3-Perjodohan Aneh

1638 Words
“Informasi yang nggak penting. Lo bisa tinggalin gue? Gue mau belajar.” Seketika Noel melongo. Gadis macam apa yang sedang dia hadapi sekarang? “Tapi pesanan lo belum datang. Mending lo makan dulu.” Noel memberi saran. Revila sama sekali tidak menanggapi. Dia fokus membaca tulisan latin dari dosennya. Dia lalu membuka laptop dan membuka file proposalnya. Dari ekor matanya dia melihat lelaki itu masih menatapnya. “Ada sesuatu?” tanyanya kini sepenuhnya menatap lelaki di depannya. Noel menggeleng pelan. “Ya sudah lanjutkan,” katanya lalu beranjak berdiri. Dia kembali ke tempat duduk semula lalu menghabiskan jus alpukatnya. Sedangkan Revila telah sibuk merevisi proposal sendirian. Dua temannya entah ke mana. Sejak kelas berakhir Dee dan Lory entah berlari ke mana sampai sulit dihubungi. Revila menebak kalau dua teman sekelompoknya itu sibuk dengan urusan masing-masing. “Silahkan, Kak.” Revila mendongak. Dia menggeser kertas yang berserakan di meja. Lalu si Pelayan meletakkan pesanannya. “Terima kasih,” ucap Revila. Dia menyeruput jeruk hangatnya secara perlahan. Mungkin kebiasaan ini akan dinilai orang-orang aneh karena minum air hangat di cuaca Jakarta yang panasnya minta ampun. Namun, inilah minuman yang Revila suka. Dia tidak suka es, membuat amandelnya langsung kumat. Saat hendak memotong tenderloin, Revila melirik ke arah kanan. Dia mengernyit mendapati lelaki tadi terus menatapnya. Revila menggeleng pelan, tidak ingin meladeni. Dia merasa kalau lelaki itu tipe penggombal dan perayu ulung. Tentu Revila akan membatasi diri. Dari kejauhan Noel masih memperhatikan gadis yang sedang makan sambil sibuk dengan laptopnya itu. Dia heran, jika seperti itu bagaimana bisa si gadis menikmati makanan? Dari dulu, di keluarga Noel selalu diajari ketika makan harus fokus dengan makanan. Agar menikmati rasa makanan itu dan lebih bisa bersyukur. “Mas. Ada beberapa bahan yang habis.” Suara Bento tiba-tiba menginterupsi. Noel menoleh lalu mengambil kertas yang disodorkan kepadanya. “Memangnya yang biasa anter ke sini belum dateng?” “Belum. Telat dua hari. Saya takut kalau makin kehabisan bahan.” Noel mengangguk pelan. “Biar gue yang cari.” Setelah mengucapkan itu Noel berjalan keluar. Saat melewati meja Revila, dia melihat gadis itu menoleh. Noel lalu mengedipkan mata. Membuat Revila mendengus dan buru-buru mengalihkan tatapan ke laptopnya. “Tuh kan perayu ulung,” gerutu Revila.   ***   Sepertinya belanja kebutuhan dapur malam ini terancam gagal. Bukan karena toko langgangan tutup. Bukan juga karena Noel lelah sehingga menunda kegiatan belanja. Namun, lebih dari itu semua. Ini urgent dan bersifat memaksa, kira-kira begitu perintah sang mama. Akhirnya Noel memutar arah menuju mal. Dia celingak-celinguk mencari sang mama yang katanya ada di restoran Jepang. Namun, sejauh mata memandang Noel tidak mendapati keberadaan mamanya. “El!” Seruan dari belakang membuat Noel menoleh. Dia melihat sang mama berjalan dengan belanjaan di tangan. Noel membuang napas. Mamanya dari dulu masih sama. Doyan berbelanja. “Kamu baru sampai, El?” “Iya, Ma.” Mama Noel langsung menarik anaknya masuk. Wanita dengan rambut digerai indah itu mengedarkan pandangan, mencari sosok yang sudah janjian dengannya. “Jeng!” Seketika Noel waspada. Dia merasa ada sesuatu buruk. Jangan-jangan ini soal.... “Kamu mau mama jodohin.” Terjawab sudah firasat-firasat buruk itu. Noel langsung melepas rangulan mamanya dan bergeser menjauh. “Ma. Noel mau belanja kebutuhan kafe.” “Nanti. Kita temui temen mama dulu.” Pasrah, Noel mengikuti langkah mamanya. Dia lalu melihat dua wanita paruh baya yang saling cipika-cipiki dan saling memperhatikan penampilan masing-masing. Dengan malas Noel langsung duduk dan mengedarkan pandangan. “Mana anakmu?” tanya Mama Noel. Wanita berpakaian serba merah bata itu memperhatikan lelaki yang duduk di hadapannya. “Maaf ya. Anakku masih terjebak macet. Paling bentar lagi sampai.” Kalimat itu seolah menjadi angin segar untuk Noel. Dia menatapnya antusias. “Kalau gitu biar Noel tunggu di depan ya, Ma.” Sang Mama tampak keberatan. Namun, wanita satunya justru berkata lain. “Boleh. Dia pakai terusan merah, El.” “Siap.” Tanpa buang waktu, Noel beranjak dan berjalan cepat-cepat keluar dari restoran. “Bodoh amat sama cewek terusan merah. Yang penting gue bisa pulang.” Saat menuju eskalator, tidak sengaja ada gadis yang menabraknya. Refleks Noel menarik tangan gadis itu, hingga gadis itu tidak sampai terjatuh. Noel lalu melepas cekalannya dan tersenyum tipis. “Lo Noel kan?” tanya gadis dengan terusan merah mencolok itu. Noel memperhatikan wajah gadis itu saksama. Dia merasa wajah itu begitu asing. Noel punya banyak temen cewek dengan make up tebal. Namun, tak setebal gadis ini. Cantik sih, cuma makeup-nya too much. “Emm lo siapa, ya?” tanya Noel setelah beberapa detik hanya menatap lawan bicaranya. “Gue kan mau dijodohin sama lo. Sekarang lo ke mana? Gue ikut, ya.” Sekali lagi Noel menatap gadis di depannya. Oh ghost! Gadis di depannya mengenakan terusan berwarna merah, sesuai dengan ucapan mama gadis itu. “El! Ajak Emia jalan-jalan!” Seruan itu membuat Noel menoleh. Dia membuang napas melihat mama dan Mama Emia berdiri di depan pintu restoran. Ah, Noel sepertinya kalah cepat. “Yuk, El.” Emia langsung menggandeng lengan Noel dan mengajak jalan-jalan. Emia pernah melihat foto Noel. Lelaki itu terlihat tampan, tapi aslinya jauh lebih tampan. “Gue awalnya selalu nolak perjodohan. Tapi setelah ngeliat lo, gue yakin lo tulang punggung gue.” Mendengar kalimat itu Noel bergidik. Tulang punggung? Noel menggeleng tegas. “Sorry Gue Noel, bukan tulang punggung.” “Hahaha.” Kalimat itu justru diartikan bercandaan oleh Emia. Buktinya sekarang gadis itu mencubit pipi Noel gemas. “Gue seneng cowok yang lucu.” Noel geleng-geleng. Gadis ini bodoh atau pura-pura bodoh, sih? “Sorry. Gue harus pergi,” kata Noel sambil menarik tangannya yang digenggam erat oleh gadis itu. Wajah Emia seketika berubah. “Lo mau ke mana? Gue ikut lo.” Melihat wajah ngambek itu, Noel jadi bingung. Dia menggaruk belakang telinga lalu mengedarkan pandang. Di pikirannya sibuk mencari alasan. “Gue mau ketemu pacar gue,” ucapnya memberi alasan. “Lo kan belum punya pacar. Mama lo pernah cerita,” kata Emia tak kaget. Gadis itu tersenyum miring. “Gue tahu, lo mau bikin gue cemburu, kan?” “Enggak!” jawab Noel cepat. Dia lalu terdiam dua detik, setelah itu melanjutkan. “Gue sebenarnya punya pacar. Namanya Dean.” “Dean? Cewek mana?” Senyum Noel mengembang. Dia tahu cara mengusir gadis ini tanpa susah-susah. “Kok cewek, sih. Cowok dong.” Seketika Emia menutup mulut. Dia memperhatikan Noel saksama. Tidak menyangka jika lelaki di depannya salah jalur. Emia menggeleng tegas. “Lo nggak mungkin pacaran sama cowok, kan?” “Mungkin. Gue udah pacaran lima tahun sama Dean. Bentar lagi gue mau nikah sama dia,” jelas Noel. “Gue punya penyakit. Cuma Dean yang bisa nerima gue apa adanya.” “Lo!” Emia tidak bisa berkata-kata. Raut Noel berubah menjadi sedih. “Lo mau terima gue? “ “Enggak!” Emia berteriak lalu berlari terbirit-b***t. Di posisinya Noel terkekeh geli. Ternyata gampang juga mengusir gadis itu. Noel lalu berjalan cepat menuju basement sebelum rencana kaburnya gagal. Ah, harusnya jam segini dia sudah di rumah dan bersantai. Namun, malam ini dia harus belanja dulu, setelah itu ke kafe dan baru bisa bersantai. Setidaknya malam ini ada hiburan tersendiri. Tentu karena si Emia yang ketakutan sampai lari terbirit-b***t.   ***   Siang hari matahari begitu terik, bak jumlahnya lebih dari satu. Noel yang baru rapat di rumah salah satu client memutuskan mencari tempat teduh. Dinginnya AC tak membuat tubuhnya terasa segar, malah tubuhnya terasa lengket. Karena itu dia ada di sini, di sebuah taman komplek yang ramai dengan pengunjung yang berteduh di bawah pohon rindang. “Huh!” Noel menghela napas panjang sambil menggerakkan bagian dengan kemeja. Dia mengusap peluh yang menetes lalu menyandarkan punggung di sandaran kursi. “Ish!” Dengusan itu membuat Noel menoleh. Dia melihat gadis berkucir kuda tampak sibuk dengan ponsel. Sesekali gadis itu mencebik sebal. “Ada yang bisa gue bantu?” tanya Noel memberi penawaran. Gadis itu menoleh, tampak kaget lalu akhirnya ditutupi dengan seulas senyum. “Enggak kok. Maaf ya gue duduk sini. Nggak ada kursi kosong.” Sontak Noel mengedarkan pandangan. Dia melihat kursi yang rata-rata diduduki remaja yang sedang berpacaran. Noel lalu melirik gadis manis di sampingnya. “Lo ke sini nggak sama pacar lo? Secara tempat ini isinya remaja pada pacaran semua.” Rena menggeleng pelan. Dia memeriksa ponselnya yang sepi, tidak ada pesan balasan dari Ian. “Gue lagi berantem sama pacar gue.” “Udah biasa kayak gitu. Diemin aja cowok lo. Pasti juga nyari.” “Iya kalau nyari. Kalau enggak?” Senyum Noel mengembang. Gadis di depannya sangat manis dengan dua lesung pipi yang menjorok ke dalam ketika gadis itu berbicara. “Kan, lo manis. Palingan cowok lo yang nanti bakal nyesel.” Rena terkekeh pelan. Menurutnya lelaki di depannya ini pandai menghibur hati seseorang. “Kalau lo sendiri kenapa nggak sama pacar?” Noel menunjuk dirinya sendiri. “Gue? Pacar?” tanyanya yang langsung dijawab anggukan oleh Rena. “Gue jomblo. Bukan nggak ada cewek yang mau sama gue. Tapi gue masih males aja diribetin urusan pacar. Gue mau fokus berkarier,” Noel menjawab. Kalimat itu mengingatkan Rena dengan sang kakak. “Lo sama kayak kakak gue. Nggak mau diribetin urusan asmara.” “Oh, ya?” tanya Noel tampak tertarik. “Kakak lo umur berapa?” Rena menghitung dengan jari, lalu menatap Noel. “Dua puluh empat.” “Tuaan gue. Gue dua puluh enam.” Bibir Rena terbuka. Lelaki ini tampak santai tidak sibuk mencari jodoh. Padahal lelaki lain pasti mulai sibuk mencari. “Kakak lo cewek atau cowok, sih?” tanya Noel saat tidak ada percakapan lebih lanjut. “Cewek.” “Pasti cantik, ya. Secara adiknya aja manis kayak gini.” Gombalan Noel direspons tawa oleh Rena. Sungguh Noel kagum dengan gadis di depannya. Apalagi lesung pipi yang membuat gadis itu semakin menggemaskan. “Kakak gue lebih cantik daripada gue,” jawab Rena. “Lo mau kenalan nggak sama kakak gue?” Noel mengernyit. Apa gadis ini berniat mencomblangan dengan kakaknya? “Coba lihat mana wajah kakak lo.” Rena mengangkat ponsel lalu membuka galeri. Saat hendak menyerahkan benda itu ke Noel, getar di benda itu terasa. Lalu nama Ian muncul. “Halo.” Rena seketika berdiri dan mengangkat panggilan Ian. Noel mengalihkan pandang. Dia melihat langit sedikit mendung. Tanpa buang waktu dia langsung berdiri. Lebih baik segera kembali ke kantor. Dia tidak sedikitpun penasaran dengan wajah kakak gadis itu. Toh, perbincangan tadi hanya mengisi kekosongan saja. Noel tidak pernah betah ketika ada orang yang duduk di sebelahnya tapi tidak ada percakapan yang tersisa. Selepas menelepon, Rena kembali ke bangku. Namun, tempat itu kosong. Rena membuang napas panjang. Padahal dia ingin menunjukkan foto kakaknya ke lelaki tadi. Rena merasa lelaki itu baik dan bisa menghidupkan suasana. Cocok dengan kakaknya yang lebih terkesan pendiam. “Tapi kayaknya dia nggak jauh dari sini.” Rena seketika bangkit dan berlari menuju parkiran. Dari kejauhan dia melihat lelaki berkemeja itu masuk mobil. “Hei!” teriak Rena kencang tapi lelaki itu tetap masuk mobil. Rena mempercepat larinya lalu menghadang mobil yang hendak berbelok itu. Dia menyentuh bagian kap depan dengan napas terengah. Noel mengeluarkan kepala lewat jendela. Dia kaget karena gadis tadi tiba-tiba menghadangnya. “Gue boleh minta kartu nama lo?” Noel mengambil kartu nama di dashboard lalu menyerahkan ke Rena. “Ini.” Setelah itu dia tancap gas.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD