Bab 3 – Calon Mantu

2713 Words
Seperti akhir pekan yang biasa dijalani keluarga Rudianto Djojodiningrat, hari Sabtu ini pun mereka kembali menjalani makan malam bersama di rumah. Rudianto dan Sri Rahayu Sukotjo memandatkan kepada anak-anak mereka untuk tidak melupakan keluarga mereka sebab mereka sudah tinggal terpisah dari orang tuanya dan menjalani kesibukannya masing-masing. Anak-anaknya boleh tidak hadir di acara kumpul keluarga itu asalkan ada alasan kuat. Sejak siang hari tadi, Sri sudah disibukkan di dapur demi memasak makanan kesukaan anak bungsunya. Rendang. Eits, bukan tanpa sebab Sri yang disegani para sosialita itu memasak rendang. Rendang itu adalah sogokan agar anak bungsunya mau menerima perjodohan yang sudah diaturnya. Ia akan menjodohkan anak laki-lakinya itu dengan seorang gadis yang merupakan anak dari kolega suaminya. Gadis itu kini sudah menjelma menjadi wanita cantik yang sangat anggun dan elegan. Ia yakin anak bungsunya akan bertekuk lutut meminta dinikahkan dengan wanita secantik itu. Anak laki-laki kesayangan keluarga itu turun dari kamar tidurnya yang berada di lantai 2 rumah mereka. Perasaan senang membuncah di hatinya demi menghirup aroma makanan khas Sumatera Barat yang sudah tersedia di meja makan. "Ga, tolong panggilin papa dong di ruang kerjanya,” ujar Sri seraya menuangkan sirup di gelasnya. "Pa, ayo makan!" teriak anak laki-laki itu. "Yoga! Kamu nih males banget sih disuruh ke ruang kerja papa aja!" "Yoga laper, Ma." Yoga langsung menyendok nasi dan meletakannya di atas piring yang berada di hadapannya membuat Sri menggelengkan kepala. Sri pun mengalah pada anak bungsunya itu dan berjalan menuju ruang kerja suaminya. Tak berapa lama kemudian, Yuni tiba di rumahnya dan langsung duduk di sebelah Yoga. "Kok baru pulang, Yun? Rame ya di butik?" tanya Sri yang baru saja kembali ke ruang meja makan setelah memanggil suaminya di ruang kerja untuk makan malam bersama. "Iya, Ma. Sebentar lagi kan banyak mahasiswa mau wisuda. Banyak yang minta dibuatin kebaya buat wisudanya,” jawab Yuni seraya menyendok rendang untuk diletakkan bersama nasi yang sudah diambilnya terlebih dahulu. Mereka pun mulai menyantap makan malam mereka bersama-sama. Sri memang juara soal masak-memasak. Walau ia bukanlah lulusan tata boga seperti Sarah, tetapi makanan yang dibuatnya selalu terasa lezat. Itulah mengapa dulu Rudianto tergila-gila padanya dan pernikahan mereka berjalan bahagia sampai sekarang. Dan hal itu menurun pada anak laki-laki mereka. Yoga jatuh cinta pada seorang wanita yang juga lihai dalam hal memasak. Sayangnya, percintaan Yoga dengan wanita yang dicintainya itu tidak seindah kisah cintaan kedua orang tuanya. "Oh ya Ga, begini, rencananya Mama dan papa mau ngenalin kamu sama anak temennya papa. Itu lho, om Tjokro. Kamu inget kan?" ujar Sri di tengah-tengah acara makan malam keluarga itu. "Ngapain Mama ngenalin aku sama anaknya om Tjokro?" tanya Yoga. "Ya buat jadi pacar kamu. Kamu pasti suka deh. Cantik banget lho. Nyesel deh kalau sampai kamu tolak." Yoga menghela napasnya. Ini sudah kesekian kalinya orang tuanya berusaha menjodohkannya dengan anak dari kolega atau sahabat mereka. "Yoga kan gak pernah minta Mama cariin jodoh buat Yoga. Yoga gak mau ah dijodohin gitu. Emangnya masih jaman Siti Nurbaya?!" "Umur kamu itu sudah matang! Sudah seharusnya kamu memikirkan masa depan!" "Yoga belum mau nikah, Ma." "Kamu sudah 34 tahun, Yoga! Mama gak mau kamu jadi perjaka tua!" "Ya nanti kalau udah ketemu sama perempuan yang Yoga suka juga pasti Yoga nikah." "Kamu mana pernah sih suka sama perempuan! Satu-satunya perempuan yang kamu suka kan cuma Sarah." Suasana mendadak hening. Nama yang tidak boleh disebut itu tanpa sengaja terlontar dari mulut ibu suri keluarga mereka. Mereka tahu betul betapa terlukanya Yoga dengan apa yang telah dilakukan Sarah. Karena wanita itulah Yoga berubah menjadi pria b******k yang meniduri banyak wanita. "Sudah malam. Yoga pulang dulu." Yoga beranjak dari kursinya. Ayahnya berusaha menahannya. "Malam ini kamu tidur di rumah, Ga!" ujar Rudianto. "Enggak, Pa. Yoga mau pulang ke apartemen aja. Masih banyak kerjaan. Yoga gak bawa laptop kantor ke sini." Yoga pun pergi meninggalkan kediaman orang tuanya. Kalau saja yang mengatakan hal yang dianggapnya haram tadi bukanlah ibunya, kemungkinan orang itu sudah babak belur.   ***   Yoga melarikan mobilnya dengan kecepatan cukup tinggi di tengah hujan rintik-rintik yang mengiringi perjalanannya. Ia berusaha fokus pada jalanan yang dilaluinya. Ia tidak mau pemikiran tentang mantan kekasihnya itu mengganggu konsentrasinya dan menyebabkan ia mengalami kecelakaan. Tidak sampai satu jam, Yoga tiba di apartemennya di bilangan Sudirman, Jakarta. Ia mengambil satu botol wine dari dalam lemari makan dan menikmati anggur putih itu di dalam kamar tidurnya seraya menonton televisi. Setelah mengganti-ganti channel televisi dan merasa tidak ada tontonan yang menarik minatnya, ia meraih ponselnya dari atas nakas. Ia melihat notifikasi dari orang-orang yang mengiriminya pesan singkat lalu membalas pesan-pesan itu, kemudian ia melakukan hal yang sudah sangat jarang ia lakukan. Membuka akun media sosialnya. Terlihat akun milik Arkan yang baru saja mengunggah fotonya bersama keluarga kecilnya. Ia tersenyum melihat gambar diri sahabatnya yang sangat hangat bersama istri dan anak laki-lakinya yang berusia 2 tahun. Arkan memang sangat menyayangi keluarganya. Dan Yoga yakin sebenarnya Arkan juga menyayangi Renata, adik kecilnya yang menggemaskan itu, yang kini sudah menjelma menjadi wanita periang yang lucu dan cuek dengan penampilan. Renata tidak terlalu memperhatikan penampilannya. Ia hanya berdandan sekenanya saja agar wajahnya tidak terlalu pucat, terutama di kantor karena perusahaan tempat Renata bekerja menuntut karyawannya untuk selalu rapi dan menyenangkan untuk dilihat, terutama dilihat oleh para client. Yoga pun mencari akun milik Renata. Renata cukup aktif di media sosialnya. Ia melihat semua foto yang diunggah Renata ke akun media sosialnya. 'Cantik,” gumamnya.   ***   Pukul 10 pagi di hari Minggu yang cerah, Renata menemani ibunya berbelanja di sebuah pusat perbelanjaan dekat rumah mereka. Renata mendorong troli seraya memainkan ponselnya. Ia membuka akun media sosialnya dan mendapati Yoga menambahkan pertemanannya. 'Dia mau minta sapu tangannya dibalikin kali, ya,' ujarnya dalam hati. Ia pun menambahkan pertemenan di akun media sosial Yoga. "Santi!" Tiba-tiba suara seorang wanita paruh baya membuyarkan lamunan Renata. Ia melihat wanita paruh baya itu datang mendekat dan memeluk ibunya cukup erat. "Kamu apa kabar, San?" "Baik. Mbak Sri apa kabar?" balas Santi, ibunda Renata. "Baik, San. Ini anak kamu?" tanya Sri seraya menatap Renata. Renata tersenyum dan salim tangan pada Sri. "Iya, Mbak. Namanya Renata,” jawab Santi. "Salam kenal ya, Renata." "Iya, Tante,” balas Renata. "Suami gak ikut?" tanya Sri pada Santi. Santi tersenyum. "Suami aku udah lama meninggal, Mbak." "Hah?! Aduh, maaf ya San, Mbak gak tau. Kapan meninggalnya? Kenapa?" "Sembilan tahun yang lalu, Mbak. Leukimia." "Oh, astaga.” Sri mengelus lengan Santi untuk menguatkannya. "Eh, anak pertamanya gimana? Tinggal sama kamu?" "Enggak, Mbak. Arkan sudah berkeluarga." "Oh gitu,” balas Sri lalu pandangannya beralih pada Renata. "Kalau Renata sudah berkeluarga?" Renata tersenyum ramah dan menggelengkan kepalanya. "Belum, Tante." 'Bagus!' ujar Sri dalam hati.   ***   Setelah mereka selesai berbelanja, Sri mentraktir Renata dan Santi makan siang di sebuah restoran yang berada di dalam mall itu juga. Sebenarnya, Renata dan ibunya sudah menolak, tetapi bukan Sri namanya kalau gak getol untuk mengetahui latar belakang gadis yang akan dijadikan calon menantunya itu. "Oh ya, Renata kerja di mana?" tanya Sri. "Di XYZ Tax Solution, Tante." 'Bagus!' seru Sri dalam hati. "Kamu sudah punya pacar?" "Belum, Tante,” balas Renata dengan masih tersenyum ramah yang dipaksakan. Ia tahu ke mana arah pembicaraan ini. 'Pasti deh ini tante mau jodohin gue sama anaknya atau sama anak temennya atau sama keponakannya atau sama temen keponakannya atau sama keponakan temennya!' rusuhnya dalam hati. 'Bagus deh, ini anak belum punya pacar. Jadi aku gak dosa buat misahin dia dari laki – laki lain,' ujar Sri dalam hati. "Cari pasangan hidup itu memang tidak boleh sembarangan. Kalau kata orang tua kita dulu, cari pasangan itu harus dilihat dulu bibit, bebet dan bobotnya. Pilihan kamu untuk fokus dulu ke karir itu sangat bagus, Renata,” ujar Sri pada Renata. 'Ya bagus dong, jadinya kamu bisa saya jodohin sama anak saya,' ujar Sri lagi dalam hati. Renata hanya senyum-senyum bajing mendengar celotehan tante-tante di hadapannya itu. 'Bukan mau fokus ke karir, tapi emang belum ada yang mau sama gue dan guenya mau! Sekalinya ada yang gue mau, eh tuh laki malah ngawinin kakak gue!' protesnya dalam hati.   ***   Selesai acara makan siang yang sudah pasti menyelamatkan isi dompet Renata setelah hampir terkuras habis dipakai untuk berbelanja kebutuhan dapur dan rumah selama sebulan, Sri mengantarkan Renata dan Santi pulang dengan mobilnya. Memang sedari dulu Sri selalu diantar jemput ke mana pun oleh sopir pribadi. Sri memang berasal dari keluarga kaya raya. Dia sudah kaya sejak dari dalam kandungan. Ya sebelas dua belaslah sama suaminya yang juga berasal dari keluarga terpandang dan makmur sentosa itu. Di dalam perjalanan pulang, Sri bertukar nomor ponsel dengan Renata dan Santi. Tak lupa ia mewanti-wanti calon menantu dan besannya itu untuk memberi tahu dirinya apabila tukar nomor ponsel agar mereka tidak lagi mengalami yang namanya lost contact. Sekitar kurang lebih 20 menit, mereka tiba di rumah yang ditempati oleh Renata dan ibunya. Sri menerima tawaran Santi untuk mampir ke rumahnya. Ia ingin mengetahui bagaimana kehidupan yang dijalani oleh calon menantu dan besannya. Ia mengedarkan pandangannya ke sekeliling rumah dan sedikit prihatin dengan kehidupan yang dijalani oleh Santi. Santi adalah adik kelasnya di Sekolah Menengah Atas. Ia cukup akrab dengan Santi di masa muda dulu. Sri sering mengajak Santi untuk pergi dan pulang sekolah bersamanya karena jarak rumah mereka berdekatan. Di usianya yang ke 27, Santi menikah dengan Ardi. Sebenarnya Sri sedikit khawatir ketika sahabatnya itu memutuskan untuk menikah dengan seorang duda yang sudah memiliki satu anak. Namun, melihat betapa saling mencintainya kedua insan itu, Sri pun ikut merestui pernikahan mereka. Yang diketahui Sri, Ardi adalah pengusaha yang terbilang sukses. Entah bagaimana, sahabatnya itu kini tinggal bersama putrinya di sebuah rumah yang terbilang sangat sederhana dan jauh dari perkiraannya. 'Mungkin usaha Ardi bangkrut,' pikir Sri. Renata datang membawakan tiga gelas sirup dingin ke ruang tamu yang membuat pikiran Sri yang melayang jauh ke masa lalu Santi dan Ardi buyar. Sri tersenyum menatap Renata. 'Anak kamu cantik juga, Di. Boleh ya dia nikah sama anak aku? Aku janji akan buat Renata jadi menantu paling bahagia,' ujar Sri dalam hati. Santi menyusul Renata berjalan dari arah dapur seraya membawakan beberapa potong kue lapis yang diletakkan di atas sebuah piring besar. "Gak usah repot – repot,” ujar Sri. "Masa gini aja repot, Mbak,” balas Santi seraya tersenyum. 'Lihat aja, Santi. Sebentar lagi aku akan membuatmu repot dengan persiapan acara pernikahan anak-anak kita!' ujar Sri membatin.   ***   Pukul 3 sore, Sri kembali ke rumahnya dan langsung menghampiri suaminya yang sedang menonton berita di televisi di ruang keluarga. "Papaaa," seru Sri saat menghampiri suaminya lalu memeluknya dengan sangat erat. "Mama kenapa manja begini? Lagi pengen ya?" ujar Rudianto lalu mengedipkan mata genitnya. Sri mencubit lengan suaminya yang membuat suaminya meringis seraya terkekeh. "Pa, Mama tadi ketemu sama Santi di super market. Sahabat Mama dulu. Dia tadi belanja sama anak gadisnya, Pa. Namanya Renata. Dia kerja di XYZ Tax Solution. Mama yakin Yoga pasti mau deh dijodohin sama Renata." Rudianto menghela napasnya mendengar niat istrinya yang lagi-lagi ingin menjodohkan anak mereka dengan anak sahabatnya. "Ma, sudahlah, biarkan Yoga mencari dan memilih calon istri yang sesuai keinginannya. Kita tidak usah memaksanya. Kalau terus-terusan kita paksa, yang ada Yoga bisa benci sama kita. Papa gak mau kehilangan Yoga, Ma." Kali ini Sri yang menghela napasnya. "Papa percaya aja deh sama Mama. Yang ini beda, Pa. Renata gadis biasa yang manis dan lembut. Cocok untuk Yoga dan keluarga kita." "Ya, terserah Mama saja, tapi ingat ya Ma, jangan terlalu memaksa Yoga." "Iya, Pa."   ***   Dengan perasaan malas dan tidak sepenuh hati, Yoga pergi kencan dengan anak perempuan dari Tjokro Suyitno, pemilik perusahaan tambang batu bara terbesar di Indonesia. Saat ini, Yoga sedang menunggu di kursi ruang tamu sebuah butik di daerah Kemang. "Yoga, kamu suka warna apa?" tanya gadis yang sedang berkencan dengan Yoga. "Hitam,” jawab Yoga singkat. Gadis cantik itu masuk ke dalam kamar pas dan mencoba beberapa gaun berwarna hitam. Ia memilih memakai sebuah gaun hitam dengan model sabrina dan bagian d**a gaun itu menonjolkan betapa seksi belahan dadanya. Belahan bagian rok yang panjangnya menjuntai itu juga tak kalah menonjolkan kemulusan paha wanita yang mengenakannya. Ia keluar dari dalam kamar pas untuk menunjukkan gaunnya pada Yoga. Pelayan butik itu sampai ternganga melihat betapa cantik dan anggunnya pelanggan butiknya itu dengan gaun malam yang dikenakannya. "Yoga, yang ini bagus gak?" tanya gadis itu pada Yoga. Yoga yang sedang duduk di ruang tamu butik seraya melihat-lihat foto Renata di akun media sosialnya pun menoleh pada Dinda, gadis yang sedang berkencan dengannya itu. Ia terpana dengan kecantikan gadis yang berada di hadapannya. Namun, otaknya yang m***m malah memikirkan gadis lain di dalam balutan gaun malam yang seksi itu. 'Duh, untung aje yang pakai gaun itu bukan Renata. Mungkin kalau dia yang pakai, langsung gue culik dan gue kurung di kamar!' pikir Yoga. "Ga?" panggil Dinda karena Yoga tidak jua menjawab pertanyaannya. Yoga pun tersadar dari lamunannya. "Eh iya, bagus." Dinda tersenyum mendapati Yoga yang terpincut kecantikannya. Ia kembali ke dalam kamar pas lalu mengganti gaun yang sedang dikenakannya dengan gaun berwarna merah muda miliknya. Ia pun memutuskan untuk membeli gaun hitam itu untuk dipakainya di kencan selanjutnya dengan pria tampan yang dipilihkan oleh kedua orang tuanya itu. Dinda keluar dari dalam kamar pas lalu menggandeng tangan Yoga untuk pergi ke kasir. "Mbak, saya mau yang ini, ya,” ujar Dinda pada pelayan butik itu. "Baik, Mbak,” ujar pelayan itu dengan sangat ramah, lalu membawa gaun indah itu ke meja kasir. "Hmm ... Din, boleh gak gaun tadi gue aja yang beli?" tanya Yoga ragu-ragu. Dinda tersenyum dan menganggukkan kepalanya. Tentu saja ia senang. Ia beranggapan bahwa sudah menjadi kewajiban Yoga untuk memenuhi kebutuhannya dan membuatnya selalu tampil cantik jika Yoga menginginkan wanita sekelas dirinya menjadi istri pria itu. Selesai menemani Dinda ke salon serta membelikannya gaun dan beberapa peralatan make up, kini Yoga dan Dinda sudah berada di sebuah restoran mewah di derah Senopati. Mereka menyantap sirloin steak dengan segelas red wine. Dinda tersenyum sepanjang hari itu. Walau Yoga terlihat cuek dan lebih mementingkan ponselnya, Dinda tidak akan menyerah begitu saja. Ia akan membiarkan Yoga seperti itu agar tidak terlalu mengekangnya. Nanti di saat Yoga sudah menyatakan cintanya, barulah Dinda akan membuat Yoga menghempaskan ponselnya saat sedang berdua dengan dirinya. Baginya, hal itu tidak sulit mengingat betapa kecantikannya telah membuat banyak pria bertekuk lutut padanya. "Hmm ... Ga?" panggil Dinda di tengah-tengah acara dinner date mereka. Yoga hanya menjawab panggilan itu dengan tatapannya pada Dinda. "Kamu suka wanita seperti apa? Siapa tau aku bisa menyesuaikan diri dengan wanita ideal kamu." Yoga pun membayangkan Renata. "Gue suka sama cewe yang gak ribet, lucu, manis, manja, dewasa, tapi sedikit kayak anak kecil,” ujarnya seraya tersenyum membayangkan gadis yang mengganggu pikirannya beberapa hari ini. "Terus?" "Kerja di XYZ." "Hah?!"   ***   Pukul 10 malam, Yoga mengantar Dinda pulang ke rumah mewahnya di bilangan Pondok Indah. "Thanks for tonight,” ujar Dinda seraya tersenyum. Yoga balas tersenyum pada Dinda dan menganggukkan kepalanya. Dinda mendekatkan wajahnya pada Yoga lalu mengecup pipi laki-laki itu. Mereka terdiam sejenak lalu Dinda mengambil tas dan beberapa paper bag belanjaannya. Ia membuka pintu mobil, tetapi langkahnya terhenti karena Yoga memanggilnya. “Din,” panggil Yoga. Dinda tersenyum penuh kemenangan. Ia yakin Yoga tidak rela berpisah dengannya. Ia pun bersiap-siap karena ia berpikir bahwa Yoga akan segera melumat bibir manisnya. Ia menoleh menatap Yoga dengan d**a berdebar. "Din, itu kan gaunnya punya gue. Jangan dibawa,” protes Yoga. "What?! Kamu kan beliin ini untuk aku. Untuk apa kamu bawa?" tanya Dinda. 'Oh, yes! Kamu mau bawa gaun ini ke apartemen kamu kan biar aku bisa pakai nanti waktu ke apartemen kamu? Iya, Sayang, aku rela kok,' ujar Dinda dalam hati. "Hah? Bukan! Gue beli gaun itu buat cewe gue,” jawab Yoga. Kedua mata Dinda pun terbelalak mendengar kalimat yang baru saja diucapkan pria yang sudah lama ia incar itu. "Kamu? Punya pacar?!” Yoga menganggukkan kepalanya. "Iya, gue udah punya cewek." Wajah Dinda berubah menjadi pucat pasi. "Kok kamu gak bilang?" "Ya, kan lo dari tadi gak nanya." Kedua bola mata Dinda pun memerah menahan air mata yang sudah akan tumpah. "Din?" panggil Yoga karena Dinda terdiam cukup lama. Seketika Dinda menampar pipi Yoga lalu melempar paper bag berisi gaun malam itu ke arah Yoga, kemudian ia keluar dari dalam mobil dan menangis sangat kencang saat masuk ke dalam rumahnya. "Yoga brengseeeeek!!!!!!!" teriak Dinda di dalam kamar tidurnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD