Bab 2

2077 Words
Hari ini pasangan Dimas dan Miko berada di Jakarta untuk urusan bisnis. Mereka sengaja menginap di rumah orang tua Dimas. Setiap berada di Jakarta mereka lebih nyaman tinggal di rumah masa kecil Dimas, walaupun ia memiliki kamar pribadi di hotel miliknya. Di rumah orang tuanya ia bisa melakukan banyak hal. Selain berbincang dengan ayah dan ibunya, mereka pun bisa menyantap masakan sang mami yang terkenal lezat. Saat ini mereka tengah bersantai di teras belakang, menikmati secangkir teh ditemani bolu kukus buatan Bu Ratih Hadiwijaya. "Mi, ada hal penting yang ingin kami sampaikan." Dimas memulai percakapan santai mereka.  "Formal banget sih, Tentang apa?" Bu Ratih menatap anak menantunya bergantian. Ia tak sabar menunggu kabar baik dari Dimas. Seingatnya keduanya sedang melakukan proses bayi tabung. Namun sampai detik ini belum terdengar kelanjutannya. Kemarin-kemarin ibu lima anak itu sibuk mengurus persiapan kepindahan kedua anaknya ke luar negeri.  Dimas melirik ke arah istrinya yang duduk di sampingnya, seolah memohon izin bicara. Tentu saja Miko mengangguk pertanda setuju.  "Miko divonis tidak bisa hamil oleh dokter. Program kami gagal, "ucap Dimas dengan nada sedih. Ia memberitahukan informasi penting tentang istrinya kepada sang Mami. Ia dan sang istri telah sepakat untuk tidak merahasiakan masalah besar ini dari keluarganya. Maksudnya agar mereka bisa memahami dan tak memberikan pertanyaan "gimana udah isi?". Dimas dan Miko ingin menjalani kehidupan rumah tangganya dengan tentram dan damai.   Bu Ratih menghela nafas panjangnya. Wanita cantik berusia 50an itu tampak sendu mendengar  kabar yang kurang baik dari pasangan itu. Musnah sudah harapannya untuk menimang cucu dari anak ke 2nya. Padahal ia tak sabar ingin punya cucu lagi.   "Mami turut prihatin atas masalah yang menimpa kalian. Ini adalah ujian dari Allah. Semoga kalian tabah menghadapinya. Semoga terjadi keajaiban. Kalian harus tetap berdoa dan usaha! Tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini kalau Allah berkehendak," ucap ibu 5 anak itu pasrah. Ia sadar apapun yang terjadi adalah takdir Allah. Manusia hanya bisa berdoa dan ikhtiar sementara Allah yang akan menentukan hasilnya.   "Maafkan saya,Mami. Saya tidak bisa menjadi menantu yang baik untuk keluarga Hadiwijaya." Michiko atau yang biasa dipanggil Miko merasa bersalah ia menundukkan kepalanya. Ia merasa menjadi menantu dan istri yang tak berguna. Ia seolah menjadi wanita cacat.   "Sudahlah Miko kamu tidak perlu meminta maaf. Ini semua bukan salah kamu. Ini takdir Allah, Mami bisa memahami semuanya kita tidak boleh menyalahkan diri sendiri!" ucap Bu Ratih bijak. Ia lalu memeluk menantu cantiknya itu sambil mengelus punggungnya penuh kasih. Sebagai sesama wanita ia bisa merasakan penderitaannya. Air matanya menetes begitu saja.   "Mungkin kalian tertarik untuk mengadopsi anak? Mami bisa bantu kalau kalian berminat." Sang Mami memberikan sebuah ide. Tak ada salahnya mengasuh dan mendidik anak orang lain yang membutuhkan orang tua, untuk saling melengkapi. Kebetulan dirinya tergabung dalam  beberapa organisasi amal dan bisa membantu mencarikan panti asuhan tempat mengadopsi anak.   "Tidak perlu Mami. Saya akan setuju jika Dimas menikah lagi. Mungkin itu solusi terbaik agar garis keturunan tetap terjaga. Adopsi anak bukan solusi tepat." wanita berhidung mancung dengan rambut sebahu itu malah mengungkapkan gagasannya. Ia tak pernah tertarik untuk mengadopsi anak yang menurutnya ribet. Ia lebih suka langsung mendonasikan uangnya ke panti asuhan. Ada banyak pertimbangan saat harus mengasuh anak yang bukan anak saudaranya. Di keluarganya pernah terjadi kasus anak angkat yang berselingkuh dengan ayah angkatnya. Itu benar-benar mengerikan seperti cerita-cerita yang ada di sinetron yang pernah ditonton olehnya.   "Apa? Kamu berpikiran Dimas poligami?" Bu Ratih melotot tajam. Tak percaya dengan pendengarannya. Ternyata menantunya itu punya ide segila itu, mengizinkan suaminya menikah lagi. Ini merupakan hal yang tak pernah terlintas di kepalanya. Memasukkan orang ke tiga dalam rumah tangga merupakan sesuatu yang mengancam dan bisa berujung penuh drama dan konflik pernikahan.   "No...no...,.itu tidak mungkin sayang! Aku tidak setuju. Memasukkan orang ketiga dalam sebuah hubungan itu bukan solusi tapi malapetaka. Aku mencintaimu apa adanya. Aku tak akan menikah lagi." Dimas yang sedari tadi menjadi pendengar setia langsung menolak mentah-mentah. Tidak. Tidak mungkin ia menduakan cintanya. Baginya Miko adalah cinta sejatinya. Takkan ada wanita lain yang pantas dicintai olehnya selain istri cantiknya itu.   "Soal itu Mami no comment. Bicarakan saja berdua. Itu urusan kalian, jujur saja Mami bingung harus menanggapinya seperti apa." Wanita yang terkenal anti poligami itu tak ingin mendengar lagi ide gila menantunya. Terlalu menyeramkan jika harus membahas masalah poligami.   **** Di suatu pagi  yang indah, Dimas duduk di Balkon ditemani secangkir kopi luwak buatan istrinya.   "Sayang, please kamu mau ya nikah lagi?" Miko mendekati suaminya yang sedang asyik menikmati secangkir kopi luwak sambil menghisap rokoknya. Tak ada angin, tak ada hujan wanita di dekatnya itu mengucapkan kata-kata aneh.   Tentu saja Dimas kaget bukan kepalang. Pria tampan bertubuh tinggi itu tak menyangka jika niat istrinya itu tak main-main. Ia pikir percakapan dengan ibunya kemari  itu hanya candaan.   "Sebaiknya kita tidak usah membahas masalah itu lagi, Aku sudah berulang kali mengatakan kalau bukan  masalah tidak punya anak juga. Kamu tidak perlu merencanakan hal yang aneh-aneh." Dimas langsung menolak ide gila istrinya. Ia menatap sang istri dengan pandangan tak suka.   Suasana pagi yang seharusnya menyenangkan berubah menjadi mendung bagi Dimas. Rasa kopinya pun mendadak menjadi sangat pahit dan getir tak enak di lidahnya.   "Tapi aku mau kamu bahagia," ucap Miko. Kini wanita itu duduk di pangkuan Dimas. Mengusap pipi suaminya yang mulai ditumbuhi oleh bulu-bulu halus. Ia berusaha menenangkan suaminya yang masih terkejut.   "Kebahagiaan aku tuh kamu, sayang. Aku tidak masalah jika kita harus menghabiskan sisa hidup kita hanya berdua tanpa anak. Bukan hanya kita saja pasangan yang hidup tanpa anak. Ada banyak pasangan lain yang mengalami hal seperti kita. Mereka baik-baik saka dan tetap hidup bahagia. Kamu ingat film Up? Mereka juga bahagia hingga kakek nenek." Dimas mengatur nada bicaranya. Lalu pria berambut cepak itu meraih tubuh sang istri dan memberikan pelukan hangatnya. Berulang kali ia mengecup kening dan pipinya.   Begitu sulitnya memperjuangkan cinta wanita cantik itu. Ia harus berjuang keras meyakinkan orang tua Miko agar bisa menikahinya dan memboyongnya ke tanah air. Satu hal yang merupakan rintangan terbesar adalah perbedaan agama dan budaya keduanya, akhirnya Miko memutuskan menjadi mualaf setelah terjadi banyak drama. Pihak keluarga Miko menentang keras.   Dimas mengusap rambut hitam istrinya lalu kembali mengecup keningnya. Tanpa disadari air matanya menetes begitu saja tanpa bisa ditahan.   Di lubuk hati yang terdalam ia merindukan kehadiran seorang anak, namun rasa cinta yang begitu besar mampu menghalau perasaan itu. Ia pasrah kepada takdir Allah. Tak mungkin dirinya mengkhianati wanita yang berstatus istrinya itu.   " I love you forever." Bisik Dimas.   "Love you too." balas Miko.   Tanpa aba-aba Dimas mengecup bibir merah istrinya yang langsung disambut dengan baik. Hingga ciuman mereka berubah menjadi ciuman panas. Mereka lupa sedang berada di balkon. Bukan tidak mungkin ada ART yang memergoki aksi m***m keduanya.   Suasana pagi yang masih dingin itu berubah menjadi panas karena perasaan kedua insan itu yang menggebu dan b*******h. Hingga tanpa sadar, Dimas menggendong sang istri untuk segera masuk ke ruangan pribadi mereka.   *** Dimas dan Miko sudah kembali berada di Denpasar sejak tadi malam, setelah melakukan perjalan bisnis ke Jakarta selama sepekan sekaligus mengunjungi orang tuanya.   "Aku berangkat dulu ya Dim," Pamit Miko kepada Dimas yang masih asyik berada di tempat tidurnya dengan kondisi setengah berbaring. Ia lalu mengecup pipi suaminya.   "Iya, hati-hati ya, Sayang!" Pagi ini ia ingin bermalas-malasan. Tubuhnya begitu lelah. Sehabis sholat subuh tadi ia tidur lagi. Mungkin jam 10an baru akan berangkat ke kantor. Enaknya jadi bos. Beda dengan istrinya yang selalu on time. Mencerminkan orang Jepang asli.   "Sarapannya sudah aku siapkan," ucap Miko lagi sebelum keluar kamar.   Ia bersyukur Dimas bukan sosok yang rewel sehingga makanan apa pun yang tersaji di hadapannya pasti dilahapnya. Miko harus berterima kasih kepada ibu mertuanya yang berhasil mendidik anaknya soal makanan. Sebagai catatan, semua anak keluarga Hadiwijaya memang tak pernah banyak komplen soal makanan. Mau enak atau tidak pasti dilahap habis.   "Oke thanks."   Dimas melirik meja yang ada di kamar. Di sana sudah tersedia hidangan untuk sarapannya. Walaupun wanita karir, istrinya masih sempat terjun ke dapur menyiapkan semua kebutuhannya. Satu catatan penting di rumah ini tidak ada ART yang menginap. Seminggu tiga kali ART yang bertugas membersihkan rumah datang. Semua pekerjaan rumah Miko dan Dimas lakukan bersama. Kebetulan rumah mereka tidak terlalu besar.   "Assalamualaikum." Miko mengucap salam.   "Waalaikumsalam," jawab Dimas menatap kepergian istrinya.   Kebahagian yang tak terkira untuk Dimas memiliki istri cantik, pintar dan baik seperti Miko. Walaupun tidak berjilbab namun ia bangga kepada wanita mualaf itu, hampir setiap malam ia belajar agama islam dengan mendatangkan guru mengaji, seorang ustadzah. Perjuangan yang luar biasa. Ia tidak mempermasalahkan sang istri yang belum memiliki keturunan.   Tapi permintaannya beberapa hari lalu mengusik jiwanya. Ia mencintai istrinya, pun sebaliknya. Kenapa Miko ingin ia mencari wanita lain. Di luaran sana banyak wanita mengamuk kepada suaminya karena kasus perselingkuhan. Ini malah mengajukan diri untuk dimadu. Dimas menganggap hal itu merupakan permintaan yang sangat berat.   Dimas lalu bangkit dari pembaringannya sebelum mendekat ke arah meja tempat sarapannya terhidang. Ia segera menghabiskannya dengan lahap. Sebentar lagi dirinya harus segera ke kantor.   *** Miko baru saja tiba di kantornya.   "Selamat pagi Mbak Miko!" Sapa seorang wanita muda berkacamata tebal. Wanita itu seusia dirinya menjelang 27 tahun.   "Pagi Ida!" Miko tersenyum ramah. Miko selalu menyukai gadis itu. Walaupun penampilannya sederhana namun ramah dan satu hal yang membuatnya terpesona ia pintar. Pekerjaannya rapi dan selalu tepat waktu. Ia  patut diacungi jempol.   "Jadwal saya hari ini mana?" Begitu datang ia langsung menanyakan jadwalnya.   "Ini jadwal mbak untuk hari ini," ucap wanita bernama Ida. Dia merupakan  sekretaris Miko sejak 2 tahun lalu.   "Terimakasih banyak." Miko tersenyum lebar seraya menerima map dari tangan Ida.   "Sama-sama." Ida mengangguk.   Miko pun melangkah menuju ruangannya. ***   Miko dan Ida sedang berada sebuah cafe untuk makan siang.   " Ida, kamu belum punya kekasih?" Miko menanyakan hal pribadi yang cukup sensitif.   "Apa Mbak?" tanyanya gelagapan.   "Kamu sudah punya pacar?" Entah kenapa Miko ingin melontarkan pertanyaan sensitif itu.   Miko bukan sosok yang suka basa-basi. Ia suka to the point, termasuk bertanya urusan pribadi Ida.   "Pacar?" Ida menatap Miko. Ada perasaan tak suka. Mengapa bosnya bertanya soal itu. Selama ini ia berusaha mengubur masa lalunya dalam-dalam dengan menenggelamkan diri pada kesibukan urusan pekerjaan. Tak pernah terlintas sedikitpun untuk menjalin hubungan dengan pria manapun.   "Iya." Miko tersenyum. Wanita Jepang itu kelewat kepo urusan pribadinya. Cukup wajar saja, berhubung selana bekerja ia tak pernah terlihat diantar jemput pria. Kesehariannya pun tak pernah akrab dengan karyawan kantor. Ia begitu menjaga jarak   Ida menggeleng sebagai jawaban.   "Tapi pernah mempunyai?" Miko penasaran. Rasa ingin tahunya semakin menjadi. Tanpa sadar itu membuat Ida Ayu tak nyaman.   "Maaf, Mbak Miko sebaiknya tidak usah membicarakan masalah itu. Mungkin lain waktu kita bahas lagi," tolak Ida, ia tak ingin membahas urusan pribadinya. Air mukanya berubah keruh. Ada sesuatu yang disembunyikan. Entah apa yang jelas cukup misterius.   Ya, Ia pernah menjalin hubungan dengan pria sekali saja. Itu pun berakhir tragis. 4 tahun lalu calon suaminya meninggal dalam kecekakaan seminggu sebelum acara pernikahan. Ida sangat sedih dan trauma.   "Sori..." Miko merasa bersalah. Ia terlalu banyak bicara dan ikut campur sesuatu yang bukan urusannya. Sebenarnya bukan tanpa alasan ia mewawancarai sekretarisnya. Ada niat terselubung di balik itu. Ia tengah sibuk mencari calon adik madu alias istri yang tepat untuk suaminya.   Akhirnya Miko mengakhiri percakapannya dan fokus menikmati makan siangnya. Ia tak ingin memaksa dan berusaha memahami sekretarisnya itu. Biarlah di lain waktu ia bahas lagi. Bila perlu ia akan menggunakan jasa detektif untuk memata-matai sekretarisnya dan mencari informasi sebanyak-banyaknya tentang gadis di hadapannya. Akhirnya ia pun mengalihkan topik pembicaraan dengan tema pekerjaan.   *** Malam hari yang dingin, Miko dan Dimas telah berada di kamar mereka.  "Kamu suka wanita seperti apa?" Miko bertanya kepada suaminya.  Keduanya berada di atas ranjang.  "Seperti kamu," jawab Dimas pendek. Ia menarik pinggang istrinya. Semua tentang Miko ia suka. Seumur hidupnya hanya Miko yang mengisi hatinya. Dimas tidak pernah berpacaran sebelumnya.  "Tapi menyebalkan kalau sudah sibuk bekerja." Dimas lalu mencubit pipi istrinya.   "Ini sakit." Miko menjerit manja. Terkadang Dimas menyebalkan.   "Sorry." Dimas mengelus pipi mulus istrinya sebagai perminta maafan.   "Aku sudah menyiapkan beberapa kandidat kuat untuk kamu. Mereka cantik, berpendidikan dan pandai memasak. Kamu bisa memilihnya, Lihat saja di sini!"   Miko meraih map di atas meja dan menyodorkannya. Map itu berisi beberapa wanita cantik usia pertengahan dua puluhan. Di sana lengkap dengan profilnya. Ia sendiri yang telah memilihkannya.   "Apa?!" Dimas terbelalak kaget. Ia bukannya menerima map itu malah berdiri lalu meninggalkan Miko yang bengong.   Miko sedih. Suaminya tampak marah. Usahanya ternyata sia-sia. Dimas bukan lelaki seperti di luaran sana yang mudah tergoda pada kecantikan wanita lain.   Dimas duduk termenung di ruang tengah dan menyalakan kembali rokoknya. Entah berapa banyak nikotin yang telah masuk ke dalam tubuhnya. Sebenarnya ia bukan pecandu tembakau, dalam sehari hanya dua atau tiga batang saja yang sanggup dihisap. Namun kali ini ia benar-benar membutuhkan benda itu untuk menemani kegelisahannya.   Ya Allah apa yang harus aku lakukan. Istriku begitu menggebu membujukku menikah lagi. Apa dia terserang gangguan jiwa. Batin Dimas bertanya-tanya.   Lagi-lagi sang istri menyuruhnya menikah lagi. Haruskah ia memeriksa istrinya ke psikiater. Oh No...   **** TBC  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD