PART. 1

1168 Words
Aska, berjalan hilir mudik persis setrikaan di depan Asifa, adik angkatnya. "Bagaimana ini?" Tanya Aska yang sangat terlihat jelas, sedang dirundung kebingungan. "Nggak tahu," jawab Asifa sangat lirih. Mata gadis berhati lembut itu sudah berkaca-kaca sejak tadi. "Kok nggak tahu, sih!" Aska menatap adik angkatnya itu dengan kesal. Namun, ia masih bisa mengatur volume suaranya, agar tidak terlalu keras. Karena saat ini, mereka sedang berada di depan ruang perawatan kakek Asifa, di sebuah rumah sakit. "Memang aku nggak tahu, bagaimana, Abang?" Wajah Asifa terlihat sangat memelas. "Aduuh, kok bisa jadi rumit begini? Bantu aku berpikir, dong!" Aska mengusap belakang kepalanya. Ia benar-benar merasa sangat bingung sekarang. "Nggak tahu ...." suara Asifa terdengar semakin melemah, air mata mengalir membasahi pipi Asifa. Aska mengacak rambutnya. "Arghhhhh!" Aska berusaha menahan suaranya. "Ya sudah, dituruti saja maunya Kakek." Akhirnya, Asifa mengatakan apa yang terlintas di benaknya. "Tidak bisa begitu! Pertama, kamu masih sekolah, sebentar lagi ujian. Kedua, Abba, dan Amma nanti semakin merasa bersalah pada mendiang ibumu, karena membiarkan kamu tidak lulus sekolah." Aska menghela napasnya sebentar. Lalu ia melanjutkan. "Membiarkanmu ke luar dari pondok saja, sudah membuat mereka merasa bersalah, kamu tahu itu'kan? Ketiga, kalau kamu menerima keinginan kakekmu, kamu harus tinggal di sini, apa kamu sanggup terpisah dari Asila. Kamu ke luar dari pondok saja karena tidak tahan pisah dari Asila, iyakan?" Asifa hanya diam, dengan kepala tertunduk. Ia tidak tega menolak keinginan kakeknya, ayah dari almarhum ayahnya yang meninggal di penjara. Kakeknya ingin menikahkan dirinya, dengan seorang pria yang masih ada hubungan saudara dengannya. Karena, hanya tinggal sang kakek keluarga terdekat Asifa. Ayahnya anak tunggal. Kakeknya anak tunggal.sedang Asifa tidak tahu siapa, dan dimana keluarga ibunya. Ibunya, tidak pernah menceritakan tentang keluarganya. Saat ini, kakeknya, memang tengah sakit, beliau sangat ingin menyaksikan Asifa menikah. Karena itulah, diatur perjodohan dengan seorang pria yang katanya masih keluarga jauh dari Asifa. Asifa yang memiliki perasaan sangat halus, merasa tidak tega menolak keinginan kakeknya. Apa lagi, ia merasa, itu seperti permintaan terakhir kakeknya. Asifa tidak ingin menyesal di kemudian hari, karena tidak menuruti keinginan kakeknya. Namun, apa yang dikatakan Aska juga benar adanya. Aska yang memang diminta oleh Soleh, ayah mereka, untuk menemani Asifa pulang ke kampung kakeknya. Pertemuan Asifa sendiri dengan sang kakek, terjadi pertama kali, saat ayah Asifa meninggal karena sakit. Saat meninggal, ayahnya, yang sudah membunuh ibunya, masih menjalani hukuman di penjara. Setelah itu, Asifa, dan kakenya berkomunikasi secara intens. Dua hari lalu, salah seorang sepupu kakek menelpon Soleh, ayah angkat Asifa, yang merupakan ayah kandung Aska. Orang yang menelpon mengatakan, kalau kakek Asifa sakit. Dan, sangat ingin bertemu Asifa. Soleh meminta Aska untuk mengantar Asifa ke kampung kakeknya. Hanya Asifa, karena Asila, adik Asifa, sedang demam, jadi tidak ikut pergi. "Huuuh!" Hembusan napas Aska memudarkan lamunan Asifa. Asifa menatap Aska dengan perasaan tidak enak di dalam hati, karena sudah membuat Aska terlihat sangat terbebani. "Belum lagi urusan Adam. Beberapa bulan lagi dia pulang, apa yang akan aku katakan padanya, kalau kamu sampai menikah dengan si siapa itu, arrgghhh, siapa namanya?" Aska meremas rambutnya. "Nggak tahu," kepala Asifa menggeleng, dihapus air matanya. "Ya, dengan si nggak tahu itu!" Seru Aska kesal. "Kenapa Abang marah sama aku?" tanya Asifa dengan suara lirih. Air mata kembali membasahi pipinya. Cepat Asifa menghapus air matanya. "Ya kamu ditanya, jawabnya nggak tahu terus!" seru Aska, dengan rasa kesal di dalam hatinya. "Aku memang nggak tahu ...." suara Asifa bercampur isak yang coba ia tahan. "Aku harus telpon Abba, biar Abba bicara dengan kakekmu!" Akhirnya, Aska mengambil keputusan. "Jangan!" Asifa menggoyangkan telapaknya. "Kenapa?" "Demi kakek, aku bersedia menikah dengan orang itu." "Tidak, Sifa!" Aska menggelengkan kepala. "Kenapa tidak? Aku hanya ingin melihat kakek bahagia di sisa usianya." "Argghh! Kamu itu masih kecil tahu! Kamu pikir, menikah itu enak? Apa lagi kita tidak tahu siapa, dan bagaimana orang itu!" "Tapi, kakek tidak mungkin memilihkan aku suami yang tidak baik, Abang," sahut Asifa berusaha untuk meyakinkan Aska, juga meyakinkan dirinya sendiri. "Ya,ya, tapi, baik menurut kakekmu, belum tentu baik untukmu. Terutama untuk masa depanmu!" Aska masih tidak setuju dengan niat Asifa, menerima perjodohan dari kakeknya. "Tapi, aku sudah putuskan, untuk menerima saja keinginan Kakek." Asifa berkeras pada keputusannya. "Kalau kamu memutuskan sendiri, berarti kamu tidak menghargai Abba, dan Amma. Juga Kai, dan Nini!" Rasa kesal Aska muncul lagi. "Jangan bicara seperti itu, Abang ...." mohon Asifa. "Bukannya aku ingin mengatakan, kalau keluargaku punya andil penting dalam hidupmu, Sifa, tidak. Tapi, sebaiknya, sebelum kamu mengambil keputusan, bicaralah dulu dengan Abba, dan Amma. Aku rasa, mereka akan sangat terpukul, kalau kamu mengambil keputusan hal sepenting ini, tanpa bicara dulu pada mereka." "Aku tidak sanggup mengatakan ini pada mereka. Tapi, aku juga tidak sanggup melihat tatapan memohon dari mata kakek. Aku takut, kalau ini permintaan terakhirnya." Asifa terisak pelan, wajahnya menunduk dalam. Diusap pipinya yang basah dengan punggung tangannya. "Hhhhh, sudah malam, besok saja kita bicara lagi. Kamu masuklah ke dalam, temani kakekmu. Biar aku tidur di sini saja." "Abang marah?" "Apa marahku ada gunanya? Kamu sudah mengambil keputusan, bukan? Apa aku bisa merubah keputusanmu? Tidak bukan?" "Abang ...." Asifa menatap Aska dengan perasaan yang semakin tidak enak saja. "Masuklah ke dalam, tidurlah." Aska menyandarkan punggung di sandaran kursi. Asifa masih belum bangkit dari duduknya. Terdengar ia terisak perlahan. "Aku juga punya keinginanku sendiri, Abang. Tapi, aku ...." "Sifa, cepatlah masuk, kakek memanggilmu!" Bik Sulis, yang merupakan anak dari sepupu kakek Asifa, yang selama ini merawat kakek, memanggil Asifa. Asifa langsung masuk ke ruang perawatan. Aska ikut masuk juga. Bik Sulis, ternyata sudah menekan bell untuk memanggil dokter. Tidak berapa lama, dokter bersama juru rawat datang. Asifa, Aska, dan Bik Sulis ke luar dari ruangan. Untuk memberi kesempatan pada dokter memeriksa kakek. Bik Sulis, memeluk bahu Asifa. "Dia terus bicara tentang pernikahanmu, dia sangat ingin menikahkanmu." Bik Sulis mengusap bahu Asifa dengan lembut. "Bibik kenal dengan pria yang dijodohkan kakek dengan aku?" "Dia anak, dari keponakan nenekmu. Aku tidak terlalu mengenalnya, Sifa." "Asifa!" Pintu ruangan terbuka, salah satu juru rawat yang memanggil nama Asifa. "Ya ...." "Masuklah, kakekmu ingin bicara." "Ya.... " Asifa menatap Bik Sulis. "Masuklah, temui kakekmu." Bik Sulis menepuk lembut lengan Asifa. "Ya. Abang, aku ke dalam dulu." "Ya," hanya itu jawaban Aska. BERSAMBUNG 50 komen aja buat awal
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD