Chapter 2 - Jatuh Cinta

1670 Words
Pusing di kepala Aletta belum sepenuhnya hilang. Begitu pula dengan sakit di lehernya. Untuk sejenak, Aletta hanya terdiam dan meratapi nasib. Rasa sakit dan nyeri di leher dan kepalanya malah tambah membuat hatinya makin teriris. Bahkan Hema, cowok yang sempat dicintai Aletta dengan sepenuh hati tega berbuat sejahat itu? Mengapa hidup nampak begitu kejam pada Aletta? Sangkin terlalu larut dalam pemikirannya, Aletta sampai tidak sadar kalau ada Damian yang daritadi berdiri terdiam, menatapi dirinya. Damian terdiam sejenak menatapi Aletta. Heran, apa yang ada di pikiran perempuan yang ada di hadapannya ini. Aletta nampak ‘hilang’, tidak fokus. “Kamu beneran nggak apa-apa?” tanya Damian lagi. Pertanyaannya masih sama, menanyakan keadaan Aletta. Suara Damian mengalihkan perhatian Aletta. Membawanya kembali dari lamunannya. Ah, seandainya Damian tahu, bukan hanya fisik Aletta yang sedang tidak baik-baik saja. Hatinya pun sedang tidak baik-baik saja. “Eh, nggak apa-apa kok,” bohong Aletta. Aletta lanjut bicara, “Pelipis kamu baik-baik aja kan?” Damian tersenyum, “Iya. Cuman berdarah sedikit kok. Rumah kamu di mana? Biar aku anterin pulang.” Aletta tersenyum, “Nggak usah. Aku bisa balik sendiri kok. Aku pasti udah ngerepotin kamu kan?” Damian menggeleng, “Nggak, nggak apa-apa. Anggep aja sebagai rasa tanggungjawab karena aku hampir aja nabrak kamu.” Damian mengulurkan tangannya, “Damian. Kayaknya kemarin kamu belum kasih tau aku nama kamu, iya kan?” Aletta membalas uluran tangan Damian dan tersenyum, “Aletta. Makasih udah nolongin aku kemarin.” Cantik dan manis. Hal itu yang pertama kali terbesit dalam pikiran Damian saat melihat Aletta tersenyum. Setelah mengurus semua biaya administrasi, akhirnya Aletta menerima ajakan Damian. Selama di mobil, Aletta tak banyak bicara. Matanya fokus pada jalanan sepi yang ada di hadapannya, tapi pikirannya nampak kosong. “Aku boleh nanya nggak?” tanya Damian yang mulai penasaran. Aletta tersenyum, “Boleh kok.” Alih-alih bertanya ‘Kamu lagi ada masalah?’, Damian malah bertanya hal lain. “Kamu kerja di mana?” “Di kafe gelato, daerah Jakarta Selatan. Kamu tau gelato kan? Itu loh, es krim khas Italia,” jawab Aletta. “Oh, gelato. Tau kok. Yang rasanya manis kan? Manis, sama kayak kamu,” goda Damian. Pipi Aletta langsung merona, “Bisaan aja kamu .. Aku nggak manis kok.” Damian tersenyum, “Nggak. Siapa bilang kamu nggak manis? Kamu manis kok. Manis dan cantik.” Aletta tersenyum, “Makasih.” Jantung Aletta langsung berdegup kencang seketika. Padahal sudah begitu banyak orang yang bilang bahwa Aletta itu cantik dan manis. Ya, termasuk mantan kekasihnya, Hema. Tapi entah mengapa, hanya Damian yang mampu membuat jantung Aletta berdegup kencang karena dibilang cantik dan manis. Apa jangan-jangan Aletta sudah jatuh hati pada Damian? Damian kembali bicara, “Aku boleh mampir kan?” “Boleh .. Kalo kamu nggak keberatan,” jawab Aletta malu-malu. “Aku sama sekali nggak akan merasa keberatan kok. Kalo pegawai kafenya secantik dan semanis kamu aku rela kok dateng tiap hari,” goda Damian. Pipi Aletta malah tambah merona merah, “Bisaan aja kamu ..” Satu jam kemudian, Damian sampai di depan rumah Aletta. “Ini rumah kamu?” tanya Damian. “Iya .. Maaf kalo nggak sebagus yang kamu kira ..,” lirih Aletta. Rumah kontrakan Aletta dan ibunya memang tidak besar. Sangat amat sederhana malah kalau boleh dibilang. Hal ini yang terkadang membuat Aletta minder alias tidak percaya diri. Damian mengerutkan dahi, “Jangan bilang begitu. Aku temenan sama kamu bukan karena rumah atau harta benda kamu kok.” Hah? Aletta tidak salah dengar kan? Teman? Damian menganggapnya sebagai teman? “Makasih sekali lagi,” kata Aletta kikuk. Damian tersenyum, “Sama-sama.” Dengan perlahan, Damian bergerak mendekati Aletta. Jantung Aletta tambah berdegup kencang. Astaga, bahkan dilihat dari dekat Damian malah tambah ganteng. Sudah persis kayak model-model yang wajahnya suka melanglang buana di papan iklan fashion kelas atas. Reflek, Aletta menutup kedua matanya. Pipinya semakin merona, membuat Damian tambah ingin menyentuh pipi kemerahan yang mulus itu. Damian langsung tersenyum geli. Padahal niat Damian hanya mau membukakan seat belt yang dipakai Aletta. Tapi pasti Aletta berpikir Damian mau mencium bibirnya. Ya walaupun sebenarnya jauh di dalam lubuk hatinya, Damian juga ingin sekali mencium bibir Aletta. Tapi Damian menahan hasratnya. Aletta kan masih belum menjadi kekasihnya. Damian harus menahan hasratnya kalau tidak mau jadi bulan-bulanan satpam keliling. Bisa-bisa Damian malah dikira mau melakukan pelecehan seksual. “Aletta?” panggil Damian. Aletta membuka kedua matanya perlahan. Begitu kedua mata Aletta terbuka, terlihat Damian sedang tersenyum sambil memperhatikan dirinya. Duh, malu sekali .. “Aku balik dulu,” kata Aletta kikuk. Dengan terburu-buru, Aletta keluar dari mobil porsche berwarna hitam itu. Damian tidak tinggal diam, tapi ikut keluar mobil juga. “Aletta, tunggu!” kata Damian. Aletta menoleh, “Iya?” “Aku boleh minta nomor kamu?” tanya Damian. Boleh! Tentu saja boleh. Perempuan bodoh mana yang menolak PDKT sama Damian? “Boleh tap ..” Ucapan Aletta terpotong oleh perkataan Damian. “Beneran?! Makasih ya,” kata Damian dengan senyum sumringahnya. Damian begitu semangat, persis kayak orang yang baru menang nomor lotre. Padahal yang Damian dapat hanya nomor WA Aletta. Dengan semangat, Damian mengeluarkan ponselnya lalu menyimpan baik-baik nomor Aletta. Setelah itu Damian mengambil gambar pekarangan rumah Aletta. “Kamu ngapain?” tanya Aletta heran. Damian tersenyum, “Ngambil foto. Sengaja. Jadi kalo kapan-kapan aku main ke rumah kamu, aku inget rumah kamu yang mana.” Melihat pipi Aletta merona merah, senyum di wajah ganteng Damian melebar. Aletta nampak sangat manis. Tidak perlu pakai blush on lagi, pipinya sudah merona alami. Dan yang paling Damian suka, yang membuat pipi Aletta merona adalah dirinya. “Aku pulang dulu ya. Kamu istirahat gih. Besok kamu harus kerja kan?” kata Damian. Aletta tersenyum, “Iya. Kamu hati-hati di jalan.” “Besok kamu harus masuk kerja ya.” “Karena?” tanya Aletta bingung. “Karena besok aku mau dateng ke kafe tempat kamu kerja. Pokoknya aku nggak akan dateng kalo bukan kamu yang ngelayanin,” goda Damian. Pipi Aletta tambah merona. Duh, gara-gara Damian, bisa-bisa begitu masuk rumah ibu mengira Aletta terkena demam. Bagaimana tidak? Wajahnya pasti sudah merona merah semua. “Iya, bawel,” canda Aletta. ***** Setelah kejadian kemarin malam, Aletta benar-benar puasa ngomong sama Hema. Bahkan Aletta seolah-olah menganggap Hema tidak ada. Mungkin bagi Aletta Hema cuman hantu gentayangan. Bicara pun benar-benar seadanya. Paling urusan kerjaan saja. Dan untungnya hari ini kafe gelato tempatnya bekerja tidak begitu ramai. Aletta jadi semakin bisa menjauhi Hema. Ya meskipun Hema masih bersikeras untuk meminta maaf dan ngajak ngobrol. Hema malah bingung setengah mati. Yang ada dalam bayangannya, Aletta pasti akan sakit hati dan tidak semangat kerja. Tapi nyatanya? Senyum tak hentinya menghiasi wajah Aletta hari ini. Apalagi senyum di wajah cantik Aletta selalu melebar setiap kali Aletta mengecek ponselnya. Setiap kali ada w******p masuk, Aletta pasti akan buru-buru mengecek ponselnya. Untungnya hari ini si pak boss, Arif, sedang tidak berkunjung. Kalau pak boss tahu Aletta keseringan main HP, pasti bisa kena ceramah. Hema, yang melihat Aletta nampak sedang senang, malah teriris hatinya. Padahal Hema yang selingkuh, tapi mengapa hati Hema yang sakit? Mungkinkah Aletta sudah menemukan tambatan hatinya yang baru? Sorenya setelah selesai kerja, lagi-lagi Hema mencoba bicara pada Aletta. “Aletta! Tunggu! Aku mau ngomong sama kamu.” “Apa lagi sih?!” tanya Aletta yang kesabarannya sudah mulai habis. “Maafin aku, Aletta ..,” lirih Hema. “Aku lagi nggak pengen ngomong sama kamu, Hema. Boleh kan?” Hema masih tak mau kalah. Hema memegang kedua lengan Aletta, “Please, kasih aku kesempatan ..” “Nggak mau! Lepasin nggak?!” bentak Aletta. Hema tak kunjung mengalah. “Please, Aletta. Aku .. Aku masih cinta sama kamu ..” Cinta? Cinta apanya? Sepertinya Hema mulai sinting. “Lepas! Kalo kamu nggak mau lepas, aku bakal teriak!” ancam Aletta. Hema menyeringai. Kedua tangannya mulai meremas lengan Aletta dengan kasar, “Oke! Teriak sana! Teriak sepuas kamu! Nggak akan ada yang denger kamu!” Aletta mulai bergidik ngeri. Sepertinya Hema benar-benar sudah tidak waras. Tiba-tiba, seorang cowok menarik kaos Hema dari belakang lalu menghempaskan tubuh Hema dengan kasar ke lantai. Cowok itu, Damian. Damian memang tak sempat datang saat kafe masih buka, tapi Damian janji akan menjemput Aletta dan mengajak Aletta makan malam bersama. Dan Damian menepati janjinya. Damian menghadiahkan sebuah bogeman ke hidung mancung Hema. Hidung Hema yang mancung itu langsung berdarah. Rasanya pasti nyeri sekali. Ada rasa sedikit puas dalam diri Aletta begitu melihat Damian membogem hidung Hema. Aletta berterima kasih sekali pada Damian, karena sudah bersedia membogem Hema. Karena ingin sekali rasanya Aletta membogem Hema saat Aletta melihat dengan mata kepalanya sendiri kalau Hema selingkuh. “Kalo dia bilang suruh lepas ya lepasin! Jadi cowok maksa amat si lo?!” damprat Damian. “Siapa lo, hah?! Ikut campur aja!” damprat Hema yang masih tidak mau kalah. “Anjing! Nggak usah bacot! Sana lo!” Begitu tangan Damian melayang lagi, siap memberikan wajah Hema bogeman yang lain, Hema langsung bangkit berdiri dan berjalan dengan langkah terhuyung. Meninggalkan Aletta dan Damian berduaan. Damian langsung mendekati Aletta dan menangkupkan wajahnya. “Kamu nggak apa-apa kan? Kamu nggak diapa-apain sama dia kan?” tanya Damian khawatir. Aletta tersenyum tipis dan menggeleng, “Nggak kok.” Damian memeluk Aletta dan mencium pucuk kepalanya, “Maaf, aku telat. Tadi jalanan macet. Ada kecelakaan di jalan.” Untuk sesaat Damian dan Aletta berpelukan. Kini bukan hanya Aletta yang jantungnya berdegup kencang, tapi juga Damian. Apakah ini yang dinamakan cinta? Aletta melepas pelukan Damian dengan kikuk, “Nggak apa-apa kok .. Kamu sempet dateng aja aku udah seneng.” “Cowok yang tadi itu siapa? Kenapa dia kasar sama kamu?” tanya Damian. “Nanti aku ceritain semuanya. Tapi jangan di sini.” Ah, iya. Damian baru ingat kalau dia ngajak Aletta makan malam hari ini. “Kamu mau makan apa? Di restoran mana?” ajak Damian. Aletta tersenyum, “Nggak perlu di restoran kok. Di warung kaki lima juga aku udah seneng.” Damian membalas senyum Aletta, “Ya udah.”  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD