Chapter 1

1035 Words
Kembalinya Maximilian Axel Halim ke Tanah Air. Putra pertama dari Martin Alex Halim itu merupakan lulusan Harvard University. Setelah kembali ke tanah air, pria yang kerap disapa Axel itu melanjutkan kerajaan bisnis keluarga. Sila tidak sanggup melanjutkan pencariannya mengenai Axel. Sepulangnya dari acara makan malam tersebut, Sila langsung mencari tahu informasi mengenai Axel di internet. Pasalnya ia bertanya pada Arman namun lelaki itu tidak mau memberitahu mengenai Axel. Alhasil Sila berusaha untuk mencarinya sendiri. Akhirnya ia menemukannya. Untung Sila masih ingat dengan baik wajah tampan dari lelaki itu. Hasil pencarian atas nama Maximilian Axel Halim itu menunjukkan foto yang sama dengan wajah lelaki yang tadi Sila temui. Jadi Sila sangat yakin ia tidak salah orang. Akan tetapi informasi yang ia dapatkan itu membuat dirinya benar-benar sangat frustrasi. Bagaimana tidak? Sejauh ini informasi yang Sila peroleh menunjukkan bahwa Axel adalah tipe lelaki idamannya. Lelaki itu sudah pasti sangat cerdas karena lulusan salah satu kampus terbaik di dunia. Lalu berasal dari keluarga konglomerat. Tubuhnya tinggi menjulang dengan pundak tegap yang terlihat sangat pelukable. Wajah lelaki itu juga sangat tampan. Kulitnya bersih dan Sila sangat suka aroma parfumnya. Axel rasanya benar-benar sempurna. Sila belum mengetahui sifat lelaki itu. Hanya saja setidaknya Axel telah mencakup beberapa kriteria lelaki idaman Sila. "Keluarga Halim dong!" Sila mendesah frutrasi ketika menyadarinya. Ia sangat tahu bahwa keluarga itu terkenal sebagai keluarga konglomerat di Indonesia. Lelaki itu benar-benar terlalu sempurna. Sangat-sangat sempurna untuk seseorang seperti Sila. Itu yang Sila pikirkan setiap kali mengetahui informasi mengenai lelaki itu. Sila memutuskan untuk menelpon Arman guna membicarakan tentang Axel. “Halo, Man. Sumpah. Ini cowok kayak gimana yang lo kenalin ke gue? Lulusan Harvard? Serius?” “Gilak sih udah tahu aja. Dikasih tau Axel?” “Enggak. Gue cari informasi sendiri. Dia tadi diem aja pas lo ke toilet.” Sila berbohong. Ia tidak ingin mengatakan bahwa Axel sudah melamarnya. Akan tetapi bukankah itu sangat tidak wajar? Itu gila. Baru bertemu satu kali. Benar-benar tidak saling mengenal. Berbincang pun hanya sedikit, lalu Axel sudah ingin menikahinya? Itu benar-benar sangat aneh. Bahkan terlalu aneh untuk lulusan kampus luar negeri ternama dan anak konglomerat. Apa benar-benar tidak ada yang mau menikah dengannya? “Iya. Emang pendiem anaknya. Gimana, Sil? Tapi dia baik banget loh. Gue kepikiran buat ngenalin sama lo karena kayaknya kalian cocok.” Sila sebenarnya tidak paham bagaimana bisa Arman memikirkan dirinya. Sila yakin lelaki itu memiliki relasi yang lebih banyak dan pasti masih ada gadis lain yang jauh lebih cantik dari dirinya. “By the way, Axel minta kontak lo. Boleh gue kasih nggak?” “Kenapa dia nggak minta sendiri tadi pas ketemu?” “Nah itu juga enggak tau. Gimana?” Sila sebenarnya merasa ini tidak perlu untuk diteruskan. Benar-benar sangat aneh. Akan tetapi dirinya juga merasa sangat penasaran. “Nggak boleh. Biar dia minta sendiri aja.” “Wow. Mantap juga lo.” Sebenarnya secara tidak langsung ini adalah bentuk penolakan Sila. Ia malas berurusan dengan lelaki bernama Axel itu. Jadi dirinya memilih untuk tidak memberikan kontaknya. Jika memang lelaki itu ingin memiliki kontak Sila, biar saja dia mengusahakannya sendiri. *** Selasa, 27 April 2021 “Atas nama mbak Sila. Ada kiriman untuk Anda.” Indro memasuki ruangan seraya membawa sebuah buket mawar yang sangat besar. Sontak hal itu membuat beberapa orang yang tengah bekerja pun menghentikan kegiatannya dan langsung memperhatikan Indro. Pasalnya ini pertama kali ada paket dengan buket bunga sebesar itu. “Bunganya gede banget, Ndro?” tanya Mika seraya menghampiri lelaki itu. “Iya nih. Buat Sila. Sil. Nih.” Sila sedang menggerakkan jemarinya di atas keyboard. Ia menghentikan pekerjaannya sejenak dan menoleh ke arah Indro. Lelaki itu memang membawa buket bunga yang sangat besar. “Buat gue? Salah orang kali.” Tidak mungkin orang seperti dirinya mendapatkan buket bunga seperti itu. Terlebih buket bunga mawar merah dengan dibungkus kertas warna hitam itu terlihat sangat elegan. Bunganya juga sangat banyak. Melingkar dengan begitu cantik. Harganya pasti mahal. “Lah. Dari pacar lo nggak sih?” Sila masih ingat dengan baik bahwa dia tidak memiliki pacar. Apalagi perihal dikirimi bunga. Sangat tidak mungkin. “Sila yang lain kali, bukan divisi ini.” Pasti setidaknya ada nama lain di kantor ini yang mirip dengan namanya. “Dear Pricilla Mahadewi. Nama lengkap lo ini.” Sila terkejut. Itu benar memang nama lengkapnya. “Pricilla Mahadewi yang lain kali.” Sila masih berusaha untuk menampikkan fakta bahwa bunga itu memang untuk dirinya. “Jelas-jelas ini buat lo, Sila.” Mika nampak gemas. Gadis itu mengambil bunga dari Indro kemudian membawakannya untuk Sila. “Gila sih. Keren banget Sila. Pacarnya romantis banget sih.” Sila menatap bunga yang diserahkan oleh Mika itu. Dirinya benar-benar masih merasa tidak percaya. "Kayaknya ini bukan buat gue deh." "Buat lo, Pricilla Mahadewi. Nih, kertasnya aja tertulis dengan sangat jelas 'Dear Pricilla Mahadewi'." "Tadi mas mas pengantarnya juga bilang katanya buat Pricilla Mahadewi yang umur 25 tahun,” sahut Indro. "Mas yang nganter bilang nggak dari siapa?" tanya Sila. "Udah gue tanya. Soalnya tumben kan ada kirimin model beginian. Katanya dari seseorang. Gue tanyain terus soalnya penasaran. Tetep keukeuh bilangnya dari seseorang.” "Cieeee..." Sontak ruangan itu mulai dipenuhi dengan senyuman orang-orang dan suara-suara 'cie'. Merasa penasaran, Sila menerimanya kemudian menatap kertas yang terselip di bunga itu. Ia menatap ke arah Mika terlebih dahulu. Mika dan Indro ternyata tengah menatapnya terang-terangan. Kedua orang itu seperti merasa penasaran dengan isi kertas yang terselip. “Ngapain? Udah balik ke meja masing-masing.” Mika dan Indro pun nampak begitu terpaksa untuk kembali ke kubikelnya. “Pacar lo siapa, Sil? Sumpah keren banget itu bunganya. Bunga mahal tuh keliatan. Pacar gue aja ngasih bunga cuma sekali setahun. Mana setangkai lagi bukan sebuket,” ujar Mika protes. “Tuh kan bener. Sila ternyata udah punya. Diem-diem punya pacar ya. Pantesan keliatannya happy terus,” ujar mbak Lina. “Bunganya gede banget loh. Jadi pengen juga,” sahut mbak Gea. “Nanti minta sama suami, Mbak.” Indro menanggapi. Sila memilih untuk tidak menghiraukan rekan kerjanya itu. Ia lantas membuka kertas yang ada. Detak jantungnya seketika berdebar kencang karena penasaran. Setelah membukanya dan membacanya, Sila benar-benar merasa terkejut. "Kenapa, Sil? Isi kertasnya apa?" tanya Indro yang paling kepo. can i get your contact? - Axel
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD