." Ucap Siska kemudian di balas anggukan oleh Jihan.     'kalau abang yang memilihkan, adek bisa apa?'  kata Jihan dalam hati.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD