bc

Arunika : The Blood of Amara

book_age18+
114
FOLLOW
1K
READ
revenge
reincarnation/transmigration
fated
manipulative
brave
drama
heavy
mystery
kingdom building
war
like
intro-logo
Blurb

Ketika Raja Danasura dari kerajaan Manbara telah tiada, takhta turun kepada putra sulungnya Pangeran Agastya. Namun, hal tersebut menimbulkan kecemburuan bagi adiknya, Pangeran Babad Guntara. Dia merasa bahwa wasiat dari ayahnya tak adil. Sebab, selain daripada takhta, Pangeran Agastya juga diberi wasiat untuk menikah dengan seorang putri cantik nan rupawan dari kerajaan Sankara, Ratnadewi.

Sebuah mantra dari kitab peninggalan ayahnya kemudian membawa Babad ke alam gaib. Dia bertemu dengan seorang lelembut bernama Lunara. Mereka pun melakukan sebuah perjanjian demi takhta. Tanpa sengaja, Lunara membangkitkan darah Amara dengan sihirnya. Sebuah karunia yang dianggap orang awam sebagai kutukan. Darah itu kemudian mengalir pada putri dari Raja Agastya dan Ratu Ratnadewi yang bernama, Arunika.

Seperti apakah sebenarnya darah Amara?

ATTENTION :

Cerita ini hanya karangan fiksi, buah pikiran penulis. Terinspirasi dari kerajaan di nusantra.

chap-preview
Free preview
Bagian 1. Awal Mula
Semesta berduka. Raja Agung Danasura, dari tanah Manbara telah berpulang kepada Sang Khalik. Abu perapian menelusup ke pelupuk mata, membuat kesedihan tak dapat lagi terbendung. Upacara kremasi dipenuhi air mata, termasuk dari para rakyatnya. Gerbang kerajaan terbuka untuk semua kalangan selama istana melepas kepergian Sang Raja. Lalu, siapa yang akan meneruskan kepemimpinan di tanah Manbara setelah Raja Danasura tiada? ⁂ "Pangeran, seluruh anggota kerajaan bersama para petinggi sudah berkumpul untuk mendengar wasiat terakhir dari Yang Mulia Raja Danasura." Agastya masih tertegun di dalam biliknya menatap ke luar jendela. Dia mengabaikan seorang abdi yang menyampaikan amanat untuk memanggilnya berkumpul di balai istana. "Asap dari perapian saja belum sirna. Abdi, sampaikan kepada semua orang untuk menunggu beberapa saat lagi. Saat sudah siap, saya akan segera menemui mereka di balai istana." Agastya berbalik menghadap abdi yang masih berdiri di belakangnya. Dia kemudian mendapati wajah sang abdi terkejut, sebuah tanya pun bersarang, apa gerangan hal yang membuatnya demikian? Sebenarnya, paras dan perawakan Agastya kini terasa semakin mirip dengan Raja Agung Danasura. "Ada apa, abdi?" tanya Agastya mengerutkan dahi penasaran. "Tidak apa-apa, Pangeran. Hamba mohon undur diri menyampaikan amanat pangeran." Sang abdi membungkukkan badannya kemudian meninggalkan Agastya seorang diri. Agastya kembali berbalik badan menatap ke luar jendela. Dia benar-benar belum bisa merelakan kepergian ayahnya. Tetesan air hujan terlihat jatuh secara perlahan membasahi bumi. Seolah semesta juga ikut bersedih atas kepergian Raja Agung Danasura. Dia kemudian memejamkan mata sambil sesekali terus menarik napas, mencoba menenangkan diri. 'Agastya, putraku.' Suara bergema seolah menarik sukma Agastya ke alam bawah sadar. Dia mengedarkan pandangan ke sekitar, lalu di sebuah suasana tenang nan damai Ayahnya berdiri tak jauh dari tempatnya, tersenyum. "Rama …" Agastya memandang haru telah bertemu kembali dengan Ayahnya. Padahal, kepergiannya pun masih terbilang belum lama. Akan tetapi, pertemuan ini lebih dari sekadar melepas rindu. Seolah perpisahan telah sewindu lamanya. "Nanda, relakanlah kepergianku. Jaga tanah Manbara agar tetap makmur. Pimpinlah kerajaan ini dengan damai." "Rama … nanda merasa tak mampu untuk memegang Tanah Manbara tanpa kehadiranmu." "Engkau pasti mampu, Nanda." Sosok perempuan kemudian muncul mendampingi Raja Danasura. "Biung …" Setelah sekian lama, Agastya kembali dipertemukan dengan sang ibu. Perempuan yang paling dicintai oleh ayahnya tersebut tersenyum menawan. "Kembalilah, Nak. Pimpin Tanah Manbara dengan bijak. Relakan kepergian kami," ucap sang ibu. Agastya menitikan air mata. Seraya kedua bola matanya tertutup, sukma pun kembali ke dunia fana. Terdengar alunan dari tetesan air hujan yang berlomba-lomba mencapai bumi. Kemudian, gemuruh guntur menariknya segera tersadar menghadapi kenyataan. 'Maafkan saya, Rama … Biung … saya berjanji akan membawa kehidupan di Tanah Manbara lebih makmur. Kejayaan Manbara tak akan lekang oleh waktu.' Agastya beranjak melangkahkan kaki menuju balai istana. ⁂ "Bagaimana ini, kenapa Pangeran Agastya tak kunjung datang?" Orang-orang di balai istana mulai resah. Pasalnya, waktu sudah berlalu cukup lama setelah mandat dari penasihat kerajaan di sampaikan oleh seorang abdi. Namun di balik keresahan semua orang, ada satu yang diam-diam tersenyum tipis. 'Aku sudah tahu. Engkau pasti tak akan mampu menerima wasiat dari Rama. Tidak apa, Rakanda, adikanda siap menggantikanmu.' Suara hentakan kaki terdengar semakin mengikis jarak. Semua orang tetiba senyap menyambut kedatangannya. Sungguh! Aura terasa seakan Raja Agung Danasura lah yang tengah memasuki ruangan. Kebahagiaan seorang lelaki pun sirna ditelan kekecewaan. "Sembah hormat, Pangeran Agastya." Penasihat kerajaan yang sudah berdiri sejak lama di dekat singggasana raja agung menyambut kedatangannya. "Terima kasih, Paman Kahil." Agastya tersenyum. Dia menilik sesaat kursi kerajaan, tak ada sedikit pun perasaan hinggap di benaknya untuk terduduk di sana. Dia pun berjalan menuju kursi dekat adiknya, Babad Guntara. "Pangeran?" gumam Kahil melihat sikap Agastya. Meskipun wasiat belum secara resmi dibacakan, namun sudah jelas bahwa Raja Danasura berulang kali menitipkan Tanah Manbara ke tangan Agastya. Bahkan, jauh sebelum keadaan kesehatannya memburuk. Agastya sedikit menganggukkan kepala, mengisyaratkan bahwa dia tidak apa-apa. "Baiklah, karena Pangeran Agastya telah hadir di tengah-tengah kita semua, maka wasiat dari Yang Mulia Raja Agung Danasura akan segera saya bacakan." Kahil menatap seorang dayang, kedua matanya mengisyaratkan sebuah panggilan. Gadis muda tersebut kemudian berjalan menghampiri dengan nampan dibawanya. Di atasnya ada beberapa lembar daun lontar kering bertuliskan wasiat dari Raja Danasura. 'Rama, sepatutnya Paman Kahil lebih pantas menggantikanmu. Bukankah, selama ini dia telah menjadi penasihat kerajaan yang baik. Kesetiaan dan kebijakannya tak diragukan lagi, dia sudah banyak makan asam garam kehidupan.' Agastya kembali menutup kedua bola matanya seraya hatinya terus berkata-kata. 'Agastya, putraku. Seseorang yang bijak belum tentu mampu memimpin kerajaan. Bukankah, engkau tahu jika selama ini dia tak pernah ikut dalam peperangan. Meskipun semua masukannya selama ini telah membawa Manbara dalam kemenangan, tapi itu saja tidak cukup.' Dalam pandangan gelap Agastya, suara ayahnya terdengar seolah memberikan sebuah petuah. Namun, hatinya merasa teriris secara perlahan. Mengapa hanya suara sahaja yang didengarnya? Padahal, dia menginginkan sebuah pertemuan lagi di alam bawah sadarnya. "…, dan Agastya sebagai raja baru Tanah Manbara." Semua perhatian tertuju kepada putra mahkota tersebut. Namun, napas menderu justru terdengar di sebelahnya. Agastya jelas tahu, bahwa Babad juga menginginkan singgasana ayahnya. "Jika aku bisa menolak, aku pasti akan memberikan takhta ini padamu," gumam Agastya yang terdengar oleh Babad seorang. Namun, senyum miring justru terlukis di wajah adiknya tersebut. "Aku tidak yakin Rakanda sedia memberikan takhta itu, kalau pun memang Rakanda bisa menolaknya," ucap Babad sengit. "Engkau pun tahu, seluruh rakyat di Tanah Manbara—" "Omong kosong!" Babad mengangkat tubuhnya sambil berteriak. Semua orang tetiba bergeming, terkecuali Kahil. "…, bersama putri Ratnadewi dari kerajaan Sangkara." Kahil menutup lembaran surat wasiat yang sudah dibacakannya. Sebelum kembali membacakan wasiat berikutnya, dia terlebih dahulu mempertanyakan sikap Babad. "Ada apa gerangan, Pangeran Babad?" tanyanya berjalan menghampiri. Dia pun menatap Babad dan Agastya secara bergantian. "Aku sudah cukup mendengar omong kosong dari wasiat Rama." Bibirnya kembali menarik senyum miring terlukis di wajahnya. Kedua bola mata kemudian saling bertukar pandang dengan Kahil. Dia berkata lagi, "Wasiat itu hanya menentukan masa depan Rakanda." Dia mulai melangkahkan kaki untuk meninggalkan balai istana. "Tunggu, Pangeran Babad! Tentu saja wasiat ini juga menentukan masa depanmu. Apa kau tidak ingin mendengar wasiat yang ditinggalkan Raja Danasura untukmu?" ungkap Kahil menghentikan langkahnya. "Tidak. Aku tahu nasibku akan seperti apa." Babad enggan membalikkan badan menghadap Kahil. Dia muak berada bersama orang-orang yang berpihak kepada Agastya. "Nasibku sama sepertimu 'kan? Seumur hidup hanya menjadi pelayan istana dengan gelar seorang penasihat." "Tentu tidak, pangeran." Satu kalimat Kahil kembali menghentikan kaki Babad yang hampir melangkah. Apapun itu, tentu hanya jabatan rendah yang kudapat. Aku tak akan mempunyai kuasa setara dengan Rakanda Agastya, batinnya. "Engkau akan mendapat rahmat dari Pangeran Agastya. Dia akan memberikanmu kehormatan di seluruh Tanah Manbara dan kerajaan-kerajaan b***k. Engkau bebas memilih untuk memimpin salah satu kerajaan tersebut." Babad mengepalkan tangan. Ini semua tak adil. Di saat Agastya mendapat kedudukan bahkan seorang perempuan untuk dijadikan sebagai permaisuri, masa depannya justru berada di tangan kakaknya. Perlahan, dia pun berbalik badan dengan wajah murka. "Apa kau tidak pernah paham, Paman?" ucapnya sengit. Kahil menundukkan kepala. Dia mengerti maksud dari kalimat yang dilontarkan keponakannya tersebut. Babad kembali berbalik badan dan meninggalkan balai istana. Sumpah pun terucap dalam suasana alam sedang muram. Langit yang masih menitikan air hujan dan melukiskan awan gelap seketika menunjukkan kilatan cahaya dari petir. Suara guntur pun menggelegar ke seluruh penjuru bumi. 'Demi langit yang sedang bermuram durja, aku bersumpah akan mengubah sejarah. Aku akan menjadi seorang raja di Tanah Manbara meskipun bukan seorang putra mahkota. Dengarlah ya Gusti, satu pinta dari anak manusia yang tak pernah mendapat keadilan.' Sementara Babad terus melangkah meninggalkan balai istana, semua orang merasa khawatir. Langit tidak pernah menunjukkan pesona seperti hari ini. Jika bukan karena sebuah kekuatan maha dahsyat, maka sebuah bencana akan segera turun. 'Adikanda, apa yang sebenarnya kau pinta pada semesta? Mengapa alam menunjukkan pesona mengerikan seperti ini?' batin Agastya yang sedikitnya tahu semua ini pasti karena Babad. "Jangan khawatir pangeran. Hamba yakin, semua akan baik-baik saja selama engkau menjalankan wasiat Raja Danasura." Kahil menenangkan Agastya yang menunjukkan wajah gelisah. "Saya akan membacakan wasiat Raja Danasura kembali," ungkap Kahil. Agastya pun mengangguk. Dia mungkin bisa berpura-pura untuk menganggap semuanya baik-baik saja. Namun, tak dapat dipungkiri bahwa hatinya tetap gelisah dengan tanda dari alam tadi. Dia pun tak dapat berhenti memanjatkan permohonan pada Sang khalik, agar tak ada musibah datang ke Tanah Manbara. . . . Bersambung •> Pojok kata : - Abdi (seorang abdi) = kata sapaan kepada pelayan laki-laki. - Nanda (Ananda) = kata sapaan kepada anak. - Rama = kata sapaan kepada ayah. - Biung = kata sapaan kepada ibu. - Rakanda = kata sapaan kepada kakak. - Adikanda = kata sapaan kepada adik. - Khalik & Gusti = sebutan untuk Tuhan. - Bilik = ruangan khusus semacam tempat tidur.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

AKU TAHU INI CINTA!

read
9.0K
bc

Legenda Kaisar Naga

read
90.5K
bc

Kembalinya Sang Legenda

read
21.8K
bc

Time Travel Wedding

read
5.4K
bc

Romantic Ghost

read
162.5K
bc

Putri Zhou, Permaisuri Ajaib.

read
3.9K
bc

The Alpha's Mate 21+

read
146.5K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook