PART 2 - 06 JANUARI 2002

1674 Words
Empat jam terasa sangat panjang saat tak banyak hal yang dapat dilakukan. Duduk terdiam, memandangi sekeliling, dan merasakan goyangan kapal yang berpadu deburan ombak menjadi hal yang begitu membosankan serta melelahkan. Andai kubawa Novel, mungkin akan berbeda ceritanya. Ada teman yang bisa menemaniku, membuatku terlupa akan keadaan untuk sesaat. Aneh memang, bagaimana sebuah kisah yang dibuat insan manusia  mampu menggoyahkan hasrat dan harapan, membuat yang membaca tertawa dan terbawa kesedihan, bagai mempermainkan rasa. Itulah bagian duniaku. Salah satu hal yang kunikmati, sekaligus hal yang kuimpikan untuk kuciptakan. Untuk kedua  kalinya, kudengar suara kapal yang menjadi pertanda usai sudah perjalananku dan dimulai kembali awal kisahku dipulau yang dikenal dengan sebutan dewata ini. Kulirik bapak dengan tas kain goni yang terlihat baru terbangung dari tidurnya. Dia akan aman, semoga. Bali bukanlah tempat yang asing untukku, namun juga bukan tempat yang familiar untukku jajakan seorang diri. Lima tahun adalah waktu yang cukup untuk menghapus ingatanku akan hal kecil dari tempat yang telah kukunjungi ini. Pelabuhan Padang Bae terlihat tak banyak berubah dan tak kalah ramai dengan Pelabuhan Lembar tempatku berangkat tadi pagi. Hal pertama yang harus kulakukan saat tiba ditempat ini adalah mencari pamanku yang berjanji akan menjemputku hari ini. Ia tahu kapan kapal dari Lombok akan menyandar, kuyakin ia juga tahu kalau keponakannya ini sudah tiba disini. Paman Bayu adalah suami dari bibiku, Ayu. Siapapun yang melihatnya, akan merasakan keramahan yang tulus darinya. Tutur katanya sangat halus dan lembut dengan logat khas Bali yang sangat kental. Itulah hal yang selalu kuingat darinya.Tubuhnya tinggi dan tak berlalu berisi, dengan sedikit kumis yang menghiasi wajahnya. Detail-detail inilah yang menjadi penolongku untuk menemukannya ditengah kerumunan ini. “Nirmala…Nirmala…” Suara tak asing tedengar dari arah Barat tempatku berdiri. Itu jelas suara pamanku, Bayu. Kucari sumber suara itu diantara kerumanan orang-orang yang berjalan melawan arah dariku. “Nirmala…” Sumber suara itu terdengar mendekat. Senyumku mengembang. Lega kurasa. Pamanku pasti mencoba mendekat kerahku. Benar dugaanku. Kulihat paman berjalan melewati kerumunan. “Paman…” teriakku sontak saat melihat pria yang terlihat benar-benar tak berubah sejak 2 tahun yang lalu sejak terakhir kali aku bertemu dengannya dipemakaman ayah. Kaos cokelat yang ia gunakan terlihat begitu menyatu dengan kulit cokelatnya. Tak sulit menemukannya dibawah teriknya sinar matahari siang ini. Ketika waktu telah berputar, tak akan pernah bisa kuhentikan atau kuulangi. Aku tersadar, bertemu dengan paman benar-benar adalah langkah awal menuju perjalananku di pulau ini. Hal yang tak akan pernah bisa kuhentikan dan kuubah kelak. Siang itu, tanggal  6 Januari tahun 2002, ketika mentari berada di puncaknya. Akan kuingat dimana kedua kakiku menapak kembali di pulau ini, bukan untuk berlibur seperti terakhir kali, namun untuk memperjuangkan nasib ini. Siapa yang tahu, bagaimana takdir Tuhan akan terukir dijalanku selanjutnya. Aku hanya bisa berdoa, ini pilihan yang membawa kebaikan. *** Motor bebek paman berjalan dengan mulusnya melewati jalan-jalan yang beberapa masih tersimpan diingatanku. Sudah hampir sejam aku menikmati perjalanannku diatas motor ini. Begitu banyak topik yang kami bahas, mulai dari keadaan keluargaku setelah ayah meninggal, kegiatanku selama 8 bulan ini setelah tamat SMA serta keluarga paman di Bali. “Maaf ya, kita naik motor. Mobilnya lagi dipakai Andi keliling bawa tamu.” “Tidak apa-apa. Ini sudah lebih dari cukup.” menikmati pemandangan dengan naik motor adalah cara terbaik untuk menikmati perjalanan menurutku. Andi adalah kakak sepupuku, anak tertua paman. Usianya 3 tahun diatasku. Saat ini sedang berkuliah di universitas Udayana mengambil jurusan Arsitektur . Kudengar ia ingin melanjutkan S2nya saat lulus nanti. Luar biasa bukan, paman dan bibi pasti sangat bangga memiliki anak sepintar dan sebaik seperti kak Andi. Perjalanan kami dilanjutkan dengan cerita pamanku yang tak henti-hentinya membahas tentang tempat-tempat yang kami lewati. Membuatku tersenyum, seakan aku adalah wisatawan yang ia bawa. Iya, pamanku adalah seorang guide tour. Sudah bertahun-tahun  ia bekerja membawa wisatawan berkeliling pulau Bali, mulai dari wisatawan asal Indonesia hingga wisatawan dari luar negeri. Tak heran, topik tentang Bali tak akan habis ia ceritakan walau sudah berjam-jam. Kami telah tiba di Kuta, tempat keluarga paman hidup dan membangun usaha home stay nya. Motor kami berjalan berlahan melewati para pejalanan kaki yang terlihat begitu menikmati waktu mereka. Warna kulit dan mata yang berbeda menunjukan bahwa mereka bukan orang Indonesia dan dari penampilan mereka, jelas bahwa berlibur adalah tujuan mereka mengunjungi pulau ini. Kata paman, ada lebih dari 4 juta wisatawan asing yang mengunjungi Bali sejak tahun 1994, dan terus meningkat hingga tahun ini. Tidak heran, Bali menjadi sangat maju karena pariwisatanya. Hal inilah yang dimanfaatkan pamanku yang terlahir dan besar di Bali untuk bekerja sebagai guide tour dan bersama bibiku membangun sebuah home stay didaerah Kuta ini. Jalan-jalan dikuta dipenuhi oleh pejaSesaat aku terkagum melihat bangunan dihadapanku. Unsur Bali begitu terasa dekat. Dua buah patung singa seakan menjadi penyambut dan penjaga bagi setiap orang yang akan memasuki home stay ini. Pintu gerbang kayu yang dipernis mengkilat terbuka lebar, mempersilahkanku masuk dengan bebas. Dari Luar aku bahkan bisa melihat tumbuhan kamboja dengan bunganya berwarna merah tumbuh subur berpadu indah dengan tanaman hijau yang memenuhi pemandangan halaman bangunan ini. Sangat cantik dan asri. “Ini kapan direnovasinya, paman?” home stay ini terlihat jauh berbeda sejak 5 tahun yang lalu, terakhir kali aku ketempat ini. “Sudah lama, hampir tiga tahun.” Ujar pamanku sambil memarkirkan motornya dibagian khusus parkir kendaraan roda dua. Halaman home stay ini cukup luas. Paving block membuatnya terlihat lebih bersih. Dipinggir tembok ada sekitar 7 pohon kamboja yang berjajar rapi dengan ujung pohon yang sudah bertumbuh tinggi melewati tembok pembatas home stay ini dengan jalanan. “Sekarang jadi bagus sekali ya, sudah seperti hotel-hotel.” Tatapku kagum. Suara kicauan burung bahkan bisa kudengar, entah dari arah mana asalnya. Paman dan bibi benar-benar luar biasa mendesain home stay ini. “Berkah berlimpah terus sejak home stay ini dibangun. Jadi kita bisa renovasi. Ayo, lewat sini.” Pamanku berjalan menuju gerbang berukuran sekitar 1,5 meter yang berada didekat tempat parkir. “Ini yang desain siapa? Paman?” rasa penasaran dan kagumku masih belum bisa beranjak dari benakku. “Ini hasil diskusi paman sama Andi. Tidak sia-sia dia kuliah arsitektur, jadi bisa kasi banyak masukan waktu renovasi home stay ini. Mala juga belum lihat kan, dihalaman belakang yang dulu banyak pohon mangganya itu, sudah kita bangun kamar dan kolam berendam disana. Gak besar, tapi lumayanlah buat tamu bersantai dan main air.” Pamanku terlihat bergitu bahagia membicarakan tentang home staynya, seakan hidupnya terlihat lengkap sudah. “Wuaah, nanti mala lihat kesana ya. Kalau kolam ikannya masih ada?” aku bersemangat mendengarnya. “Masih. Sayang kalua mau dihancurin. Dewi bisa marah-marah kalau ikannya dipindah, Mala tau sendirikan dia cerewetnya minta ampun.” Paman tertawa menjelaskan mengenai anak kedua sekaligus terakhirnya itu. Dewi seumuran denganku, aku lebih tua 2 bulan lebih tepatnya. Dia gadis yang sangat periang dan penuh kepercayaan diri. Kami sangat akrab saat bersama, jujur aku cukup merindukannya. Mengingat hari ini akan bertemu dengannya, menciptakan euforia akan masa kecil kami. Tak sabar ingin aku melihatnya. Kami berjalan melewati gerbang putih tadi dan sampai dijalan sempit berukuran sekitar 2 meter yang memanjang membawa kami menuju rumah pribadi paman dan bibiku yang masih berada dibagian selatan home stay ini. Rumah paman dan home stay masih berada ditanah yang sama, hanya dipisahkan tembok bercatkan putih setinggi sekitar 1,5 meter. Kami melewati jalan dengan tapak batu-batu kali yang diantaranya tumbuh rerumputan hijau hias. Bahkan rumah ini sama cantiknya dengan home stay. “Wuaah, sekarang jadi beda sekali.” kurasa kekagumanku tak akan berhenti hari ini. Rumah yang akan menjadi tempat tinggalku ini dibagi menjadi dua banguna bercat putih bersih dengan atap bergentang merah kecokelatan. Keramiknya berwarna senada dengan temboknya menciptakan kesan rapi dan bersih. Ada sebuah gazebo berukuran cukup besar disebelah sanggah1 yang ada dibangunan ini. Rumah ini jelas berbeda sekali dengan rumahku di Lombok yang sangat sederhana dengan cat yang telah terkelupas termakan cuaca dan waktu “Oh my God, Malaa…” teriakan menggema mengagetkanku saat aku menatap kagum pada gazebo berlantai keramik putih yang dibangun dengan bata dan semen. Banyak ukiran ditiang-tiang besar gazebo itu. Ukiran khas Bali. Pandanganku teralihkan pada seorang gadis cantik yang sedang berlari kearahku. Dia Dewi. Gadis itu terlihat benar-benar cantik dengan rambut panjang hitam lurusnya yang terurai panjang bak seoarang Dewi. Kulitnya bercahaya dibawah sinar matahari yang menerpa kami. “Dewi…” balasku dengan gembira. Kami berpelukan cukup lama. Aroma bunga tercium jelas saat aku memeluk sepupuku ini, berbanding terbalik denganku yang beraromakan keringatan dan matahari. Waktu benar-benar telah merubahnya menjadi gadis yang kuyakin banyak dikagumi orang. “Ya ampun, Mala. Aku kangen banget. Tadi aku pengen ikut jemput kamu sama bapak, tapi gak dikasi.” Suara gadis cantik dihadapanku ini masih sama, masih tinggi dengan logat Bali yang sama kentalnya dengan pamanku. “Sini-sini. Kamu sekarang tidur sama aku ya.” Dewi menarik pergelangan tanganku menuju bangunan utama dirumah ini. Seperti kebanyakan rumah yang kulihat di Bali. Rumah pamanku ini sekitar setengah meter lebih tinggi dari tanah. Ada tangga yang membantu kami untuk mencapai bangunan utama. Saat kupijakan kaki dalam bangunan ini, saat  ku dapat merasakan dingginnya lantai,  disaat itu rohku seakan dibawa kewaktu yang berbeda, bayangan yang kulihat berubah seketika. Aku masih melihat Dewi menarik tanganku namun kami tidak sedang berada dirumah paman dan bibiku . Kami berada ditempat lain, diantara bangunan  yang tak pernah kulihat sebelumnya. Langit-langit dan keadaan disekelilingku terlihat berwarna jingga tipis, namun aku sadar yang kulihat kini adalah waktu malam hari. Suara musik terdengar samar dan terdengar suara yang meneriaki kami untuk berhenti. Saat kutoleh kebelakang, kulihat 2 orang pria berjaket hitam yang tak kukenal mengejar kami. Kulepaskan segera genggaman tangan Dewi dan bayangan itu hilang seketika. Membawaku kembali ke keadaan saat ini. Kutatap kedua mata Dewi yang melihatku dengan heran sekaligus khawatir. Gadis itu jelas penuh tanya padaku yang seakan kehilangan jiwa dalam beberapa detik yang lalu. Hal ini terjadi lagi hari ini, tak pernah sebelumnya sesering ini. Lima detik yang membuatku melihat rahasia ilahi. Inginku tidak mempercayainya dan mengabaikannya, namun takut kusesali. Ibu pernah berkata, ini anugerah yang Tuhan berikan bukan tanpa maksud dan arti. Kututup bibirku rapat-rapat, banyak hal yang bisa kuceritakan tentang hidupku namun tidak dengan hal ini. Cukup aku, ibu dan Tuhan saja yang tahu apa yang kini kualami. Namun satu yang pasti, jika ini adalah musibah, ini tak boleh terjadi, harus kucegah hingga nanti saat kutak mampu lagi.     1Sanggah disebut juga merajan merupakan tempat suci untuk memuliakan arwah suci para leluhur terutama ibu bapak yang sudah tiada dan berada dialam baka.  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD