Bab 1

1818 Words
                 Berkali-kali aku mencoba untuk membiasakan diri melewati lorong sepi ini tapi berkali-kali juga rasa takut itu menyerangku. Bertahun-tahun lorong ini aku lewati dan sampai detik ini ketakutan itu masih menggangguku. Membuat dadaku terasa sesak dan kaki ini serasa ada beban berat agar aku tidak lagi berjalan menyusuri dinginnya lorong ini.                  "Mbak Wida," suara yang tak terlalu asing memanggil namaku. Suara yang sudah aku dengar bertahun-tahun lamanya. Aku memutar tubuhku ke arah suara itu. Rasa takut dan cemas langsung aku kubur rapat-rapat. Wajah takut tadi langsung mengeluarkan senyum riang, seolah rasa takut itu tidak pernah ada di hatiku.                    "Hai sus," sapaku dengan ramah. Suster Maria, suster yang menyapaku tadi pun menghampiriku dan menyerahkan selembar kertas bertuliskan tagihan yang seharusnya sudah aku lunasi dua hari yang lalu. Tagihan yang setiap bulan menyekik leher ini, tagihan yang mau tidak mau harus aku bayar demi kesembuhan ibu.                  "Maaf ya, tapi Mbak tahu sendiri kalau Ibu Kepala bulan lalu memberi peringatan kalau bulan ini tidak boleh telat lagi," ujarnya sedikit tidak enak. Wajahnya sendu dan tahu kalau  ucapannya bagai sembilu di hatiku. Aku tersenyum dan menggeleng pelan.                  “Aku ngerti, aku akan bayar nanti.” Aku membuka amplop kuning dan mulai membaca jumlah tagihan yang semakin lama semakin membuatku sulit untuk bernapas.                  Tujuh juta rupiah, mau aku cari di mana uang sebanyak ini? Untuk makanku sehari-hari saja aku terpaksa menunggu makan siang dari kantor. Ya Tuhan, sampai kapan Kau menguji hamba-Mu? Tapi apapun akan aku lakukan demi kesembuhan ibu termasuk menjual harga diriku.                “Mbak, mau saya coba bicarakan dengan Ibu Kepala lagi untuk dispensasi bulan ini?” ujarnya membuyarkan lamunanku.                  "Ah, nggak perlu sus. Aku ada dananya dan mudah-mudahan siang ini atau paling lambat besok pagi aku bisa melunasinya. Oh iya, aku lihat kondisi Ibu dulu ya," ujarku memberi alasan. Suster Maria sepertinya paham dan berlalu meninggalkan aku dengan sejuta pikiran bagaimana melunasi pembayaran tagihan ibu. Aku mengeluarkan ponsel dan mencari nama satu-satunya orang yang bisa meminjamkan uang saat ini.                  Bang Tagor.                  Nama yang hampir satu tahun ini menjadi tempat aku meminjam uang pengobatan ibu. Mudah-mudahan ia bisa meminjamkanku.                  “HALO, KAPAN KAU BAYAR HUTANG KAU?”                  Suara keras dan juga kasar membuat nyaliku langsung ciut, aku lupa kalau hutangku masih belum lunas dan mana mungkin Bang Tagor berbaik hati memberi pinjaman baru.                “Bang, aku bisa minjam lagi? Aku butuh untuk ibu.”                “Kau pikir bisa? Hutang lama kau saja belum dibayar dan sekarang kau mau minjam lagi? Kau bosan hidup?”                  “Aku mohon bang, ini terakhir kalinya aku minjam. Aku janji akan membayar semua hutangku.”                  “Hahahaha, dengan apa gadis kecil? Kau mau jual diri? Mau aku carikan lelaki hidung belang? Kalau iya, dengan senang hati aku akan memberi pinjaman.”                  Tanpa menjawab pertanyaan Bang Tagor aku langsung menghentikan percakapan gila tadi. Aku terdiam beberapa saat dan kembali teringat kalau aku butuh uang dan mungkin tawaran gila Bang Tagor tadi bisa aku terima. Aku kembali menghubungi Bang Tagor dan untungnya ia tidak marah aku menutup pembicaraan tadi tanpa seizinnya.                  “Bang, aku akan melakukan apa pun asal abang mau meminjamkan aku uang.”                  “Yakin kau? Apa saja?”                  “Ya, tapi ada syaratnya. Laki-laki yang abang carikan harus berusia tua dan tidak punya keluarga.”                  “Oke, nggak masalah. Aku akan menyuruh Ucok ke rumah sakit dan jangan coba-coba kau ingkar janji atau ibu kau yang akan tanggung akibatnya.”                  “Iya.”                  Aku menyimpan ponsel dan membuang napas keras-keras. Aku harap pengorbanan ini tidak sia-sia dan ibu bisa segera sembuh seperti dulu.                  "Yang penting Ibu sehat, semua ini aku lakukan demi ibu," ujarku menyenangkan diri sendiri. Lupakan tentang semua tagihan ini, hari ini aku harus membuat ibu bahagia. Bang Tagor akan menyelesaikan semua tagihan mencekik ini.                  Aku menyimpan semua kertas tadi ke dalam tas dan berlari meninggalkan lorong menakutkan ini. Aku mencari ibu di ruangannya dan sayangnya ruangan ibu kosong.                      "Kamu!" teriakan ibu dari arah taman membuatku memutar tubuh, aku melihat ibu sedang bertengkar dengan temannya. Aku langsung bergegas menghampiri ibu yang terlihat murka sedangkan teman-temannya sibuk menertawainya.                  "Ibu kenapa?" tanyaku.                  "Kamu siapa? Jangan ikut campur! Wanita ini harus diberi pelajaran agar berhenti mengagumi laki-laki sialan itu, laki-laki tua itu b******n dan sangat jahat," ocehnya tanpa henti.                  "Aku Wida, anak ibu."                  "Anak?" Ibu terdiam beberapa saat sambil menatapku dengan mata sayunya.                  Delapan tahun Ibu harus menderita seperti ini karena ulah Ayah. Ayah tega meninggalkan kami demi wanita lain dan sejak hari itu ibu mulai bertingkah aneh. Melupakan aku dan membenci laki-laki seusia ayah dan demi kebaikan ibu, aku terpaksa membawanya ke rumah sakit ini. Kondisi ibu perlahan-lahan mulai membaik meski terkadang ada saatnya ibu kambuh dan bertingkah seperti tadi.                Sayangnya kondisi keuangan yang masih belum stabil membuatku terpaksa menitipkan ibu di rumah sakit ini, meski biayanya benar-benar mencekik leherku.                  "Iya, aku Wida," ujarku lagi. Sepertinya ibu mulai mengingat siapa diriku, amarahnya mulai menghilang dan berganti kesedihan. Matanya semakin sayu, aku mengajaknya duduk di kursi taman dan merapikan rambutnya yang berantakan. Aku mengeluarkan kotak makanan berisi makanan kesukaan ibu dan berharap dengan  memakan ini ibu akan selalu mengingatku.                  "Ibu nggak boleh bersikap seperti tadi, ibu harus bersikap baik dan melupakan semua hal tentang ayah. Buat apa ibu masih mengingat dia? Kita nggak butuh dia lagi," kataku dengan emosi tertahan sambil menyuapkan makanan ke mulutnya. Ibu terlihat bahagia saat makanan itu sampai di mulutnya, ibu seperti anak kecil saat aku menyuapinya. Mulutnya tidak berhenti mengunyah sambil menyenandungkan lagu yang biasa ia nyanyikan saat aku kecil dulu.                  Jujur, aku membenci ayah yang menjadi penyebab ibu seperti ini tapi aku lebih membenci diriku sendiri yang tidak sanggup menjaga ibu dan membiarkan ibu tinggal di sini lebih lama. Aku harus bekerja lebih giat supaya bisa membawa ibu tinggal bersamaku.                  "Wida, ibu pipis nih," ujarnya malu. Aku melihat celana Ibu basah oleh pipisnya.                  "Nggak apa-apa, nanti kita ganti ya celana ibu," aku memeluknya dan tanpa sadar airmataku jatuh. Aku langsung menghapus airmata itu agar ibu tidak melihatnya, aku harus tetap ceria agar orang-orang tidak tahu tentang kesedihanku setiap melihat kondisi ibu.                  "Ayo kita ke kamar," ajakku. Ibu mulai bersikap manja dan tak sekali pun melepaskan tangannya dari tanganku.                  Sesampainya di kamar aku langsung menggantikan celananya yang basah dan tidak lupa memasangkan popok agar malam ini ibu tidak perlu ke kamar mandi. Ibu benar-benar seperti bayi yang butuh perhatian ekstra, sayangnya aku belum bisa memberikan perhatian itu sampai kondisi keuanganku benar-benar membaik.                  "Kamu nggak boleh tinggalkan ibu lagi ya," ujarnya saat aku menyuruhnya untuk tidur.                  "Nggak, aku di sini sampai ibu tidur," balasku. Ibu mulai memejamkan matanya dan tak butuh waktu lama ibu pun mulai tertidur. Mungkin saat tidurlah ibu terlihat tenang dan tanpa beban, luka hati benar-benar membuat ibu hancur dan menderita.                  Setelah yakin ibu tidur dengan pulas barulah aku bersiap untuk pulang, mungkin seminggu ini aku tidak akan mengunjungi ibu. Besok atasan baru akan datang menggantikan bapak tua yang selalu mengomeliku setiap hari. Aku bersyukur dia memutuskan untuk pensiun dini, jadi dia berhenti mengomeliku setiap hari.                  "Maafin Wida ya, Bu. Suatu saat nanti Wida pasti akan menemani ibu setiap hari, doakan Wida punya banyak uang ya Bu," ujarku lemah di telinganya.                Sebelum pulang aku singgah terlebih dahulu ke kasir untuk memastikan Bang Tagor sudah melunasi semua tagihan tadi.                  Tujuh juta setiap bulannya harus aku keluarkan untuk kesembuhan Ibu. Hutang di rentenir semakin menumpuk dan hanya keajaiban yang bisa membuatku terlepas dari belenggu hutang itu. Keajaiban seperti mendapat lotere, menemukan segepok uang, atau bapak tua kaya yang dicarikan Bang Tagor itu mau berbaik hati menyumbangkan sebagian hartanya untuk membayar tagihan rumah sakit ibu.                  "Mbak Wida, sudah lunas." Panggilan kasir membuyarkan lamunanku. Aku membuang napas dan bersyukur Bang Tagor menepati janjinya dan aku harus bersiap-siap menepati janji yang tadi aku buat.                  Menjadi p*****r.   ****                        Pagi ini aku awali hari dengan sengaja mengganggu Mbak Ayunda. Mbak Ayunda ini desainer nomor satu di kantorku dan beruntungnya aku ditunjuk sebagai asistennya dan hubungan kami tidak saja sekedar atasan dan bawahan. Aku sudah menganggapnya kakak dan dia pun menganggapku adiknya.                  Aku punya hobi mengganggu Mbak Ayunda dan entah kenapa aku bahagia setiap melihat wajah kesalnya setiap aku menggodanya dengan gosip atau kabar-kabar nggak penting.                  "Mbak Ayu ... Mbak Ayu ..." teriakanku membahana seruangan kantor dan membuat Mbak Ayunda mendengus dan menatapku kesal. Aku menggaruk kepala dan meminta ampun dengan membuat gerakan minta ampun dengan kedua tanganku.                  Kali ini sepertinya permintaan maafku dikabulkan meski tatapannya masih terlihat kesal.                  Mungkin ya, hahahaha. Entahlah, raut mukanya saat melihatku selalu sama. Entah muak, jijik, kesel atau bahagia.                "Berhenti menggosip dan mengganggu aku," ujarnya sebelum aku membuka mulut untuk memberitahunya tentang kedatangan atasan baru kami.                  Aku memanyunkan bibir dan memilih duduk meski Mbak Ayunda tidak mempersilakan. Aku benar-benar asisten tak tahu malu dan untungnya Mbak Ayunda bukan tipe atasan rese. Beruntung aku masih menjadi asistennya dan bertahan kerja di kantor ini. Aku mendekatkan diri dan posisi kami kini saling berdekatan.                  "Lima menit aja kok, setelah itu aku keluar dan janji nggak akan ganggu Mbak Ayu lagi. Suer tekewer-kewer," ujarku sambil membuat simbol janji dengan jariku. Mbak Ayunda masih cuek dan sibuk melanjutkan desain barunya. Aku pun melanjutkan gosip yang hendak aku sampaikan tadi.                  "Besok kita akan kedatangan bos baru untuk menggantikan Pak Arya," ujarku lagi. Kali ini Mbak Ayu terlihat tertarik, pancinganku sepertinya berhasil.                  Pak Arya itu atasan Mbak Ayunda sekaligus pemilik kantor ini. Gosip terbaru mengatakan Pak Arya memutuskan untuk pensiun dan memberikan jabatan ke anak lelakinya.                  "Katanya sih, bos baru kita ini anaknya Pak Arya," lanjutku lagi. Anak angkat sih sebenarnya, dunia juga tahu kalau Pak Arya itu bujangan lapuk yang betah menjomblo meski usianya sudah tua.                  Yap, tua alias bangkotan. Ih baru kali ini aku bertemu bapak-bapak sudahlah tua eh sombongnya minta ampun. Punya hobi ngomel dan sok kecakepan, seharusnya bapak setua itu hidup tenang dengan anak istri. Bukannya ngomelin aku meski kesalahanku nggak sebanding dengan pekerjaanku. Andai biaya rumah sakit Ibu tidak semahal itu mungkin aku sudah memilih mengundurkan diri dari sini.                  Mbak Ayunda seperti tertarik dengan gosip tentang anak angkat Pak Arya.                  "Anak angkat sih, Pak Arya memutuskan pensiun dan menyerahkan tampuk pimpinan ke anaknya itu. Lulusan Harvard dan kabarnya cakep banget loh anaknya. Pokoknya Mbak jangan bayangin Pak Arya, Pak Arya kan standar habis mukanya," lanjutku tanpa malu.                  Aku langsung membayangkan wajah Pak Arya dan anak angkatnya itu, kira-kira di antara mereka siapa yang paling ganteng? Aduh jadi penasaran bentuk dan rupa anak angkat Pak Arya. Semoga wajahnya bisa mengalahkan Pak Arya, lumayan buat cuci mata. Selama ini di kantor yang punya wajah bernilai di atas rata-rata hanya Pak Arya.                  "Iya ... iya ... aku cuma mau memberi info aja kok, silakan lanjutkan gambarnya. Bye!" Aku langsung lari saat melihat Mbak Ayunda berniat mengambil gelas dan mengangkatnya untuk dilemparkan ke arahku. Mbak Ayunda memang wanita barbar, malang sekali ibu calon suaminya kelak. Pasti tersiksa lahir dan bathin punya menantu seperti dia.                  "Dasar tukang gosip," gerutu Mbak Ayunda kesal. Aku memeletkan lidah dan untungnya Mbak Ayunda tidak sadar, sepertinya atasan baru nantinya akan memberi suasana baru di kantor ini.   ****   
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD