bc

Bukan, Kisah yang Harus Kamu Baca

book_age16+
723
FOLLOW
7.4K
READ
family
drama
comedy
Writing Challenge
humorous
campus
city
office/work place
small town
first love
like
intro-logo
Blurb

Di bawah remang cahaya langit dini hari, mendengar deburan ombak yang menyapa indra pendengar, Suara merenungkan nasib naasnya. Menjadi selingkuhan dalam hubungan yang dia percayai akan berakhir bahagia. Menyisakan trauma terhadap laki-laki di dalam hatinya. Niat bunuh diri itu tiba-tiba saja ada. Atas dasar itulah, langkah kaki membawanya ke Jembatan Lama, merenung dan membulatkan tekadnya untuk mengakhiri hidup segera.

Namun, semesta masih baik padanya. Ia dipertemukan dengan laki-laki cerewet dengan kalimat menusuk yang membuatnya menyurutkan niat mengakhiri hidup. Karena, masih ingat dengan dosa yang masih penuh.

Laki-laki ajaib itu adalah Aksara ….

Untuk kisah pelik yang memaksa dia menjadi pemeran utama. Membawanya pada perasaan yang dinaik turunkan, menjebaknya pada euforia seperti naik roll coaster. Membingungkan.

Dia yang jatuh cinta, balasannya adalah bagia.

Dan, itu sementara.

Dia diberi fakta, jelas menyakitkan untuknya.

Dia adalah pemeran sampingan dari cerita utama yang ingin dia selesaikan …

Dengan bahagia ….

Cover bye: Putri_graphic

chap-preview
Free preview
1. Nada Malam Hari
“Halo, Sua …,” sapa suara seseorang di ujung sana. Suara yang bergetar dan menyimpan banyak kemelut kebingungan. Suara mengernyit saat mendengarnya, ada apa dengan seseorang di balik telfon ini. Dia tahu, siapa sosok yang menelponnya. Sosok yang pernah begitu berharga di dalam hidupnya, sampai saat ini pun hal itu masih berlaku. “Iya?” balas Suara dengan nada yang tidak kalah bergetar. Terdengar hembusan napas panjang di seberang sana. “Saya mau mengakui sesuatu sama kamu, Sua.” “Apa?” “Jadi, sebelumnya maafkan saya, Sua. Tentang Yunia ….” Jantung Suara berdetak lebih kencang saat mendengarkan nama perempuan itu. Yunia Lamna Piranti, perempuan asal Lombok yang ternyata dijodohkan dengan kekasihnya, Pristio Prasasti, orang yang saat ini sedang menelfonnya. Bersama dengan suara yang bergetar di ujung sana. “Kalian jadi menikah?” tanya Suara dengan menggigit bibirnya sendiri. Menahan tangis agar tidak keluar saat itu juga. “Bukan begitu, Sua, maafkan saya ….” “Maaf apa?” “Saya sama Yunia sudah dekat sedari lama, sebelum saya mengenal kamu.” “Haha?” “Sua, saya bisa jelaskan semuanya.” “Menjelaskan apa, Tio?” “Yunia sudah kenal lama sama saya, Sua … Saya berkenalan sama dia sedari dulu, sudah amat lama. Namun, saat itu saya belum punya perasaan apa-apa untuk dia. Saya sudah bilang sama Bapak, apakah saya boleh menikah dengan orang luar? Tetapi, Bapak saya bilang kalau Mamak pernah berpesan sebelum meninggal, saya harus menikah dengan orang sini, Sua. Jadi, saya berharap kamu mengerti, Sua.” “Mengerti apa, Tio?” lirih Suara. Air matanya sudah tumpah ruah. “Mengerti kalau saya mencintai kamu, tetapi saya juga memiliki hubungan dengan dia, Sua.” “Hahaha …, kamu gila, ya? Kamu akan menikah dengan dia, lalu apa kamu pikir masih mencintai saya itu adalah sebuah kewajaran? Saya bilangin sama kamu, Tio, pantaskan dan teguhkan hatimu untuk satu perempuan. Dia adalah Yunia, perempuan yang selama ini sudah ada di dekat kamu,” terang Suara. Bibirnya bahkan sudah luka, ia gigit demi menahan isak tangis yang sudah mendobrak penuh pelupuk matanya. “Jangan hancurkan hidupmu dengan mencintai perempuan yang salah, saya.” “Maaf, Sua …. Maaf ….” “Apa maaf yang saya berikan untuk kamu bisa menyembuhkan rasa sakit yang saya punya, Tio? Mana ada perempuan baik yang bisa sukarela menjadikan dirinya sebagai selingkuhan. Ah, saya tahu, Tio, saya bukanlah perempuan baik-baik, ‘kan?” “Tidak begitu, Sua, tetap- ….” “Silakan kejar dia untuk kembali sama kamu, Tio. Jangan pernah pikirkan saya lagi.” TUT! Suara mematikan sepihak telponnya. Sudah tidak ingin mendengarkan penjelasan apapun dari seorang laki-laki yang begitu ia cintai di ujung sana. Laki-laki yang pulang ke desa asalnya atas modal yang sempat Suara pinjamkan. Mana ada perempuan paling bodoh lagi selain dia? “Enggak ada satu maaf pun yang bisa menghilangkan rasa sakit yang saya rasakan, Tio,” monolognya. Suara berdiri di atas tumpuan kakinya yang sudah bergetar, ia paksakan berdiri hanya untuk pergi ke balkon rumahnya. Merasakan hembusan angin malam dengan suara berisik pantai di malam hari mungkin cukup menenangkan. Setidaknya, suasana itu berefek untuk menemaninya menangis sesenggukan. “Selama ini, saya kira kalau perempuan itulah yang merebut kamu dari saya, Tio. Perempuan yang tiba-tiba dijodohkan denganmu oleh keluargamu.” Suara menyeka air matanya. Air mata yang berganti dengan bulir baru. “Hyuhh ….” Suara membuang kasar napasnya. “Tetapi, ternyata sayalah yang jahat di sini, sayalah perempuan yang menjadi orang ketiga di hubunganmu dengan dia. Lalu, kenapa kamu harus bohong, Tio?” *** “SUARA, BANGUN!” teriak perempuan bertubuh mungil, tingginya tidak lebih dari seratus lima puluh sentimeter itu, berusaha membangunkan sahabatnya yang dikabarkan tidak bangun-bangun sampai matahari sudah sejajar dengan puncak kepala. “Nanti kamu mati kalau bergulung di selimut terus!” serunya lagi. “Malam! Apa kamu gila, hah!” pekik Suara saat rambutnya ditarik dengan semena-mena oleh Nada –suara lebih suka memanggilnya Malam. “Ini rambut, bukan rumput, heh!” Nada mendengus kencang, “Terus, apa kamu pikir rambut kamu yang kasar ini tidak bisa kalau disamakan dengan rumput? Mandi sana! Sepatah hati apapun kamu, kamu enggak boleh jadi bau dan tampak gila begini!” omelnya panjang. “Malam, minggir!” seru Suara yang sedang berusaha lepas dari gulungan selimutnya sendiri. Dan, dengan sengaja dia mendorong Nada hingga terjengkang dari ranjang tidurnya. BRUK! “Ra, sakit! Jahat kamu!” seru Nada seraya meringis dan menggosok bagian belakang tubuhnya. “Kalau aku gegar otak, bagaimana?” Suara tertawa kencang, “Apanya yang gegar otak? Kepalamu enggak ada kebentur, tuh!” sangkalnya. Entahlah, dia merasakan amat beruntung memiliki sahabat yang bisa didorong-dorong seperti Nada ini, walau balasan yang akan didapatkannya pasti lebih dari ini. Nada bersungut-sungut untuk bangkit dari keterpurukkannya. “Ya, kalau kebentur, bagaimana? Mau kamu tanggung jawab?” Suara menahan tawanya agar tidak menggelegar lagi, “Heh, saya enggak menghamili kamu, ya!” Nada berdecih, “Sudahlah, Suara, kamu enggak perlu tertawa kalau ada sakit yang masih kamu simpan di hatimu itu. Kamu bisa membohongi siapapun, tetapi siapapun itu tidak termasuk saya.” Ekspresi Suara langsung berubah seratus delapan puluh derajat penuh saat Nada berhasil menyelesaikan kalimatnya. Sahabatnya –walau lebih sering ia siksa itu memahami betul apa yang dia rasakan walaupun dia belum mengatakan apa-apa. Air mata perlahan menetes di pelupuk matanya. “Sua, kamu enggak perlu sedih kalau akhirnya Tio benar-benar menikah dengan Yunia, kamu harusnya sadar kalau kamu keren ketika berhasil mengikhlaskan laki-laki itu untuk menikah dengan gadis lain,” ucap Nada panjang, lalu mendekat ke arah Suara saat sahabatnya itu beringsut ke ujung ranjangnya. “Termasuk kalau ternyata saya ini memerankan yang antagonis, ya?” tanya Suara penuh dengan pilu. Nada membelalakkan matanya, “Hah? Gimana gimana?” “Saat akhirnya saya tahu apa yang sebenarnya terjadi sebelum ini, Malam,” ujar Suara, tersendat dengan air matanya yang kembali luruh. “Saat akhirnya saya tahu rahasia apa yang sudah disembunyikan Tio selama ini. Saat akhirnya saya tahu, kenyataan sampah macam apa yang sudah saya lalui diam-diam,” lirihnya. “Hah, apa? Bagaimana?” tanya Nada lagi. Hei, dia bingung ini! Suara meringis memegang perutnya sendiri, “Aduh, nanti saya lanjut! Sakit perut melanda, nih!” “HUUU!!!!” teriak Nada saat melihat Suara berlari kocar kacir untuk mencapai kamar mandi yang ada di luar kamarnya. “Aku sudah pernah bilang waktu keluargamu membangun rumah ini, ‘kan? ‘Sua, minta kamarmu dibuatkan kamar mandi di dalam. Sudah tahu kamu beseran’, tapi kamu enggak turutin. Ya, mamam tuh lari-lari ke kamar mandi saat sudah hampir cepirit. Hehe,” omelnya. Omelan yang percuma karena Suara sudah jelas tidak mendengarnya. Nada mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru kamar Suara, kamar yang cukup luas, padahal prospek adanya kamar mandi di kamar ini sangat besar. Huh! Dan, yang ia dapatkan adalah mata yang perih saat melihat kamar sahabatnya yang berantakan seperti ini. “Ish, si Sua, enggak pernah punya kamar rapi yang bertahan sampai seminggu!” seru Nada. Ia beranjak dari tempat duduknya demi merapikan kamar Suara yang seperti kapal pecah ini. *** Hembusan angin pantai di sore hari membelai wajah keduanya. Menikmati senja yang akan hilang ditelan malam cukup untuk menjadi obat manjur dari patah hati. Walau efeknya hanya bertahan dalam beberapa waktu saja. Ya, tidak apa-apa, daripada tidak berefek sama sekali, ‘kan? “Jadi, selama ini dia selingkuh dan kamu adalah selingkuhannya, Sua?” tanya Nada saat baru saja selesai mendengarkan sahabatnya itu bercerita sembari mengeluarkan air mata. “Astaga astaga …,” ujarnya tak habis pikir. Suara mengangguk lemah, “Cerita cinta saya ini begitu kompleks, ya?” tanyanya akhirnya. “Baru kali ini saya mengalami cerita yang serumit ini.” “Serius kamu ini benar-benar selingkuhan?” tanya Nada memastikan. Sua menoleh demi memberi tatapan dalam ke mata sahabatnya itu. “Dia enggak pernah menolak perjodohan mereka, Malam.” “Jadi, selama ini dia bohong?” “Entah.” Suara mengedikkan bahunya lemah. “Sebelum kenal saya, dia sudah kenal dengan Yunia, bahkan jaraknya sangat lama sebelum dengan saya. Yunia sudah akrab dan dekat dengan keluarga Tio di Lombok, keluarganya Tio juga sudah dekat dan menerima dia,” terangnya lagi yang jelas mengulang sakit hatinya. “Dan, kamu hadir di tengah-tengah mereka?” Suara mengangguk lemah, “Tapi Tio dan Yunia hanya dekat begitu saja, enggak ada hubungan yang sampai membuat mereka terikat. Sampai akhirnya Tio bilang sama orang tuanya kalau dia mau menikah dengan orang di luar Lombok, tetapi di sana Bapaknya bilang kalau Ibunya berpesan supaya Tio menikah dengan orang sana saja, itu si Yunia. Dia menurut karena dia juga sudah kenal sama perempuan itu.” “Lalu?” Suara menarik napasnya dalam, lalu mengembuskannya perlahan. “Sampai akhirnya Tio ke Jawa dan bertemu dengan saya, saat saya kursus di Kampung Inggris itu. Kami dekat, ke mana-mana berdua, sampai akhirnya perasaan cinta itu muncul dan kami menjalin hubungan. Tanpa saya tahu, kalau di sana saya sudah menjadi seorang perebut.” “Kamu memangnya enggak tanya-tanya sama dia?” “Memangnya kalau saya bertanya, dia bakal jawab dengan jujur, Lam?” Nada mengangguk ragu, “Iya juga, ya. Hehe.” “Tragis sekali, ya?” tanya Suara random. “Dia sempat bilang ke Bapaknya kalau dia enggak mau menikah dengan perempuan itu, Lam, tapi Bapaknya bilang kalau akan malu karena keluarga sudah terlanjur tahu. Jadi, ini adalah alasan kemarin saya sempat dia jauhin tanpa sebab dan hati saya penuh tanya saya ini salahnya di mana?” sambungnya. Bersusah payah untuk tetap bersuara dengan benar, walau sesak di dadanya sudah melebar. “Kamu enggak salah, Suara.” “Sampai akhirnya dia berani bilang ke saya beberapa waktu lalu, dia cuma bilang kalau dia dijodohkan, tetapi dia enggak mau,” timpal Suara lagi. “Saat pengakuan itu dia bicarakan sama saya, saya pikir sayalah yang paling salah. Kalau sampai dia menikah dengan saya, artinya saya sudah memisahkan seorang anak laki-laki dari keluarganya. Tapi ternyata ….” Suara itu terpotong dengan isak tangis Suara. Dia sudah tidak mampu membendung sesak di dadanya sendiri. Sangat sakit saat kenyataan membawa kita dalam keserba salahan yang tidak menguntungkan. Dia menangis tersedu sedan. Nada mendekat ke arah sahabatnya itu, lalu mendekap erat Suara. Sebagai orang yang selama ini mendengar cerita betapa antusiasnya Suara dengan hubungan yang mereka jalani, juga betapa terpuruknya dia saat hubungannya ada di ambang kehancuran. Jelas, Nada amat paham bagaimana perasaan sahabatnya itu sekarang. “Suara, kalau kamu belum siap bercerita lebih jauh, kamu boleh berhenti menceritakannya di bagian ini, lalu kamu bisa menangis sepuasmu,” ujar Nada demi menenangkan Suara yang kian pilu suara tangisnya. Suara menggeleng lemah, “Biar saya menyelesaikan potongan cerita ini sama kamu, Malam. Saya enggak mau suatu hari kamu menagih saya hanya karena ada potongan cerita yang hilang.” “Kamu enggak apa-apa kalau sakit begini?” “Saya sudah sakit, bahkan sebelum hari ini ada, Malam.” “Aku cuma bisa mendengarkan kamu dengan baik, Sua.” Suara mengangguk, “Dan itulah yang paling saya butuhkan, Malam,” ujarnya, lalu perlahan tangannya yang bergetar menyeka air mata yang tidak berhenti mengalir. Suara menarik napasnya dalam-dalam, lalu mengembuskannya pelan. Berusaha menenangkan diri sendiri dengan cara yang seperti itu. “Tetapi sebenarnya dia ada hubungan dengan perempuan itu, hubungan yang ada sejak lama. Ternyata saat aku pulang ke Tarakan dengan membawa banyak perasaan sakit, saat itu juga dia makin dekat dan nyaman sama perempuan itu, seperti orang yang akan benar-benar menikah.” “Lalu, bagaimana dia bisa jatuh cinta sama kamu?” “Entah, mungkin satu tahun di Kediri dia merasa kesepian, membawa saya dalam hatinya supaya saya menamani dia di sana. Saat dia jauh dari calon jodohnya.” “Suara ….” “Malam, kamu enggak jijik sama perempuan yang ternyata dari awal hanya dijadikan tempat sampah ini, ‘kan?” ***

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

GADIS PELAYAN TUAN MUDA

read
465.7K
bc

Because Alana ( 21+)

read
360.6K
bc

Sweet Sinner 21+

read
879.7K
bc

Istri Muda

read
392.2K
bc

Rujuk

read
912.5K
bc

Marriage Not Dating

read
550.2K
bc

Air Mata Maharani

read
1.4M

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook