PROLOG
“Mas mau nggak jadi pacar bohongan saya?”
Ajeng tampak serius dengan ucapannya. Itu terlihat dari bagaimana Ajeng menatap Arbi tanpa berkedip sedikitpun.
“Kamu segitu hopeless banget yah? Sampai nggak rela mantan kamu nikah duluan,” sindir pria itu yang langsung membuat Ajeng mengerucutkan bibirnya. Arbi tersenyum di sebalik kaleng soda yang tengah ia minum.
“Bukan hopeless, mas. Cuma nggak mau dia bahagia. Selama ini dia selingkuh di belakang saya,” terang Ajeng, tampak jengkel.
“Tapi nggak mesti pura-pura juga, kan?” sanggah Arbi lagi.
Wanita itu terlihat semakin kesal karena permintaan konyolnya ditolak. Padahal Ajeng pikir bisa sedikit mendapatkan manfaat dari ketampanan duda di hadapannya itu, namun nyatanya Arbi memang sulit untuk diajak bekerja sama. Pria ini memang kaku dan kurang sosialisasi. Yang Ajeng pikir menggemaskan, kini Arbi tampak malah menyebalkan di hadapannya.
“Sepertinya memang kekanakan. Ya sudahlah, anggap saja saya gila tadi ngajak mas jadi partner.”
Ajeng bangkit dari duduknya lalu memakai sling bagnya untuk segera beranjak. Arbi lantas menarik tangan Ajeng untuk kembali duduk di sofa.
“Kok marah?”
“Saya nggak marah –“
“Itu wajah kamu ketekuk gitu. Apalagi kalau bukan marah?”
Ajeng memalingkan wajahnya sambil menghela napas, “Saya nggak marah sama mas –“
“Kamu kan belum dengar jawaban saya.”
Ajeng berdiri sambil menunggu kelanjutan ucapan Arbi yang menggantung.
“Ok..lets do it.”
Ajeng menoleh sambil membulatkan matanya tak percaya, “Serius mas mau?”
Arbi mengangguk singkat. Ia kemudian mengambil ponselnya lalu menuliskan sesuatu.
“Tanggal dua puluh sembilan kan? Saya pasti datang buat temenin kamu undangan. Tulis alamat kamu di sini.” Arbi menyerahkan ponselnya pada Ajeng. Dengan senang hati, Ajeng menuliskan alamat rumah dan nomor ponselnya untuk bisa dihubungi.
Sambil menunggu Ajeng selesai menulis, Arbi memperhatikan gadis itu diam-diam dengan seksama. Tak lama, pria itu lantas mencondongkan tubuhnya kemudian bicara dengan Ajeng yang jarak diantara mereka itu bahkan bisa membuat napasnya menerpa poni Ajeng yang ada di hadapannya.
Ajeng selesai menulis lalu menyerahkan ponsel Arbi yang tengah menatapnya serius. Ajeng sedikit menjauhkan wajahnya karena pangling.
Aura pria yang menduda memang beda yah, gumamnya dalam hati.
“Terus..saya dapat kompensasi apa dari hubungan palsu ini?”
###