Bab 2. Menikahlah Denganku!

1000 Words
Pukul tiga dini hari, setelah bar tutup, Ivy kembali pulang bersama Tina. Namun, saat melewati sebuah minimart 24 jam, Tina tiba-tiba membujuknya untuk mampir sebentar. Dengan terpaksa Ivy pun menyetujui permintaan dari sahabat baiknya itu. "Masuklah! Aku akan menunggu taksi di luar," tukasnya yang langsung ditanggapi Tina dengan senyuman lebar. "Jangan meninggalkanku, oke!" pesan Tina. Ivy terlihat mengangguk dan mengibaskan tangan seolah sedang mengusir seekor kucing, membuat Tina yang melihat hal itu sontak mengerucutkan bibirnya dengan sebal. Sepeninggal Tina, tanpa Ivy sadari, sebuah van hitam yang semula parkir tak jauh dari bar tempat Ivy bekerja, kini mulai bergerak secara perlahan ke arahnya. Tepat di hadapan Ivy, pintu van tiba-tiba terbuka. Dua pasang lengan besar menariknya dengan paksa untuk masuk ke dalam van. Bahkan pengemudi van itu segera tancap gas setelah Ivy sudah berhasil dimasukkan ke dalam van bersama dua orang pria yang mengenakan topeng di wajah. "Siapa kalian?" Ivy memperhatikan para penculiknya dengan raut cemas. Ia juga coba berontak sekuat tenaga agar dapat lepas dari cengkraman tangan kedua pria itu. Namun, usahanya sia-sia. Tenaga Ivy tak sebanding. Membuat wanita itu merasa sangat kesal. Terlebih saat kedua pria itu memilih bungkam dan mengabaikan pertanyaannya. Kebisuan mereka, semakin membuat Ivy dihinggapi firasat burut, apalagi ia sendiri masih memiliki trauma terhadap kenangan buruknya bersama Bastian. Mengingat nama mantan suaminya, Ivy merasa takut jika para penculik itu diutus oleh mantan suaminya yang telah mengetahui bahwa ia masih hidup. "Tolong, lepaskan aku!" Ivy meminta. Raut wajahnya tampak memelas. Tak ingin kembali menjalani hidup seperti di neraka dalam cengkraman Bastian. "Kumohon, tolong lepaskan aku!" kata-katanya semakin terdengar lirih, tetapi kedua pria yang menahannya sama sekali tak bergeming hingga ketika ia ingin kembali berbicara, satu pukulan keras tiba-tiba mendarat di bagian tengkuknya. Pukulan itu membuat pandangan Ivy menjadi gelap. Dan, ia pun jatuh tak sadarkan diri setelahnya. Ivy tidak tahu sudah berapa lama ia pingsan. Namun, di saat ia mulai tersadar, wanita itu telah berada di sebuah kamar dengan ukuran yang kecil. Kepala Ivy masih sedikit pusing, hanya saja ia tetap berusaha keras untuk mengangkat tubuhnya. Setelah berhasil duduk di atas ranjang, ia pun mengerjapkan mata. Menyesuaikan penglihatannya terhadap cahaya lampu kamar yang sedikit temaram. Kamar itu hanya diterangi satu lampu kecil yang berada di atas nakas. Sementara di hadapannya, yang ada hanyalah kegelapan. Ivy pun menyadari bahwa saat ini, ia tidak sendiri di dalam kamar. Ada suara napas yang samar-samar terdengar di telinganya. Tidak hanya itu, pada sebuah kursi yang ada di sudut kiri kamar, ia juga melihat bayangan seorang pria tengah duduk di sana. "Halo! Tuan?" sapanya takut-takut. Bukannya menanggapi panggilannya, pria itu justru menegakkan tubuhnya. Ivy tidak bisa melihat wajah pria itu karena terlalu gelap, tetapi bayangan pria itu tampak lebih ramping dari Bastian dan juga sedikit lebih tinggi. Ivy tahu sebab ia sangat mengenal bentuk tubuh suaminya itu. "Tuan, mungkinkah Anda telah salah menculik orang? Aku, Ivy Miller, baru beberapa hari ini tiba di kota ini dan aku tidak pernah membuat masalah pada siapa pun sejak aku datang. Karena itu tolong lepaskan aku, Tu–” "Lepaskan katamu!" Pria bernama Jacob itu terdengar mendengus kesal. "Aku tidak akan melepaskanmu! Apa kau pikir bisa bebas setelah membunuh tunanganku?!" Suara Jacob terdengar dingin dan serak. Membuat Ivy seketika membeku. Lidahnya terasa kelu. Ingatannya tertarik pada peristiwa di mana taksi yang ditumpanginya menabrak seorang wanita hingga tewas. “Jadi wanita itu ….” ucap Ivy ragu dipenuhi rasa takut. "Tuan, Anda salah paham. Aku tidak pernah membunuh siapa pun!" tegas Ivy, "Jika yang Anda maksudkan adalah tabrakan yang terjadi hari ini, sejujurnya itu bukan kesalahanku! Aku hanya penumpang taksi itu, kalau kau mau, salahkan sopir taksi itu karena dia mengendarai tidak hati-hati sampai menabrak tunanganmu!" Ivy coba menjelaskan. Menceritakan apa yang sebenarnya terjadi pada pria itu. “Kau tidak usah membela diri! Mau bagaimanapun itu semua adalah salahmu?” "Tapi, Tuan … kalau Anda tidak percaya, aku bisa menemani Anda ke kantor polisi. Di sana, Anda pasti akan tahu bahwa aku memang tidak bersalah. Bukan aku yang mengendarai taksi itu, aku hanya penumpang saja.” "Cih, apa menurutmu aku belum ke kantor polisi? Aku sudah ke sana, Ivy Miller. Dari merekalah aku bisa tahu namamu dan juga nama pria yang akan segera membusuk di penjara!" Ucapan Jacob membuat tubuh Ivy sontak menggigil. Di saat yang sama, ia juga merasa kasihan terhadap sopir taksi yang tanpa sengaja menabrak tunangan dari pria yang ada di hadapannya sekarang. "Jika Anda sudah mendapatkan pelakunya, lalu kenapa Anda masih menculikku?" protes Ivy, menuntut agar pria itu melepaskannya. Kursi di sudut kamar tiba-tiba terdengar bergeser, berbunyi saat bergesekan dengan lantai kayu di bawahnya sambil menahan beban berat di atasnya. Bersamaan dengan itu, bayangan pria yang duduk di atas kursi tersebut kini tampak berdiri tegak. "Kau ada di taksi itu, Ivy. Taksi yang telah menabrak tunanganku. Jadi ... kau juga termasuk orang yang telah membunuh tunanganku!" Pria di hadapan Ivy mulai melangkahkan kakinya. Langkahnya berderap, terdengar kokoh dan stabil di telinga Ivy. Membuat wanita itu sampai menahan napas. Semakin pria itu bertambah dekat seolah ingin menyibak kegelapan yang menutupi tubuh tinggi besarnya, semakin detak jantung Ivy menjadi tidak beraturan. Perasaan gugup langsung menyerbu, detak jantungnya seakan-akan memukul keras d**a wanita itu hingga terasa sesak. Demi menjauhi pria itu, Ivy mulai beringsut mundur di atas ranjang. Dan, ketika dalam hitungan detik wajah pria itu tampak di bawah temaram cahaya lampu kamar, ia seketika berubah menjadi patung batu. Tanpa bisa melepaskan pandangannya dari wajah keras di depan sana yang menatapnya dengan tatapan arogan. Namun, ada sesuatu di wajah pria itu yang membuat Ivy merasa sangat familiar, yaitu mata pria itu. Matanya yang berwarna biru cerah dan tertutupi oleh raut kejam dan juga angkuh. "Ivy Miller, kau harus menggantikan tempat tunanganku untuk menikah denganku. Karena hari ini, seharusnya kami menikah di gereja." “Apa? Menikah denganmu …?” Ivy sontak terkejut. Masih tak percaya saat mendengar perkataan dari pria yang diakuinya, memiliki wajah tampan. Menikah dengan pria yang tak ia kenal. Pria yang menatapnya penuh rasa dendam. Bagaimana mungkin, ia bisa menikah dengan pria itu. Bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD