bc

Dilemma

book_age12+
663
FOLLOW
3.1K
READ
love-triangle
playboy
confident
student
sweet
bxg
highschool
first love
friendship
lonely
like
intro-logo
Blurb

Yang suka cerita love triangle, ayo merapat. Jangan lupa tinggalkan jejak berupa tap love dan komentar kalian, ya^^

***

Viko harus diperhadapkan dengan dua pilihan. Memilih Davika, gadis pengidap fobia dan anak dari rekan kerja ayahnya atau Kasya, gadis yang disukainya sejak setahun yang lalu. Setiap pilihan memiliki resiko masing-masing. Viko harus memilih, mempertaruhkan pekerjaan ayahnya atau harus kehilangan gadis yang disukainya.

Viko memutuskan untuk memilih keduanya, itu artinya ia telah siap menghadapi resiko yang lebih besar. Ia memilih Davika, namun juga mempertahankan Kasya di sisinya.

Akankah semua kebenaran yang berusaha dia tutupi tetap rapat atau malah terungkap suatu saat nanti?

chap-preview
Free preview
Chapter 1
Byurrr! “Eeww, menjijikkan!” “Hei, kamu sengaja mendorongnya, ya?” “Jelas, dong!” “Benar-benar pertunjukan yang mengasyikkan!” Gadis kecil yang berkubang di bawah lumpur selokan hanya bisa tertunduk, menggigit bibirnya agar tak mengeluarkan isakan. Seragam SD-nya sudah tercemar lumpur hitam kecoklatan yang baunya sangat menyengat. Gadis kecil itu mendongak, menatap teman-temannya yang hanya melihatnya sambil tertawa puas. Matanya bergerak menatap salah satu teman sekelasnya yang telah sengaja mendorongnya. Tangannya mengepal kuat. Rasanya ingin naik dari selokan dan menyerang temannya itu. Namun, gadis kecil itu tak berani. Temannya itu adalah anak pemilik yayasan yang menaungi sekolahnya. Dia tak ingin membuat masalah yang akan menyebabkan orangtuanya ikut terseret. Kepalan tangannya melemas ketika melihat sekumpulan orangtua yang memang selalu ada di dekat gerbang sekolah untuk menjemput anak mereka masing-masing. Dia menatap para orangtua itu dengan tatapan memohon. Namun sayangnya, gadis kecil itu tak dihiraukan. Mereka cuma menatap gadis malang itu dan berbisik-bisik iba. “Oh, kasihan sekali! Dia memohon pertolongan tapi tak diacuhkan! Memalukan sekali, aduh!” ejek salah satu temannya dari atas. “Hahaha! Penampilannya jelek sekali!” “Apaan, tuh? Hitam kecoklatan yang berbau. Eew, menjijikkan!” “Memalukan sekali!” “Jangan dekat-dekat dengannya, nanti kamu ketularan kotor!” ucap salah seorang ketika teman lainnya ingin melihatnya lebih dekat. Kedua orang itu saling pandang beberapa saat lalu tertawa puas. “Ih, kalau aku jadi dia, aku tidak akan muncul lagi di depan orang-orang! Ah, memalukan memang! Gadis kecil yang berada di bawah selokan itu menunduk kembali. Tangannya kembali terkepal erat. Dengan gesit, dia berusaha naik namun teman-temannya itu langsung mengambil kayu dan mendorongnya ke bawah. Dia terjerembab jatuh dan lumpur itu mengenai sebagian wajahnya. Teman-temannya yang berada di atas tersenyum puas. Gadis kecil itu tak bisa menahan isak tangisnya lagi. Dia berdiri sambil terisak, dan menatap para orangtua yang hanya menontonnya dalam diam. “Apa di antara kalian tak ada yang ingin menolongku?” teriak gadis itu. Hening. Tak ada yang menyahut bahkan teman-temannya sekalipun. Namun, beberapa saat kemudian suasananya kembali ribut karena para temannya tertawa puas. “Mereka tak akan berani menolongmu! Kamu kotor sekali soalnya. Tak ada yang rela mengotori tangannya untuk manusia lumpur sepertimu!” “Hahaha!” tawa para pem-bully itu makin lama makin keras di telinga gadis kecil itu. Dia menutup telinganya dari keributan itu. “Aku benci keramaian!” gumamnya itu ditengah suara tawa yang terdengar di atasnya. Tangisnya perlahan mengencang. Samar-samar dia melihat para orangtua yang hanya bisa melihatnya dengan gelisah. Gadis kecil itu bertanya-tanya dalam hati, apa tak satu pun diantara para orang dewasa itu yang berniat membantunya? Apa mereka tak memiliki—setidaknya sedikit—rasa kasihan untuk menolongnya? Apa mereka tak bisa memikirkan jika anak mereka ada di posisinya? Suara tawa teman-temannya dan bisikan iba para orang dewasa itu silih berganti memasuki gendang telinganya, menciptakan keramaian yang dia benci. Tangannya makin menempel di telinganya hingga seorang pria merangsek maju, menerobos kerumunan para teman-teman brengseknya. “Davika!” Gadis kecil itu mengangkat kepalanya. “Papa!” ••• “Hah!” Gadis itu terbangun dari tidurnya. Napasnya menderu kencang. Keringat dingin mengalir menurun ke dagunya. Matanya bergerak liar menyusuri langit-langit kamarnya yang berwarna biru pucat. Beberapa saat kemudian, napasnya mulai teratur. Gadis itu beringsut dari kasurnya sembari mengusap keringatnya yang menggantung di dagunya. Kakinya melangkah menuju gorden, menyibaknya hingga terlihatlah balkon kamarnya yang dibatasi oleh pintu kaca. Matanya menyipit ketika sinar matahari pagi menusuk matanya. Ketika matanya sudah menyesuaikan dengan sinar matahari pagi, dia membuka pintu itu lalu berjalan ke balkon kamarnya. Gadis itu perlahan menutup matanya dan menghirup udara pagi yang sejuk. Benar-benar menenangkan, pikir gadis itu. Matanya kembali terbuka. Dia menatap ke bawah, menatap hamparan taman belakang rumahnya dengan beragam bunga yang menghiasinya. Di tengah-tengah taman itu terdapat pohon mangga yang besar dan sudah tua. Ada ayunan yang tergantung di salah satu batang besar pohon itu. Tepat di bawah pohon itu, ada kursi besi sepanjang tiga meter. Tangan gadis itu memegang pagar balkon. Pegangannya mengencang kala mengingat mimpinya tadi. Mimpi itu bukan sekedar mimpi. Itu adalah kenyataan dari masalalu buruknya, yang merasuk ke dalam mimpinya dan membuat makin tenggelam dalam kesepiannya. Terkadang, fobia sosial yang dideritanya membuat gadis itu ingin sekali mengutuki dirinya sendiri. Dia merasa tak berguna di dunia ini. Namun, dia juga tak mampu melawan fobianya yang sudah menguncinya dalam kesepian selama bertahun-tahun. Dia mendesah putus asa. Matanya lalu terpaku pada rumah berwarna putih pucat yang bersebelahan dengan rumahnya. Rumah itu gelap dan pastinya kosong. Pemiliknya baru saja meninggalkan rumah itu tiga hari yang lalu. Matanya lalu beralih pada sekumpulan emak-emak komplek yang mengerumuni bapak tukang sayur. Mulut mereka asyik berceloteh, sedangkan tangan mereka sibuk memilih sayur-sayuran segar. Dari geleng-geleng pasrah si bapak tukang sayur, emak-emak itu pasti sedang bergosip. Gadis itu tanpa sadar memutar bola matanya saat emak-emak itu meliriknya lalu melanjutkan gosip mereka, lebih heboh dari sebelumnya. Tak hanya mulut mereka yang tajam, ternyata mata mereka pun tajam untuk menyadari bahwa dialah yang sedang berdiri di balkon kamar pagi-pagi begini. Gadis berambut panjang itu memang tak mendengar percakapan mereka, namun dia tahu apa yang digosipkan oleh emak-emak itu; gosip tak benar tentang dirinya yang hamil di luar nikah sehingga terlalu malu untuk keluar sampai akhirnya memutuskan untuk berdiam di rumah. Yang benar saja! Dirinya bahkan belum pernah pacaran. Bertemu laki-laki saja tak pernah sejak fobianya muncul. Ralat, selain papanya. Merasa gusar, gadis itu kembali masuk ke dalam kamarnya dan membasuh wajahnya di kamar mandi. Dia mengganti piyamanya dengan pakaian rumahan dan berjalan menuju meja riasnya. Dia mengambil ikat rambut berwarna biru lalu mengumpulkan rambutnya dan mencepolnya asal. Pintu kamarnya diketuk sebanyak tiga kali. “Tidak dikunci, kok!” teriak gadis itu dari dalam. Gagang pintunya berbunyi dan terbuka sedikit. Kepala mamanya menyembul disertai senyum cerah. “Selamat pagi, Sayang!” “Selamat pagi, Ma.” “Tidurmu nyenyak?” tanya sang mama berjalan masuk. Dia berdiri di belakang putrinya dan memperbaiki cepolan rambut putrinya yang berantakan. Gadis itu meneguk ludahnya susah payah, “nyenyak, Ma,” dustanya. “Nah, ‘kan begini baru rapi,” gumam mamanya menata rambutnya yang kini sudah terikat ekor kuda. Gadis itu hanya diam memperhatikan mamanya berjalan menuju meja belajarnya dan mengambil beberapa buku pelajaran dari sana. Gadis itu sontak memutar bola matanya, “yang benar saja, Mama. Aku bisa, kok, ambil sendiri bukuku. Lagipula, guruku belum datang.” “Tidak usah protes, Sayang. Mama hanya ingin memanjakan kamu.” “Aku sudah besar.” “Kamu tetap putri kecil Mama.” “Terserahlah,” ucap gadis itu mengalah. “Sebentar lagi gurumu datang. Bersiap-siaplah,” kata sang Mama. “Davika, ayo turun! Gurumu sudah datang!” teriak papanya dari bawah. Gadis itu saling berpandangan dengan mamanya. Sang mama mengendikkan bahu dan tersenyum geli, “Sepertinya gurumu akan panjang umur. Ayo, bawa buku-bukumu ini dan belajarlah dengan giat!”

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

BILLION BUCKS [INDONESIA]

read
2.1M
bc

The crazy handsome

read
465.2K
bc

Pengganti

read
301.6K
bc

Dua Cincin CEO

read
231.2K
bc

Istri Kecil Guru Killer

read
156.0K
bc

Bukan Cinta Pertama

read
52.0K
bc

BRAVE HEART (Indonesia)

read
90.8K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook