Sosok Berambut Panjang

1394 Words
Pocong pink masih duduk di tempat favoritnya, matanya memperhatikan rembulan purnama yang telah berhasil menepis awan hitam di sekelilingnya. Sesekali matanya teralihkan oleh kelelawar yang terbang di sekitar pohon rambutan yang sedang berbuah ranum. Dia menghirup udara yang harum sekali dihidungnya, aroma bau pesing yang menguap dari wadah penampungan WC siswa dan guru. Toilet itu berada sekitar sepuluh meter dari tempatnya berada. Untuk merasakan wangi yang lebih sensasional sebenarnya dia hanya perlu menuju ke sana dan masuk ke awal sumber di mana sisa-sisa makanan dan minuman manusia dibuang.Tapi di sana adalah daerah kekuasaan Mumun, pocong bermata merah yang galak sekali. Dia tidak berani melanggar wilayah itu. Di kelas yang berada di lantai dua, terlihat Anya dan Unyu berlarian. Mereka sedang bermain di kelas 12 IPS 2, bermain petak umpet dan kadang membolak-balikan kursi, padahal sudah diletakkan di atas meja sore tadi  oleh siswa yang piket. Sesekali mereka berlari ke ruang sebelah, kelas 12 IPS 1 dimana Omes tinggal, tentu saja mendapatkan hadiah omelan dari empunya ruang kelas tersebut. Setelah puas bermain di lantai itu, Anya mengajak adiknya menyeberang ke kelas 12 IPA yang ada di kelas seberang. Unyu mengiyakan ajakan Kakaknya, dia berlari mengejar Anya yang sudah duluan. Hampir saja Unyu menabrak Kakaknya yang berdiri mematung di anak tangga kedua dari atas, dia mencolek Abangnya di bagian pinggang. Anya terkejut sekali, nampaknya dia sedang tegang, ada yang membuatnya berdiri ketakutan. “Ada apa sih, Bang?” ujar Unyu, dia mencari tahu alasan mengapa muka Anya tegang. Pertanyaan itu dijawab dengan tatapan Anya yang menunjuk ke arah bawah. Unyu melihat ada apakah di sana? Mendadak mukanya juga ikut tegang, matanya menangkap sesosok putih berambut panjang, terjurai hingga menutupi wajahnya. Baju yang digunakannya putih pucat menjuntai hingga menutupi kakinya. Kedua tuyul itu merinding saat mendengar tangisannya. “Siapa itu, Bang?” Unyu berbisik, dijawab oleh gelengan kepala Anya menandakan diapun tidak tahu.. “Kita turun yuk, Nyu. Bilangin Om Pocong ada hantu baru di sini.” “Tapi gimana lewatnya, Bang? Dia ‘kan duduk di jalanan yang akan kita lewati.” “Pelan-pelan jalannya.” Kakak beradik itu lalu turun perlahan, kaki mereka menyusuri anak tangga satu persatu dengan wajah tegang. Semakin dekat semakin menegangkan rasanya. Suara tangis dari sosok itu terdengar kian nyata saat kian dekat. Wangi bunga kamboja menyapa indera penciuman, namun tiba-tiba berganti dengan bau bangkai menyengak. “Bau bangkai, Bang.” Unyu berbisik ke Abangnya, dijawab dengan sebuah telunjuk kanan yang ditempelkan di depan bibir oleh Anya. Kini jarak antara kedua hantu cilik itu dengan sosok itu hanya berjarak dua anak tangga, jika saja mereka punya napas pasti ditahannya, mungkin bisa sedikit menghilangkan tegang yang dirasakan oleh keduanya. Anya menurunkan kaki kanannya menapaki anak tangga yang lebih bawah lagi. Mereka terkejut saat tiba-tiba makhluk itu mengangkat wajahnya dan menampakkan mata yang merah menyala. Seketika langkah kedua makhluk botak itu terhenti, muka mereka menegang. “Ada apa, Botak?” ujar sosok itu seraya menyeringai. Belum hilang rasa terkejut, mereka sudah dikagetkan dengan tertawa melengking tinggi.  Kakak beradik itu tidak bisa lagi mengendalikan rasa takutnya. Sekuat tenaga kaki kecil mereka berlari, menapaki lapangan tengah yang biasa digunakan berkumpul siswa saat ada pengumuman. Mereka menuju ke sebuah tempat yang ada di samping kiri bangunan koperasi sekolah, tempat favorit Pocong. “Om ... Om Pocong .... “  Suara Unyu terputus-putus karena telah berlari dari ujung tangga tadi. Jaraknya sekitar dua puluh meter dari sana sampai ke tujuan, dengan kaki kecil mereka jarak itu mungkin sekitar dua  atau tiga kali lipat dari langkah kaki manusia dewasa. Pocong merasa kenyamanannya terganggu dengan kedatangan Anya dan Unyu, dia menggerutu. Matanya melotot ke arah kedua makhluk itu dengan sorot kesal. “Haduh, ada apa sih, Botak? Kalian senang banget mengganggu gue.” “Maaf, Om Pocong, kita nggak niat ganggu kok. Bang lu aja yang ngomong, Bang,” ujar Unyu mencolek abangnya. Anya mengangguk mengiyakan. “Begini, Om, kita tidak bermaksud mengganggu kenyamanan, Om. Tapi di tangga yang mau naik ke lantai atas itu ada hantu baru.” “Hantu baru? Bukannya itu si Pocong Mumun? Biasanya dia yang suka menyamar jadi makhluk lain 'kan.” “Kayaknya bukan dah, Om. Rambutnya panjang sampai ke bawah, bajunya putih panjang menutup kakinya. Awalnya dia kedengaran lagi menangis, tiba-tiba tertawa keras ngagetin banget. Suara tawanya seram banget lag. Om.” Anya menceritakan. “Tadi kalau kita punya jantung bisa copot itu, Om. Pokoknya ngagetin banget dah.” Unyu menimpali Kakaknya. “Kunti bukan?” “Lho? Om udah kenal?” kata kedua Tuyul kembar itu hampir bersamaan. “Belum, maksud gue biasanya dengan ciri-ciri seperti itu dari Bangsa Kunti atau nama panjangnya adalah Kuntilanak. Nah, mereka tuh biasanya punya nama masing-masing tuh. Pokoknya kayak gue dan Mumun aja, walaupun dari bangsa yang sama tapi punya nama masing-masing juga punya ciri khas tersendiri.” “Oh, begitu, Om. Emang kalau bangsa Kunti kayak gitu ya, Om?” “Maksud lu kayak gimana, Nya?” “Pertama dia wangi bunga kamboja, senang dah Anya dengan harumnya.Tiba-tiba berubah jadi bau bangkai. Najis tralala, bau banget ya, Nyu? Mau muntah rasanya.” kata Anya yang disambut dengan anggukan Unyu. “Emang kalau bangsa mereka kayak begitu, nggak jelas.” Pocong tersenyum meledek, Tuyul kembar itu tertawa. “Kalau mereka asalnya dari mana sih, Om?” tanya Unyu. “Maksudnya?” “Apa yang menyebabkan dia jadi Kunti, Om?” Unyu menjelaskan maksud pertanyaannya. “Biasanya perempuan yang meninggal saat hamil bisa jadi Kunti. Tapi nggak semua sih, hanya yang bunuh diri atau meninggal dalam keadaan tidak wajar saja, misalnya hidupnya diakhiri dengan dibunuh atau bunuh diri.  Mereka yang soleha dan meninggal secara wajar biasanya tidak mengalami masa ini.” Anya dan Unyu mengangguk paham, Pocong yakin sekali dalam hitungan jam mereka nggak akan ingat lagi entah apa yang menyebabkan mereka pelupa seperti itu. Mungkin karena otak mereka belum disiapkan untuk mengingat dengan baik, walaupun umur mereka sudah ratusan tahun, sejatinya mereka itu anak kecil. “Terus gimana, Om? Kalau itu Kunti ada di situ terus kita nggak berani main di sana, matanya seram banget.” “Entar gue ke sana. Sementara waktu kalian mainnya di selasar sini saja dulu, sampai kelas ujung tembok itu. Kalau belum puas juga naik ke kelas atas di gedung dua.” Pocong menunjukkan area bermain kedua tuyul itu dengan mulutnya. "Gedung dua mana sih, Om?” Tanya Anya, sepertinya adiknya-pun belum tahu yang mana. “Dasar Botak! Tinggal di sini udah puluhan tahun, masa belum tahu gedung dua,” Pocong tersungut kesal. “Maaf, Om. Kita ‘kan hantu yang Amnesia.” Unyu cengar-cengir sambil mengangkat ke dua jarinya tangan kanannya ke atas membentuk huruf 'v'. “Coba kalian perhatikan arah gue menghadap.” Kedua makhluk botak itu berusaha mencerna apa yang dikatakan Pocong. Setelah mengerti, mereka memperhatikan arah badan Hantu bungkus yang menghadap Timur. “Oh, itu gedung dua. Itu sih aku sudah tahu, Kita menyebutnya apa, Nyu? Rumah si Dora?” “Rumah si Dora? Maksud kalian apa?” Pocong mengernyitkan dahinya walaupun tak terlihat jelas. “Si Dora, Om. Masa nggak kenal? Hantu anak kecil yang pake baju seragam TK itu.” Anya menjelaskan. “Yang rambut depannya diponi?” tanya Pocong memperjelas. “Nah benar, Om. Itu dia yang kita panggil si Dora,” kata Unyu. “Dia namanya Norma, bukan Dora, Botak.” Ingin rasanya Pocong menjitak kepala mengkilat kedua tuyul itu, sayang tangannya terikat di dalam kain kafan. “Ya habis kayak Dora yang di tivi itu. Dia itu hantu yang jahil dan usil, kita nggak berani ngajak mainnya.” ujar Anya “Jahil gimana, Nya?” tanya Pocong. Dia baru tahu bahwa Norma itu suka jahil. “Masa dia kalau ketemu  suka melorot-lorotin celana kita, Om. Emangnya kita tuyul apaan.” Anya tersungut. “Halah, kalian ada-ada saja. Emang kalian tuyul apaan coba? Udah sana main dulu sana! Gue mau melihat Kunti.” “Okey, Om. Kalau galak usir aja, jangan dibiarin lama-lama di sini. “ “Kalian tenang saja, itu urusan gue. Dia ada di tangga 'kan?” “Iya, Om. tadi dia ada di sana” jawab Anya dan Unyu bersamaan. Dalam sekejap mata tubuh Pocong sudah tidak ada di depan kedua tuyul itu, dia sudah berpindah tempat ke tangga yang tadi diceritakan oleh mereka. Kedua makhluk botak itu kembali berlarian, mulai dari selasar kelas 7D sampai kelas ujung, ruangan kosong yang ada di samping tempat penampungan sementara sampah sekolah.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD