Bab 2

1504 Words
Aku terpaksa mengikuti keinginan Shantie untuk hadir di acara makan malam perayaan ulang tahun Mami jika tidak mau dianggap anak durhaka, setelah menyelesaikan rapat membahas pembukaan pabrik baru di daerah Bogor dengan klien, aku pun memutuskan untuk pulang ke rumah menjemput Shantie dan anak-anak. "Selamat sore Pak," sapa Pak Rustam dengan ramah sambil membukakan pintu mobil, Pak Rustam merupakan supir pribadi yang selalu setia mengantarku sejak kecil sampai aku sebesar ini, aku sangat mempercayainya dan selalu memberikan kebebasan untuk mempergunakan mobil kalau aku tidak memakainya. "Sore Pak, antar saya jemput Ibu dan anak-anak," balasku dengan senyum tak kalah ramah, Pak Rustam mengangguk dan langsung masuk ke dalam mobil, aku melepaskan dasi serta kancing kemeja yang membuat leherku sesak. "Istri Bapak sudah sehat?" tanyaku tentang kondisi istrinya, tadi pagi Pak Rustam minta izin datang terlambat karena mengantar istrinya yang sedang sakit ke rumah sakit. "Aduh gimana ya bilangnya sama Bapak, sebenarnya..." dia menghentikan ucapannya dan menggaruk kepalanya yang sudah mulai memutih. Terlihat jelas di wajahnya kebimbangan untuk berbicara denganku, "sebenarnya istri saya tidak sakit, Pak. Sebenarnya saya malu sama Bapak, seumur hidup saya kerja sama keluarga Bapak mungkin baru kali ini saya berbohong" sambungnya dengan nada malu. "Ah santai Pak, setiap kebohongan pasti ada alasan. Saya tidak akan marah," balasku menenangkannya. "Itu ... istri saya kabur dari rumah, Pak," ujarnya dengan helaan nafas berat, aku kaget mendengar ucapannya, lalu dia tertawa malu sambil kembali menggaruk kepalanya, "mungkin dia malu punya suami bandot tua seperti saya, maklum usianya saja seumuran Bapak. Saya terlalu bernafsu menikah dengan wanita muda dan mengacuhkan kata-kata orang tentang perangainya yang buruk" sambungnya lagi. Pak Rustam memang telat menikah. Hidupnya lebih banyak dihabiskan menjadi supir keluarga, baru lima tahun yang lalu dirinya akhirnya berumah tangga dan kini semua itu hancur karena wanita itu lari. "Sabar Pak, wanita memang menyebalkan," aku menepuk bahu Pak Rustam dan kembali menyandarkan tubuhku ke kursi sambil mengkhayalkan Shantie, Arga dan Angel melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan istri Pak Rustam, pergi dan tidak akan kembali. "Saya tidak akan mencari lagi, biarkan dia pergi sesuai kehendaknya," balas Pak Rustam. Saya akan melakukan hal yang sama, sekali Shantie dan anak-anaknya pergi. Maka pintu rumah selamanya akan tertutup untuk mereka, dan aku bisa memulai hidup baru tanpa mereka. Tuhan, akupun ingin seperti Pak Rustam, kapan Engkau kabulkan doaku! rutukku dalam hati. **** Aku menghela nafas kesal saat melihat penampilan Shantie yang ala kadarnya saat menungguku di lobby apartemen bersama Arga dan Angel. Tidak ada gaun, tidak ada make up. Hanya kaos hitam dan celana jeans belel berwarna senada dengan kaosnya. Tidakkah dia berpikir untuk sedikit merias diri saat pergi denganku. Andai aku membawanya jalan ke mall mungkin banyak orang yang akan mengatakan Shantie adalah baby sitter bukan istri River Rivanno Gautama. "Masuk!" perintahku. Arga memilih duduk di samping Pak Rustam sedangkan Shantie dan Angel duduk di sampingku. "Mommy duduk di sebelah Daddy saja ya, Angel duduk di tepi," pinta Angel. Shantie tidak menolak atau membalas ucapan Angel. Dia masuk dan duduk di sampingku, tubuh kami bersenggolan dan aku menghindarinya sebisa mungkin. Sedikitpun aku tidak menatapnya dan lebih memilih menatap jalanan yang terasa indah dibandingkan dirinya. "Maaf Pak, kita mau kemana ya?" tanya Pak Rustam. "Rumah Mami, tapi sebelum itu singgah dulu ke butik langganan Mami, Pak Rustam tahukan?" Pak Rustam mengangguk dan mulai melajukan mobil menuju butik langganan Mami. Mau tidak mau aku harus merubah penampilan Shantie, mau ditaruh di mana mukaku kalau membawa Shantie ke rumah mami dengan penampilan seperti ini. "River..." panggilnya, aku melihatnya dengan tatapan datar. Aku menarik tangannya agar mendekatiku, aku mengarahkan wajahku ke telinganya dan mulai mengucapkan kata-kata kejam kepadanya dengan sangat pelan agar Pak Rustam dan anak-anak tidak mendengarnya. "Sampai kapan kamu bertingkah konyol seperti ini, lihat penampilan kamu. Apakah pantas istri River Rivanno berpakaian seperti ini saat menghadiri acara ulang tahun Mami, pikir pakai otak bukan dengkul!" caciku dengan suara tertahan. Setelah itu aku melepaskan pegangan di tangannya, aku melihat matanya memandangku dengan berkaca-kaca. Nangis! Mewek! Dasar wanita lemah! "Maaf River, aku pikir makan malam ini bukan acara resmi makanya aku..." ujarnya membela diri. "Aku tidak peduli mau resmi atau tidak tapi jika sedang bersamaku tolong bersikaplah sebagai wanita anggun dan terpelajar," balasku dengan suara masih sangat pelan, dia mengangguk dan menundukkan wajahnya sambil memainkan ujung kaos dengan tangannya. Suasana kembali hening sepanjang perjalanan. "Pak sudah sampai," ujar Pak Rustam memberitahuku, aku membuka pintu dan langsung turun. Begitupun Shantie dan anak-anak. Aku meninggalkan mereka dan memilih masuk duluan ke dalam butik yang menyediakan baju wanita dan juga anak-anak. "Selamat datang Pak River," sapa penjaga butik dengan ramah, aku membalas dengan senyum lalu mulai memilih gaun yang pantas dikenakan Shantie, "ada yang bisa saya bantu, Pak?" Tanya pelayan lainnya. "Saya mencari gaun untuk dipakai istri saya," aku menoleh dan melihat Shantie terlihat tidak bersemangat memilih pakaian yang akan dikenakannya, "untuk dia," tunjukku ke arahnya. Pelayan itu mengangguk dan mulai mencarikan gaun untuk dikenakan Shantie. Aku memilih menunggu di ruang VIP sambil menyelesaikan pekerjaan yang dikirim sekretarisku melalui email. Sepuluh menit berlalu dan pintu ruang VIP terbuka, aku melihat pelayan tadi masuk diikuti Shantie yang sudah berubah dari itik buruk rupa menjadi wanita anggun dengan gaun baby pink melekat di tubuhnya. Oke fokus River, secantik apapun Shantie tidak akan merubah keinginan kamu untuk lepas dari ikatan pernikahan ini. "River ... aku sedikit tidak nyaman dengan gaun ini," ujarnya sambil berusaha menutupi pahanya, gaun ini memang terlalu mini. Aku memberi kode agar pelayan itu keluar dari ruangan ini, setelah pintu tertutup akupun berdiri dan mendekati Shantie, aku berhenti tepat di depannya dan mengarahkan tanganku untuk mengunci pintu ruangan ini dan mematikan lampu. "River..." "Lakukan tugas kamu sebagai istri," aku semakin mendekatinya dan menarik tubuhnya agar mendekat. Aku laki-laki normal dan butuh tempat pelampiasan nafsu, Shantie di mataku hanya sebagai teman tidur, tidak lebih. Shit! bodoh! Aku mengutuk kebodohan yang lagi-lagi selalu tidak bisa menahan diri untuk menyentuhnya saat dia terlihat cantik di mataku. Tiga bulan aku tidak menyentuhnya dan hanya karena gaun sialan itu pertahanan tiga bulan ini akhirnya runtuh. "River, tadi itu..." "Bersihkan diri dan kita harus segera ke rumah Mami," ujarku sambil keluar dari ruang VIP dan meninggalkan dia yang masih duduk di sofa dengan penampilan acak-acakan. Aku melihat Arga dan Angel masih sibuk berlarian ke sana kemari. "Daddy, kapan kita kerumah Grandma?" tanya Angel dengan napas terengah-engah. "Soon," balasku singkat dan memilih menunggu Shantie di dalam mobil. Tak lama Shantie keluar dari butik dengan memakai kembali baju lusuhnya, ya lebih baik dia terlihat lusuh di mataku daripada terlihat cantik. Tangannya memegang Paper Bag berwarna coklat bertuliskan merek butik. Mungkin isinya gaun baby pink yang sudah robek karena ulahku tadi. **** Seperti biasa Mami lebih terlihat antusias menyambut kedatangan Shantie dan anak-anak dibandingkan menyambutku, tatapannya sangat sinis seakan aku ini menantu bukan anaknya. Aku acuh dan memilih menghempaskan tubuh di sofa sambil mencoba menutup mata karena rasa letih. "Maaf ya Mi, kami datangnya telat dan penampilan Shantie seperti ini." Ya berbasa basilah agar Mami tidak merecokiku dengan pertanyaan tentang hubugan kami. "Ah nggak apa-apa kok nak, di mata Mami kamu selalu cantik... hanya orang bodoh dan t***l yang tidak bisa melihat kelebihan kamu," ujar Mami menyindirku, ya ya ya aku bodoh dan t***l karena tidak bisa melihat kelebihan yang bisa dia tonjolkan dibalik penampilannya yang ala kadarnya itu. "Ah Mami, oh iya Mami masak apa?" "Eits tunggu dulu... kenapa mata kamu bengkak, tangan kamu memerah. Jangan bilang River KDRT ya?" aku langsung membuka mata dan melihat ke arah Mami dengan tatapan panjang, begitupun Mami yang menatapku penuh kecurigaan. "Mi, sejelek itukah aku di mata Mami sampai tega menuduhku melakukan KDRT, tanya ke dia... pernahkah aku memukulnya?" tanyaku membela diri. Aku melihat Shantie mencoba menenangkan Mami dengan menggelengkan kepala. "River nggak pernah pukul aku Mi, mataku bengkak karena semalam kurang tidur dan tangan ini merah karena semalam..." Mami mencoba menghentikan bualan Shantie seolah tadi malam kami menghabiskan waktu dengan bercinta. "Ya ya ya," Mami meninggalkan Shantie dan mengajak anak-anak menuju kebun belakang untuk mempersiapkan acara makan malam, aku berdiri dan menarik tangan Shantie menuju kamarku dulu. Aku menatapnya dengan tatapan penuh kebencian, pernikahan ini bagai neraka bagiku dan rasanya aku tdiak sabar untuk lepas dari mereka bertiga. "Teruslah bersikap seperti istri teraniaya dengan menunjukkan wajah merana dan terluka agar Mami semakin membenciku!" ujarku dengan nada keras. "Maaf, aku tidak pernah bermaksud seperti itu River," ujarnya membela diri. "Nggak ada maksud? Lihat mata kamu! Apa alasan kamu menangis! Apakah aku memperkosa kamu? Apakah aku tidak berhak menyentuh kamu?" tanyaku dengan nada tinggi, dia menggeleng lalu kembali menangis. "Berhenti menangis! Bukan airmata yang aku butuhkan saat ini tapi jawaban!" teriakku tertahan agar Mami tidak mendengar pertengkaran kami. "Maaf," dia menunduk dan enggan menjawab pertanyaanku, "maaf aku menangis setelah kamu menyentuhku, maaf aku tidak bisa menahan airmata karena akhirnya kamu bersikap seperti suami pada umumnya, maaf karena aku semakin yakin jika kamu tidak membenciku ... River apakah kamu tahu? Setiap malam aku berdoa Tuhan mengembalikan kamu seperti dulu, mengembalikan River yang meski kaku, dingin tapi tidak pernah menatapku dengan tatapan benci. Tadi di butik itu, saat kamu menyentuhku aku pikir Tuhan mengabulkan doaku, aku tidak melihat kebencian di mata kamu," dia tertawa sinis. "Tapi nyatanya doaku tidak kunjung dikabulkan Tuhan," lagi-lagi dia tertawa sinis. Tok tok tok "RIVER KELUAR!" arghhh penyelamatku akhirnya datang, Whisnu. ****
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD