bc

The Adventure of The 7th Teens

book_age16+
1.2K
FOLLOW
6.9K
READ
adventure
dark
time-travel
kickass heroine
superhero
twisted
mystery
genius
superpower
special ability
like
intro-logo
Blurb

Tahukah kalian bahwa di suatu bagian di tengah bumi ada tempat yang bernama Pusat Bumi ?

Banyak manusia yang mencoba mencari jalan masuknya. Tapi, anggapan mereka bahwa gerbang utama hanya satu adalah KESALAHAN terbesar.

Tujuh, adalah angka yang dapat membawa mereka menuju impian.

Fakta yang tidak diketahui mereka adalah hanya orang-orang muda yang masih dengan tulus dan sepenuh hati memikirkan 'hal terpenting' bagi mereka yang dapat menembus Pusat Bumi...

chap-preview
Free preview
1st Teen - Michelle Lambert
Tahukah kalian bahwa di suatu bagian di tengah bumi ada tempat yang bernama Pusat Bumi ? Banyak manusia yang mencoba mencari jalan masuknya. Tapi, anggapan mereka bahwa gerbang utama hanya satu adalah KESALAHAN terbesar. Tujuh. Adalah angka yang dapat membawa mereka menuju impian. Fakta yang tidak diketahui mereka adalah hanya orang-orang muda yang masih dengan tulus dan sepenuh hati memikirkan 'hal terpenting' bagi mereka yang dapat menembus Pusat Bumi...              Terdengar suara buku yang menutup dan sedikit debu beterbangan dari tiap halamannya. Seorang gadis belia dengan rambut panjang berwarna cokelat duduk bersandar di balik pohon maple setelah membaca sepotong paragraf dari buku lama 'Treasure of the Earth'. Ia menguap dengan malas dan memandang pada sekawanan burung gereja yang terbang beriringan. Angin sepoi-sepoi dan wangi musim semi membuat kelopak matanya semakin berat. Rerumputan kecil terasa menggelitiki lembut betis kakinya. Tidak lama kemudian, bunyi lonceng berdentang tiga kali. Suaranya bergema di perbukitan itu. Gadis itu tetap diam dan masih menikmati suasana damai yang menyelimutinya. Ia hampir saja tertidur dalam waktu beberapa menit, jika tidak ada yang memanggilnya dengan suara keras. “Michelle !!! What're you doing there ???” seorang gadis muda lainnya memanggilnya dengan aksen Inggris dari kejauhan.             Gadis yang bernama Michelle tersentak kaget dan menoleh ke belakang untuk melihat siapa yang telah menganggu istirahat siangnya. Ia menggerutu pelan dan mengenali gadis berkuncir yang memanggilnya tadi. “Ada apa, Rowena ???” balasnya dengan berteriak juga. Ternyata suaranya juga beraksen Inggris yang sangat kental. Rowena tidak menghampiri Michelle dan masih tetap berteriak saat berbicara dengan Michelle. “Istirahat siang sudah selesai ! Kau mau sampai kapan di sana ???” Rowena memicingkan mata untuk melihat Michelle. “Aku tidak masuk kelas hari ini jika si Cerewet Robinson yang mengajar !” jawab Michelle lagi. Terdengar suara Rowena yang menghela napas pasrah dan ia berbalik meninggalkan Michelle.             Setelah dipandanginya siluet Rowena yang menghilang di balik perbukitan kecil, Michelle berbalik kembali dan menyandarkan dirinya pada pohon dengan senyaman mungkin. Ia berusaha untuk tidur lagi. Perlahan-lahan, ia mulai dapat merasakan angin sepoi-sepoi kembali menerpa dan rasa kantuknya menyerang kembali. Michelle hampir menyatu dengan lingkungan sekitarnya jika tidak karena deringan ponselnya yang kembali mengejutkannya. Ia terlonjak sesaat dan merogoh saku jaketnya. Dipandanginya layar ponselnya yang masih berdering untuk melihat siapa yang meneleponnya. “Nomor tak dikenal,” gumamnya dan ia mengangkat ponselnya karena penasaran. “Hello ?” jawabnya. Terdengar suara laki-laki yang mengoceh dari seberang. “Hello ??? Siapa ini yang bicara ?” Michelle mulai mengernyitkan keningnya. Terdengar kembali pria tersebut mengoceh dalam bahasa yang tak dimengerti olehnya. Ia hanya dapat menangkap sebuah kata, 'Milan' dan pria itu terus mengulangi kalimat yang sama. “Excuse me, sir. Sepertinya anda salah sambung. Saya tidak mengerti apa yang anda katakan. Dan di sini bukan Milan. Anda menelepon ke Wiltshire. Jika anda tidak tahu dimana Wiltshire, saya akan memberitahu anda. Wiltshire ada di Inggris,” kata Michelle dengan menekankan kata-katanya. Ia langsung menutup ponselnya tanpa mendengar jawaban dari pria tersebut. Michelle menggerutu lagi dan beranjak bangkit dari tempatnya. Dengan malas, ia berjalan menuruni bukit melewati jalan yang dilalui Rowena tadi. Niatnya untuk tidur sudah sirna karena gangguan telepon tadi.             Michelle sampai di sebuah bangunan kokoh dengan pemandangan yang masih asri di sekelilingnya. Sebuah gerbang dengan lambang matahari yang terbuat dari kuningan dilewatinya. Ada huruf-huruf indah yang meliuk di atas pintu masuk. Huruf-huruf itu berbunyi 'St. Jordan High School'. Tidak ada penjaga di pintu masuk itu. Michelle dengan santai masuk dan menyusuri lorong-lorong terang dengan jendela kayu yang berjejer. Ada beberapa pintu dan terdengar suara-suara dari kelas-kelas lain. Michelle menaiki sebuah tangga lebar dari batu dan sampai pada lorong lainnya. Diraihnya daun pintu ruangan paling ujung dan ia membukanya. Semua mata di dalam kelas itu memandangnya termasuk guru yang sedang mengajar. “Hu..uhm...” seorang pria paruh baya berdeham hingga membuat semua mata kembali memandangnya. Lelaki dengan rambut yang setengah botak, kumis dan jenggot yang melingkar di sekitar bibirnya serta kacamata berlensa tebal menatap Michelle yang masih berdiri di depan pintu. “Wah, wah. Tidak biasanya kau hadir di mata pelajaranku, Miss Lambert. Dan kali ini kau terlambat setengah jam,” suaranya meluncur dengan mulus. Prof. Robinson memandang jam tangannya. “Sorry, sir. Saya sakit perut tadi dan baru kembali dari ruang kesehatan,” alasan Michelle. Raut wajahnya menandakan bahwa ia malas berbicara dengan Prof. Robinson. “Mungkin lebih tepatnya kau kembali dari toilet karena sakit perutmu tidak berhenti hingga kau diare,” cela Prof. Robinson. Michelle menghela napas panjang dan tidak membalas perkataannya.  Ia langsung berjalan ke tempat duduknya tanpa mendengar izin dari Prof. Robinson terlebih dahulu. Wajah pria tua itu sudah hampir memerah karena kesal tapi ia tidak jadi melanjutkan perkataanya dan meneruskan pembahasannya. Prof. Robinson seperti menganggap Michelle tidak ada di ruangan itu.             Rowena mencondongkan tubuhnya sedikit ke depan dan berbisik pada Michelle yang duduk bersandar di hadapannya. “Bukannya kau bilang kau tidak akan menghadiri pelajaran Prof. Robinson ?” tanyanya. Michelle memiringkan wajahnya dan berbisik dari sudut bibirnya. “Ada gangguan. Ada orang gila yang menghubungiku dari Milan. Aku tidak ingin tidur lagi gara-gara itu,” jawabnya. Seorang pria berambut cepak yang duduk di sebelah Michelle mecondongkan dirinya juga ke arah Michelle. “Berarti usahaku sepertinya manjur,” katanya pelan. Michelle mendelik padanya. “Jadi, itu kau, Cod ??? Bagaimana bisa kau berbicara bahasa Italia ?” Michelle hendak marah pada Coddie tapi dia juga penasaran. “Aku tidak berbicara Italia. Like this, terzzepzhy la Milan dasic bleau,” katanya terkekeh senang. Michelle memelototinya. “Apa artinya ?” bingung gadis bermata biru itu. “Aku hanya sembarangan bicara, kau tahu,” Coddie menahan tawanya dan mengelak dari pukulan Michelle. Prof. Robinson mendelik pada kegaduhan mereka. Tapi, nampaknya mereka tidak memperdulikan guru itu. “Jadi, apa rencanamu untuk liburan minggu ini ?” tanya Rowena lagi. “Berapa hari kita libur ?” Michelle mengernyitkan keningnya. “Dua minggu. Jadi ?” Rowena memberi tanda dua dengan jarinya pada Michelle. “Aku tidak mau mengunjungi Grittleton, Ford, Nettletown, Tiddleywink dan Chippenham lagi, okay ? Sarankan aku tempat yang lain. Aku sudah bosan ke sana,” Michelle memutar-mutar jarinya di udara. “Kau mau yang penuh tantangan atau hanya untuk rekreasi ?” Coddie angkat bicara. “Hmm... aku juga sudah bosan dengan tempat rekreasi. Tantangan saja kalau begitu,” jawab Michelle. “Kau yakin ?” tanya Coddie dengan mengangkat sebelah alisnya hingga membuat Michelle penasaran. “Memangnya kenapa ? Oh, come on...katakan saja, Cod,” Michelle memandang sebal pada lelaki itu. “Pluckley,” kata Coddie langsung. Rowena dan Michelle menatapnya bingung. “Kau belum pernah mencoba ke Pluckley 'kan ?” ulang Coddie karena tidak mendengar adanya tanggapan dari kedua temannya itu. “Maksudmu desa paling berhantu itu ?” Rowena memelototi Coddie dengan pandangan tak percaya. Coddie mengangguk dan tersenyum. “Menarik bukan ? Sensasi seram belum pernah ada di kamusku ! Kalau kau setuju ke Pluckley, aku ikut,” tambah Coddie dan dia memandang Michelle yang tidak menjawabnya. Ia terlihat sedang berpikir banyak. “Aku pikirkan dulu,” jawabnya singkat dengan pandangan mata kedepan. Tidak berapa lama, sebuah benda melesat hanya beberapa senti dari rambutnya karena ia sedikit mengelak. Sialnya, yang terkena penghapus terbang itu adalah sebelah pipi Coddie. Dia mengutuk pelan dan memandang ke depan sembari menghapus beberapa debu bekas kapur yang mendarat di pipinya.             Prof. Robinson memandang mereka dengan sebal. Ia sudah akan melempar barang lain ke arah mereka jika Coddie tidak menoleh dan memandangnya. “Maafkan aku, Mr. Cass. Penghapus itu sedikit melenceng dari bidikanku,” katanya dengan nada pelan pada Coddie. Coddie tanpa menjawab hanya bersungut dan bersandar di tempat duduknya. “Dan kau, Miss Lambert. Jika kau tidak berniat untuk mengikuti kelasku, maka dengan senang hati aku mengizinkanmu untuk keluar. Tidak perlu masuk pun tidak apa-apa,” nada suara Prof. Robinson sedikit meninggi dengan menggertakkan giginya. Michelle hanya memandang sebal padanya. Ia mengangkat kedua tangannya seperti orang yang akan menyerah. “I'm quit,” jawabnya santai dan dia mengambil tasnya lagi. Michelle berdiri dan meninggalkan kelas itu dengan dipandangi oleh seluruh murid.             Tanpa berpikir panjang, Michelle kembali menyeret kakinya ke perbukitan favoritnya untuk bersantai. Ia sebenarnya tidak suka membolos jika bukan karena Prof. Robinson yang tidak menerima perkataannya minggu lalu. Michelle mengomentari bagaimana guru kimia tersebut salah memberikan rumus. Awalnya, Prof. Robinson memaklumi kesalahannya dan merubah rumus itu. Namun, hanya dalam beberapa menit kemudian, Michelle mengomentari lagi bahwa perbaikan rumus yang diberikan Prof. Robinson masih salah sehingga pria paruh baya itu tersinggung dan menganggap Michelle ingin mempermalukannya. Akibatnya, Prof. Robinson selalu menjawab ketus terhadap Michelle dan berakhir dengan Michelle yang enggan untuk masuk pada kelasnya lagi.             Michelle sebenarnya termasuk anak yang cukup jenius karena ia telah mengingat semua isi buku dalam kepalanya. Membaca adalah hal yang paling disenanginya walaupun ia bukan seorang kutu buku. Satu-satunya hal yang paling dibanggakannya adalah ia dapat dengan mudah mengingat kata-kata dan kalimat. Tapi, ia hanya membaca apa yang ia senangi saja. Dan tentu saja sains adalah salah satu mata pelajaran yang disenanginya. Namun, semenjak Prof. Robinson masuk, kesenangan Michelle sepertinya berakhir. Ia tidak lagi membuka buku sainsnya sejak terakhir kali ia membacanya hingga tuntas.             Sebuah pohon maple besar yang teduh kembali menyambutnya dan membuat pikiran Michelle segera beralih. Ia terhenyak duduk di bawahnya dan mengambil buku besar berwarna krim dengan tulisan hitam Treasure of the Earth. Ia mendapatkan buku itu saat membereskan gudang tua di rumahnya dan buku itu seperti menarik minatnya. Michelle baru mulai membaca halaman pertama buku itu. Isinya sederhana bagi gadis itu, tapi ada sesuatu yang membuatnya ingin terus membaca halamannya. Orang-orang juga tidak akan menyangka bahwa keberadaan Pusat Bumi sebenarnya DEKAT dengan mereka. Mereka yang terlalu sibuk tidak akan bisa melihatnya bahkan meliriknya. Jika kau ingin mengetahuinya, carilah dengan membuka semua 'mata' yang ada pada dirimu. Ini bukanlah sebuah cerita belaka. Sebuah teka-teki yang belum pernah dialami oleh semua orang. Mungkin saja kau adalah “Yang Terpilih” dari sekian banyak yang berjuang. Jika kau ingin mencoba, lanjutkanlah petunjuk halaman ini. Jika kau menganggap ini lelucon, tutuplah segera buku ini.                 Michelle menarik napas panjang sebelum membalik halamannya. Ia merasa bahwa buku itu seperti sedang mempermainkannya dengan lelucon seperti yang tertulis. Tapi, ia juga merasa ada perasaan takut untuk membalik halamannya. Michelle segera menepis anggapan itu dengan berpikir bahwa buku yang dipegangnya hanyalah buku biasa. Tangannya berkeringat hingga ia harus mengeringkannya terlebih dahulu. Setelah beberapa menit, ia membalik halamannya perlahan. Tulisan di buku itu berubah dari tulisan sederhana menjadi tulisan yang agak tebal dengan tinta hitam. Untukmu yang berani. Temukanlah “dirimu yang satu lagi” di tempat yang tidak pernah terjamah orang. Yang telah ditinggalkan oleh mereka yang menganggap tempat itu mengerikan. Yang telah menjadi tempat sunyi tanpa sidik jari manusia. Sebuah pohon Giant Sequoia sebagai penanda bahwa kau telah sampai pada tempat yang tepat. Perhatikanlah sekelilingmu dengan baik-baik karena ia ada di sana. Kau baru boleh membalik halaman ini jika kau telah menemukannya. Tentu saja, kau harus berjuang agar bisa mendapatkan “dirimu yang satu lagi”. Semua yang telah hilang membutuhkan pengorbanan untuk membuktikan bahwa kaulah orang yang tepat.           Ada sebuah gambar pohon besar yang berbuku-buku di bawahnya. Michelle menghela napas setelah membaca lembaran itu. Ada aura misterius dalam kata-kata di buku itu. Ia mencoba untuk membalik halamannya karena penasaran akan kata-kata itu. Anehnya, kertas kuning itu seperti menempel pada halaman yang tadi dibaca oleh Michelle. Ia tidak bisa menarik lembaran itu dan seakan memang halaman berikutnya terkunci sebelum ia melakukan apa yang diminta buku ini. Dengan agak bergidik, ia menutup buku itu dan mencoba melihat siapa pengarangnya. Tidak ada nama. Hanya judul yang terpampang dalam sampulnya. Michelle membolak-balik buku itu untuk mencari nama siapapun yang mungkin terselip di antara tulang buku. Tetap saja tidak ada.           Terdengar dentang lonceng kembali bergema hingga mengejutkan Michelle. Ia menengadah dan memandang ke belakangnya. Tidak ada orang tetapi suara berisik dan keramaian mulai terdengar. Sepertinya dari sekolah, pikir Michelle. Ia kembali bersandar pada pohon dan berusaha memikirkan kata-kata buku itu. Rasa penasarannya semakin besar apalagi karena ia tidak bisa membaca kelanjutannya. “Diriku yang satu lagi...?” gumamnya pelan dan ia mengernyit bingung. Dua bayangan besar tiba-tiba menutupi hadapannya. Michelle menengadah untuk melihat siapa yang berdiri di depannya. “Kau bicara apa tadi ?” tanya Rowena yang ternyata datang bersama Coddie. “Ah, tidak. Hanya mimpi saja,” kilah Michelle. Mereka berdua langsung duduk di sebelahnya. “Makanya jangan hanya tidur disini saja. Jadi, kau setuju tidak untuk pergi ke Pluckley ? Aku benar-benar penasaran dengan tempat itu,” Coddie memandang Michelle dengan penuh semangat.             Michelle kembali berpikir tentang Pluckley. Itu adalah sebuah desa kecil di daerah Kent. Ia juga pernah mendengar bahwa tempat itu dijuluki sebagai desa paling berhantu di Inggris. Michelle terdiam lama. Ia sama sekali tidak takut dengan isu dan rumor-rumor soal hantu itu. Ia hanya penasaran dengan sebuah tempat yang tiba-tiba muncul di pikirannya. “Screaming Woods,” katanya pelan tiba-tiba. Coddie memandangnya. “Oh, kau tahu juga tempat itu ? Hutan itu terkenal di Pluckley,” kata Coddie. Michelle kembali memandangnya. “Okay, aku ikut ke Pluckley. Kapan berangkat ?” tanya Michelle yang dibarengi oleh kekagetan di wajah Rowena. “Minggu ini kita bisa langsung pergi. 'kan sudah libur,” jawab Coddie enteng. “Wait, wait. Michelle, kau yakin kau mau ke tempat paling berhantu itu ?” Rowena memandangnya tajam. Michelle menatapnya lurus dan mengangguk. “Memangnya kenapa ? Aku sama sekali tidak takut pada hantu kok. Kau tidak mau ikut ?” tanya Michelle. Rowena sepertinya enggan untuk ikut dengan mereka karena ia terkenal sebagai penakut. “Kalau kalian tidak ada, kurang seru. Err, baiklah. Aku ikut dengan kalian,” katanya kemudian. Nada suaranya masih menunjukkan kalau dia masih ragu untuk ikut. “Good ! Jadi, semuanya ikut !” seru Coddie dan pria muda itu beranjak dari duduknya. “Aku akan cari informasi bagaimana kita ke sana nanti,” sambungnya dan ia kembali ke arah sekolah.             Tidak berapa lama, Rowena telah kembali ke arah sekolah untuk mengambil tasnya. Sudah waktunya pulang, pikir Michelle. Ia pun berdiri dan meninggalkan pohon maple itu.             Ia menyusuri jalan-jalan kecil dengan rerumputan yang masih sangat hijau dengan beberapa tanaman kapas. Ia kembali berpikir dan mulai mempertanyakan kenapa Screaming Woods bisa muncul secara tiba-tiba di kepalanya. Pelan-pelan, Michelle mulai menganalisisnya. Screaming Woods adalah hutan yang terkenal dengan keseramannya dan tidak ada orang yang berani untuk masuk ke sana sendirian karena sering terjadi orang hilang dan tak pernah kembali lagi. Menurut cerita yang didengarnya, sering terdengar suara-suara dari orang-orang yang pernah menghilang di sana. Michelle tiba-tiba teringat lagi akan potongan kalimat dari “Treasure of the Earth”. “Temukanlah 'dirimu yang satu lagi' di tempat yang tidak pernah terjamah orang...Yang telah ditinggalkan oleh mereka yang menganggap tempat itu mengerikan... apakah yang dimaksud Screaming Woods ? Ya, tempat itu dianggap mengerikan...” gumamnya sambil menendang sebuah kerikil kecil. “Yang telah menjadi tempat sunyi tanpa sidik jari manusia...Screaming Woods tidak berani dimasuki oleh orang-orang di sana...berarti tidak tersentuh...” katanya lagi. Michelle mendadak merasa sangat bersemangat dan merasa teka-teki buku itu dapat dipecahkannya. Ia merasa hanya perlu menuju ke Pluckley untuk menyelesaikannya.             Michelle kembali terdiam dan mulai berjalan ke rumahnya dengan tenang sembari menunggu hari dimana ia akan berusaha memecahkan teka-teki buku itu.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Nikah Kontrak dengan Cinta Pertama (Indonesia)

read
454.3K
bc

Enemy From The Heaven (Indonesia)

read
60.7K
bc

Suamiku Bocah SMA

read
2.6M
bc

Pernikahan Kontrak (TAMAT)

read
3.4M
bc

JODOH SPESIAL CEO JUDES

read
289.2K
bc

Possesive Ghost (INDONESIA)

read
121.4K
bc

Istri Kecil Guru Killer

read
156.8K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook