bc

Mertua di Antara Kita

book_age18+
186
FOLLOW
1.0K
READ
others
family
love after marriage
pregnant
arranged marriage
twisted
sweet
like
intro-logo
Blurb

Aku pikir, memilih calon calon suami cukup dengan melihat bagaimana ia memperlakukan ibunya. Banyak yang bilang, lelaki yang amat menghormati dan menyayangi ibunya, maka dia pun akan melakukan hal yang sama terhadap sang istri.

Sayangnya, itu saja tidak cukup sebagai fondasi yang kokoh untuk hubungan yang akan dijalani seumur hidup.

Dan badai itu, seringkali datang menggoyahkan bahtera kami.

Entah apa aku bisa sanggup bertahan pada kapal yang selalu terguncang, bahkan hanya karena terjangan ombak kecil.

Entah, apa aku masih sanggup bertahan bersamanya hingga akhir.

Entahlah....

chap-preview
Free preview
Awal dari segala cerita
Ketika seseorang memutuskan untuk menikah, apa yang menjadi pertimbangan mereka? Bagaimana seorang perempuan rela, melepas segala kebebasan dan menukarnya dengan kehidupan rumit setelah berumah tangga? Hari ini ibu memintaku untuk segera menikah, mempertaruhkan seluruh sisa hidupku pada seseorang yang bahkan baru aku kenal tidak lebih dari tiga bulan. Waktu yang cukup singkat untuk mengenal orang asing. Tidak cukup untuk mengetahui apa makanan favoritnya, apa hobinya, film genre apa yang menjadi kesukaannya. "Maaf kalau Ibu terkesan memaksamu untuk menikah dengan Yoga. Dari dulu, setiap ada lelaki yang mendekati, kamu selalu menolak. Ada saja hal yang menurut kamu kurang dari mereka. Terus kamu tunggu apa lagi? Usiamu sudah dua puluh tahun, sudah cukup buat kamu untuk menikah." Ibuku tipe perempuan yang begitu sensitif pada ucapan para tetangga. Yang selalu over thinking tentang apa yang dipikirkan orang lain terhadap keluarga kami. Begitupula yang terjadi pada kisahku kali ini yang harus berakhir pada perjodohan. Dua hari yang lalu, anak tetangga berusia delapan belas tahun telah resmi dipersunting orang. Menimbulkan gonjang-ganjing di antara ibu ibu yang seringkali berkumpul di tukang sayur. Menggosipi aku yang sudah bertahun-tahun bekerja di Ibukota tapi belum juga menikah. Warga kampung selalu punya prinsip sendiri dalam menjalani kehidupan, seperti rumor yang menyatakan bahwa seorang perempuan baru bisa dikatakan cantik, cocok menjadi seorang istri hanya jika dia mampu menaklukan hati lelaki satu desa. Dan itu yang mendasari mengapa ibu kekeuh menginginkan aku menikah dengan Yoga, tetangga desa yang ibunya dikenal cukup berada. Aku menutup mata. Berharap yang baru saja kudengar hanyalah hayalan saja. Sayangnya, tidak. Ketika kedua mata kembali terbuka, ponsel di hadapanku masih menyala. Dengan durasi panggilan yang masih berjalan, menuju menit ke lima belas. "Na, Risna? Kamu masih di sana, kan?" Entah sudah berapa lama aku mendiamkan sesorang yang terus bersuara dari balik ponsel. Tak tega, akhirnya ku ambil kembali benda persegi itu, meletakkannya tepat di telinga. "Iya, Bu. Apa lagi?" "Seminggu lagi bisa nggak ketemu sama calon yang ibu ajukan? Kamu ijin sama atasanmu selama beberapa hari untuk pulang. Bisa?" Aku hanya mampu mengembuskan napas, menolak pun rasanya sudah percuma. "Iya, Bu. InsyaAllah Risna pulang akhir bulan nanti." Tidak ada pilihan lain, usiaku telah menginjak angka dua puluh. Angka yang dirasa cukup 'pas' bagi seorang wanita untuk menikah. Aku jadi ingat percakapan singkat bersama bapak sesaat sebelum aku akhirnya berangkat ke Ibukota, mengadu nasib agar lebih baik di sana. "Berangkatlah kamu ke sana, Nak. Tapi ingat satu pesan Bapak, jaga dirimu, jaga hatimu. Jangan biarkan satu lelaki pun menyentuhmu." "Bapak tenang saja, Risna janji akan jaga diri baik-baik. Dan aku juga janji, hanya akan jatuh cinta dan menikah diusia dua puluh tahun." Kataku kala itu dengan antusias. Dan siapa sangka, ucapan gadis kecil berusia lima belas tahun yang saat itu bahkan belum mengenal apa itu cinta, Tuhan ijabah ucapannya lima tahun kemudian. Untuk pertama kalinya aku merasakan yang namanya jatuh cinta pada sosok yang lembut hatinya, tepat di usiaku yang ke dua puluh tahun. Sayangnya, di waktu yang sama Ibu memintaku untuk pulang, kembali ke rumah. Menemui calon pilihannya. *** "Kenapa mukanya? Kok jelek begitu?" Aku menghela napas kasar. Menyandarkan tubuhku pada punggung kursi. Menatap lelaki di hadapanku. "Nah, sekarang malah ngeliatin aku kayak gitu. Ada apa, sih? Ada masalah?" Hasan meletakkan ayam goreng tepung merek kenamaan yang semula berada dalam pegangan. Menatapku khidmat. "Ibu, Mas. Dia minta aku pulang buat ketemu sama calon pilihannya." Aku melirik sekilas ke arah Hasan, mencari tahu bagaimana ekspresinya ketika aku menyebut kata calon di depannya. "Ya, pulang aja. Diijinin kan, sama bos?" Jawab Hasan cuek, kemudian kembali menyantap ayam goreng tepung dari restoran cepat saji yang sudah memiliki nama itu. Benar bukan jawaban yang aku harapkan. Kenapa dia tidak memintaku untuk tetap di sini, dan bilang bahwa dia akan memperjuangkan aku? Benarkah cintaku hanya bertepuk sebelah tangan pada Hasan? Hasan adalah lelaki pertama yang bersikap ramah padaku setelah kepindahan ku di kontrakan yang letaknya lebih dekat dari tempat kerja. Orangnya biasa saja, namun kerendahan hatinya itu yang membuatnya terlihat luar biasa di mataku. "Cuek banget, sih? Nggak kasihan apa sama aku?" "Kasihan kenapa? Kamu akan segera menikah. Itu bagus, jadi kamu nggak perlu susah susah kerja keras cari uang lagi, kan?" Aku berdecih, sebal. "Seenggaknya bersimpati lah sama aku yang akan menikah sama orang yang nggak aku kenal sama sekali sebelumnya." Sekali lagi Hasan menghentikan makannya. Ya, memang karena makanan di piringnya tinggal tulang saja. "Terus kamu mau gimana? Bukannya pilihan ada di kamu? Temuin aja dulu. Aku yakin, kok kalau orangtua itu nggak akan kasih jodoh yang buruk untuk anaknya." Hasan memang benar. Orang tua mau bagaimanapun, pasti akan memilihkan jodoh yang mereka rasa terbaik untuk anaknya. "Banyak banyak istikharah, minta petunjuk sama Allah, benar enggak dia imam yang pantas buat kamu yang cerewet dan susah di atur," katanya kemudian berdiri. "Dih, dasar nyebelin!" Aku turut beranjak. Meninggalkan potongan d**a ayam yang bahkan belum habis separuh. Jangan bilang mubadzir! Napsu makan ku sudah lenyap sejak semalam Ibu mengabarkan perihal perjodohan itu. Keluar dari restoran, Hasan mengajakku berjalan mengelilingi mall. Naik turun eskalator tanpa arah tujuan yang pasti, hanya melihat lihat saja. "Olahraga dulu, kita. Bakar lemak. Tadi kan habis makan banyak." Katanya ketika kutanya, hendak kemana? Kulihat sobekan kertas tanda masuk bioskop yang sebelumnya sudah kami beli. Masih ada waktu tiga puluh menit lagi sebelum film yang hendak kami tonton, diputar. "Timezone, yuk?" ajakku kemudian. Dari pada mondar mandir nggak jelas, kan? "Enggak, ah. Males. Kayak anak kecil." Hasan menolak, lanjut berjalan. Meninggalkan aku dengan wajah antusias ku berdiri di depan pintu masuk timezone sambil mengacungkan telunjuk ke dalam. Lagi lagi aku hanya bisa menurut, meskipun dengan bibir cemberut. Susah sekali jalan bersama Hasan. Apa apa yang aku sarankan dia tolak. Dia berjalan sesuka hati di depan, seolah-olah kami datang sendiri sendiri. Bukannya menggandeng tanganku, mengajakku masuk ke toko toko seperti yang aku bayangkan tadi pagi sebelum kami berangkat. Akhirnya kami kembali ke gedung bioskop lima menit menjelang film diputar. Aku yang sedang sibuk memutar mata mengamati poster poster yang terpajang di dinding, dibuat terkejut olehnya ketika tiba tiba saja Hasan mendekat dan berbisik ditelingaku. "Semoga hari ini bisa menjadi salah satu kenangan manis untuk kita sebelum kamu menikah."

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

ARETA (Squel HBD 21 Years of Age and Overs)

read
58.2K
bc

Yes Daddy?

read
798.8K
bc

Sweetest Diandra

read
70.5K
bc

Hubungan Terlarang

read
501.9K
bc

HYPER!

read
559.3K
bc

Aku ingin menikahi ibuku,Annisa

read
55.6K
bc

Everything

read
275.8K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook