bc

Young Wifey (Bahasa Indonesia)

book_age18+
16.8K
FOLLOW
122.5K
READ
forced
arranged marriage
brave
dare to love and hate
enimies to lovers
illness
virgin
Writing Academy
polygamy
wife
like
intro-logo
Blurb

WARNING! UNTUK USIA 18+

HARAP BIJAK DALAM MEMILIH BACAAN!

Sekian terima Love.

* * *

Fera, seorang gadis berusia 18 tahun. Dia gadis belia yang baru saja lulus SMA.

Cita-citanya sederhana. Ia hanya ingin menggapai impian layaknya gadis seusianya.

Namun, malam yang berlumur air hujan itu menjadi pemutus semua mimpi cerahnya.

Siapa yang menyangka kalau malam itu, seorang pria yang sudah menikah datang ke rumahnya membawa serta keluarganya untuk melamar Fera.

Apakah Fera akan menerima lamarannya?

Ikuti kisahnya~

chap-preview
Free preview
BAB 1 Tamu
Namaku Ferawati, biasa dipanggil Fera. Usiaku 18 tahun lebih. Aku seorang gadis belia yang baru saja lulus Sekolah Menengah Atas. Tidak ada yang menarik dariku, aku hanya gadis biasa yang lumayan nakal tapi tidak pernah membantah perkataan orang tua. Beberapa jam yang lalu, aku baru saja pulang dari acara perpisahan teman-teman sejawatku. Sesampainya di rumah, aku langsung masuk ke kamar, kemudian mandi. Selesai mandi, aku merebahkan tubuhku yang letih ini di atas kasur hingga sekarang. Sejenak kupejamkan mataku. Tapi kenyamananku terusik ketika sebuah suara deruman mobil terdengar memasuki pekarangan rumahku. Karena rasa penasaranku yang terlalu jahil. Aku pun membuka mataku, lalu beranjak mendekati jendela. Mengintip siapa gerangan yang datang bertamu di malam hujan seperti ini. Dua buah mobil tertangkap oleh penglihatanku. Satu mobil berwarna hitam berada di depan, lalu di belakangnya satu mobil berwarna putih mengkilap mengikuti. Tak lama kemudian, ada sekitar lima orang keluar dari dalam mobil berwarna hitam itu. Dua orang pria dan tiga orang wanita yang semuanya seusia orang tuaku. Mereka terlihat keluar dari dalam mobil tersebut dengan pakaian muslim dan muslimahnya. Aku mengerutkan keningku ketika pandangan mataku menangkap sesuatu seperti bingkisan mirip seserahan dibawa oleh para wanita itu. [Siapa yang mau menikah?] — batinku bertanya-tanya. Dari jendela kamarku, aku melihat Ayah keluar dari dalam rumah, menyambut para tamu itu dengan senyum hangatnya. Lalu kemudian, tatapanku beralih pada mobil putih yang masih belum menunjukkan tanda-tanda ada orang yang keluar dari dalam sana. Entah kenapa hatiku penasaran, ada gejolak ingin tahu yang terbendung di dalam d**a. Mataku pun berkilat tajam. Menunggu siapa saja yang keluar dari dalam mobil tersebut. Beberapa menit menunggu, aku tidak melihat siapa pun. Aku mendengus kesal, seolah kecewa dengan apa yang tidak aku dapatkan. Tapi ... ketika aku ingin berbalik. Sosok yang aku tunggu-tunggu kemunculannya tampak keluar dari dalam mobil tersebut. Dia seorang pria, tubuhnya tampak kokoh, begitu elok dipandang mata kaum hawa. Pria itu keluar dengan membawa satu bingkisan seperti seserahan dengan ukuran yang lebih besar. Dalam gelapnya malam dan mataku yang minus, aku tidak dapat melihat dengan jelas, bingkisan berisi apa itu. "Fera," panggil sebuah suara, bersamaan dengan pintu kamarku yang tiba-tiba terbuka. Seorang wanita berusia empat puluhan tahun berdiri di ambang pintu. Dia ibuku, orang-orang memanggilnya Bunda Hanah. Bundaku terkenal berperangai lemah lembut dan juga ramah. Banyak tetanggaku yang menyukainya. Bundaku dulu adalah seorang lulusan pondok pesantren Darul Muttaqien. Pesantren yang hampir aku singgahi kalau saja saat itu aku tidak sakit karena menolak pergi ke sana. Bundaku adalah sosok muslimah yang taat dan suka sekali berbagi ilmu agama. Tidak jarang dirinya di undang untuk mengisi acara dan menjadi penceramah dalam pengajian ibu-ibu sekitar daerah tempatku tinggal. "Fera," panggilnya lagi. Aku pun tersadar dari lamunanku, lamunan panjang yang berisi kekagumanku padanya. "Iya, Bunda? Ada apa?" tanyaku. Bunda masuk ke dalam kamarku. Lalu dengan cepat ia menutup pintu kamar tersebut. Aku mengernyit heran. Tidak biasanya Bunda tampak seperti orang panik. "Ada apa, Bunda?" tanyaku lagi. "Kamu sudah mandi, 'kan?" Bunda balik bertanya. Aku mengangguk, "Sudah," jawabku. Setelah mendengar jawaban dariku. Bunda tiba-tiba langsung berjalan menuju lemari pakaianku. Ia membuka lemari itu lalu memilah-milah pakaianku yang tergantung rapi. "Bunda, ada apa? Apa ada masalah? Tadi aku lihat ada dua mobil yang datang ke rumah kita. Mereka bawa barang-barang aneh mirip seserahan gitu," jelasku berisi kebingungan yang menyertai. Bunda menoleh ke arahku. Ditangannya sudah terpegang sebuah gaun panjang berwarna pastel tanpa motif, hanya ada beberapa brokat dengan warna senada. "Kamu cepet pakai gamis ini," katanya sembari menyodorkan baju terusan itu padaku. "Untuk apa, Bunda? Memangnya kita mau pergi kemana? Lagian ini bukan gamis, Bun. Ini gaun untuk aku pergi ke acara-acara penting," tuturku. "Sudah kamu pakai aja, Bunda mau pilihin khimar yang cocok sama warna gamis kamu itu," ujar Bunda, masih menyebut pakaian terusan yang aku pegang ini dengan sebutan gamis. Aku menghela napasku, tidak bisa membantah, aku hanya bisa menuruti perkataannya. Aku pun kemudian masuk ke dalam kamar mandi yang ada di dalam kamarku. Lalu menutup pintunya dan mulai mengganti pakaianku dengan baju terusan yang bunda pilihkan untukku. Selesai berganti pakaian. Aku keluar dari dalam kamar mandi. Di depan pintu kamar mandi itu, Bunda berdiri menatapku dalam diam. "Kok kayaknya ketat ya, Ra?" tanyanya. "Ya 'kan tadi Fera udah bilang kalau ini bukan gamis. Ini gaun pesta yang aku beli sama temenku, Bun." "Kenapa kamu beli baju kayak gini? Kok enggak nanya Bunda dulu sebelum beli?" tanya Bunda, terdengar seperti keluhan. Aku mengeluarkan cengiranku. Tidak bisa menjawab pertanyaannya itu. Bunda terlihat menghela napasnya. Lalu kemudian ia seperti teringat sesuatu. Bunda pun melangkah cepat mendekati lemariku lagi. "Bunda cari apa lagi?" tanyaku. "Kamu masih simpen baju gamis yang di beliin sama Mas-mu dua tahun lalu enggak?" tanya Bunda. Aku berpikir keras, mengingat apakah aku masih menyimpannya atau tidak. Masalahnya, aku ini anak manja, saking manjanya aku tidak pernah mengurusi pakaianku sendiri. Semuanya Bunda yang mengurusnya untukku. "Nah, ketemu," seru Bunda. Wanita yang sangat aku sayangi itu terlihat seperti seseorang yang baru saja menemukan harta karun. "Cepet kamu ganti baju itu. Pakai gamis ini," suruh Bunda. Kali ini aku menghela napas dihadapannya. Seperti sebuah keluhan mirip protes yang tak tersampaikan. Dengan terpaksa aku mengganti pakaianku lagi. Pakaian yang benar-benar disebut gamis yang sesungguhnya. Lihat saja, baju terusan ini menjuntai panjang melewati seluruh tubuhku yang hanya memiliki tinggi seratus lima puluh lima sentimeter, kecuali telapak tanganku. Kakiku bahkan tersembunyi dengan apik di dalam gamis dengan panjang sekitar seratus empat puluh sentimeter ini. "Fera, udah belum? Kok lama banget? Tadi aja cepet," tanya Bunda dari luar kamar mandi. "Iya, ini juga mau keluar," sahutku yang kemudian keluar dari dalam kamar mandi tersebut. "Nah, ini baru bagus," komentar Bunda dengan senyum sumringahnya. "Bunda, gamis ini masih kebesaran buat aku. Cari baju yang lain aja ya ...," keluhku disertai permohonan belas kasih. Bunda menggelengkan kepalanya. Lalu, tanpa menjawab keluhan dariku, ia lekas menarikku mendekati meja rias. Dengan lihai, Bunda memakaikan khimar panjang dan lebar yang menutupi seluruh badan bagian atasku. "Sudah, anak Bunda cantik," pujinya sembari tersenyum puas menatapku. Aku pun tersenyum tipis menanggapi pujiannya itu. "Ayo ikut Bunda keluar," katanya lagi. Tanpa menungguku mengeluarkan kata-kata berisi tanya. Bunda langsung menarikku keluar dari dalam kamar. Rumahku tidak bertingkat. Dan kamarku terletak di bagian depan, dekat dengan ruang tamu. Jadi kalau ada tamu yang datang, lalu aku keluar dari dalam kamar. Sudah dapat dipastikan tamu itu dapat melihatku. Walaupun tidak terlalu jelas karena terhalang setengah rak buku yang sengaja aku minta Bunda untuk meletakkannya sebagai penghalang. "Ayo sini," ajak Bunda, kini ia tidak lagi menarik tanganku. Tapi perkataannya itu seperti tali yang menarikku untuk mengikutinya dari belakang. Aku pun membuntuti Bunda yang terus melangkah menuju ruang tamu. Kepalaku semakin tertunduk saat tubuhku merasa di hujani oleh banyak pasang mata yang menatapku lekat. "Fera, ayo duduk sini," suruh Bunda. Tangannya terlihat menepuk sofa kosong di sisinya. Aku pun menurutinya. Dengan perasaan yang sudah campur aduk. Aku duduk di sisi Bunda.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Istri Muda

read
391.9K
bc

Papah Mertua

read
530.0K
bc

Dosen Killer itu Suamiku

read
310.8K
bc

LIKE A VIRGIN

read
840.6K
bc

Bermain Panas dengan Bosku

read
1.2M
bc

Wedding Organizer

read
46.6K
bc

Tuan Bara (Hasrat Terpendam Sang Majikan)

read
110.7K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook