bc

Zalika

book_age0+
1.0K
FOLLOW
12.4K
READ
family
age gap
drama
sweet
like
intro-logo
Blurb

"Jangan salahkan cinta jika jalan hidup mu menjadi hitam, namun salahkan dirimu yang salah memilih cinta"

Akulah yang kau cari selama ini...

chap-preview
Free preview
Bab 1
Waktu memang tidak pernah mau dikalahkan oleh apapun. Tapi waktu tahu kapan harus mempertemukan jodoh kita..   Setelah sekian lama impiannya akhirnya terwujud pada siang ini. Kedua kakinya telah sampai menginjak ibu kota yang kata banyak orang kota paling menakutkan. Kejam dan bisa menjerumuskan siapa saja. Tapi gadis ini tidak pernah gentar karena dia percaya restu ibunya selalu mengiringi langkah kakinya saat ini. Peluh yang mengalir diwajah putihnya diseka berkali-kali. Ini sudah hampir satu jam dia menunggu disebuah terminal namun orang yang dia tunggu belum juga datang. Rambut hitam bergelombang sudah diikatnya asal dengan karet gelang berwarna cokelat. Ingin rasanya dia membeli sebotol air mineral untuk melepaskan dahaga namun lagi-lagi dia menahannya. Uang bekal dari ibunya dikampung belum tentu cukup sampai ketempat tujuan. Karena itu lebih baik dia tidak minum dari pada dia harus tersesat di ibukota tanpa uang. "Neng Zaza.." Tepukan dibahu gadis itu membuatnya melihat siapa gerangan orang yang menepuknya. "Pakde Danu..." sambutnya histeris. Melihat orang yang ditunggu akhirnya datang membuat gadis yang dipanggil Zaza tersenyum senang. "Maaf pakde telat jemputnya. Tadi nganterin si bapak dulu..." Zaza mengangguk saja. Senyumnya tak pernah lepas dari bibir tipisnya yang begitu ranum. Ditambah lesung pipi di sisi kanannya menambah manis gadis ini. Dialah Zalika Mahira.. "Nanti pakde kasih tahu kamu harus ngapain aja. Sementara ikutin aja apa yang disuruh sama si nyonya besar?" "Iya pakde, aku paham kok" Tas ransel miliknya dimasukan oleh pak Danu kedalam mobil SUV putih metalic yang terlihat sangat mahal dimata Zaza. "Wah.. pakde. Kita naik ini?" "Iya toh, emang mau naik apalagi? Zaza terpesona melihat bentuk dalam mobil itu. Karena baru kali ini dia bisa naik mobil semewah ini. Biasanya ketika dikampung, hanya sebatas angkot saja dia harus memikir terlebih dahulu. "Gimana kabar ibu dikampung?" "Ibu baik. Dia restuin Zaza kekota karena pakde aja yang ngajak. Kalau nggak mah, Zaza nggak akan boleh. Padahal kan Zaza udah lulus SMA." Ceritanya penuh semangat. Kepalanya terus saja menatap kearah luar dimana gedung-gedung bertingkat berdiri kokoh seakan tidak takut dengan kejamnya ibukota. "Memang kalau udah lulus SMA bisa seenaknya kemana-mana?" Nasihat pakde Danu yang usianya sudah lebih dari batas senja. "Nggak juga sih..." lirih gadis itu. Kedua pipinya digembung-gembungkan tanda tidak suka dengan nasihat pakdenya itu. Baginya selama dia bisa menjaga diri berarti dia telah dewasa dan bisa pergi kemana saja. "Za, inget loh. Disana jangan macem-macem. Pakde gak mau kamu dinilai kurang sopan" "Iya pakde.." "Jangan iya-iya aja. Nurut. Kamu kan dititipin ibu mu sama pakde. Jadi jangan buat umur pakde berkurang" Kening Zaza berlipat-lipat, apa iya sifatnya seburuk itu. Memang ibunya sering mengeluh dengan sifatnya yang terlalu manja kadang jahil yang sulit untuk Zaza hilangkan. "Nah udah sampai..." Seorang satpam membukakan pintu gerbang berwarna hitam agar mobil itu bisa masuk kedalam sebuah rumah yang nampak sederhana namun begitu luas dan indah. Nyaman. Kata itu yang pertama kali muncul di pikiran Zaza. Halaman yang begitu luas, bunga-bunga bermekaran, ada beberapa pohon besar yang menambah kesan asri untuk rumah ini. "Ayo turun Za. Pakde kenalkan sama semua orang.." Zaza nampak salah tingkah ketika dia ingin melangkahkan keatas lantai granit yang begitu mengkilau. Didalam otaknya dia memikirkan, akan sepatunya yang kotor harus menginjakkan kaki diatas lantai yang begitu bersih. Bahkan dirinya bisa melihat pantulan wajahnya dari lantai itu. Keren. Batin gadis itu. "Pakde, ini rumah apa istana sih?" "Ini rumah dong. Ayo cepat. Masuknya lewat pintu belakang saja" Pakde Danu menarik tangan Zaza untuk mengikutinya. Berkali-kali langkah kecilnya tersandung karena berjalan tidak hati-hati. "Assalamu'alaikum.." "Wa'alaikumsalam. Sudah datang pak?" Cantik. Zaza tak berkedip melihatnya. Perempuan yang berdiri didepannya memang sudah tidak muda lagi, tapi aura kecantikannya begitu memikat mata yang melihat. Gamis panjang dengan khimar polosnya menambah kesan muda diwajah senjanya. "Duh cantik banget kamu" ucapnya spontan saat melihat wajah Zaza. "Pak, kamu nggak bilang punya keponakan cantik begini" "Yah walau bukan anak kandung adik saya, tapi dia keponakan saya yang paling cantik" "Nama kamu siapa sayang?" "Zalika, bu." Perempuan itu tertawa karena Zaza nampak takut saat bicara dengannya. "Jangan dipanggil ibu dong, panggil nenek saja. Kamu itu seumuran sama cucu nenek yang bandel" kekehnya. Zaza semakin bingung, ada juga ternyata perempuan seperti ini. Biasanya perempuan agak sensitif dengan umur. Karena itu Zaza lebih memilih memanggil ibu dari pada nenek. Tapi kenyataannya sungguh berbeda. "Sudah kamu anterkan dia kekamar yang belakang itu. Dekat kamarnya bibik.." "Iya bu.." "Psstt.. pakde.." Bisik Zaza. "Dia itu siapa sih?" Pakde Danu tersenyum sekilas sebelum mengusap lembut rambut Zaza yang bergelombang. "Dia ibunya bapak Dewangga Bahuwirya, nyonya besar dirumah ini..." Seketika Zaza menjadi takut mendengar kalimat nyonya besar. ~***~ Dia bingung harus memulai dari mana. Berdiam diri saja merasa salah, ingin ikut membantu juga salah. Masalahnya tidak ada instruksi sedikitpun apa yang harus dia kerjakan. Sedangkan pakde nya sudah pergi entah kemana meninggalkan Zaza yang tidak tahu harus berbuat apa. "Za, sini bantu nenek buat kue. Jangan diam saja.." Dengan perlahan dia mendekat kearah perempuan yang mau dipanggil nenek. Namun setelah mendekat dia semakin bingung melihat begitu banyak bahan yang tersaji diatas meja. Satu hal yang hanya dia tahu, hanya telur. Sisanya sulit dibedakan. "Ambilkan nenek baking powder.." Diam. Dia membatin sendiri. Selama dikampung dulu dia jarang sekali memperhatikan ibunya memasak. Dia pernah bereksperimen mengenai bumbu-bumbu memasak. Dan akhirnya ibunya hampir keracunan dengan tumis kangkung sederhana yang dia masak. "Kok diam?" Nenek menatap bingung wajah lugu Zaza. Tidak menjawab, Zaza memilih tersenyum masam. Apa dia harus mengakui kekurangannya? "Jangan malu. Kalau kamu belum tahu itu wajar, tidak ada orang yang terlahir langsung bisa berjalan. Semua butuh proses pembelajaran. Karena semua makhluk yang Allah ciptakan tidak ada yang bodoh. Yang ada hanya malas tidak ingin belajar" Gadis itu tersenyum bahagia. Nenek ini begitu memahami isi hatinya. Bahkan tanpa perlu repot-repot Zaza ucapkan secara lisan. "Dulu nenek juga begitu waktu seumur mu. Mana pernah memikirkan urusan dapur, mana pernah tahu apa nama bumbu ini dan itu. Tapi setelah nenek dewasa dan menikah, waktulah yang membantu nenek untuk mengenal semuanya" sambung nenek sembari mencampurkan beberapa adonan kue yang ingin dia buat. AH, lagi-lagi yang bisa dilakukan Zaza hanya mengangguk. "Kamu mau bantu coba untuk mengaduk kue ini?" "Ya.." Hanya satu kata tapi bisa membuat si nenek tersenyum bahagia. "Coba aduk hingga rata, pelan-pelan aja.." ujar nenek. Dengan pelan Zaza menuruti semua yang dikatakan nenek. Ada sedikit rasa sedih dihati Zaza karena tiba-tiba saja dia mengingat ibunya dikampung. "Loh.. loh.. loh.. kamu udah pulang Ka?" "Iya nek..." jawab laki-laki muda itu sembari melangkah menuju kamarnya dilantai atas. Zaza yang memperhatikan sekilas wajah laki-laki itu seperti mengenalnya tapi entah dimana. Mungkin hanya perasaannya saja. Hanya dalam mimpi dia bisa mengenal laki-laki dari keluarga kaya raya. "Good morning madam.." "Ini sudah siang Ray, kamu masih pagi aja..." Orang yang dipanggil Ray tertawa senang dengan memasang wajah malu-malu. "OMG, madam.. sindang siapa?" Tunjuknya pada Zaza. "RAY.. stop !! Bicara yang benar" maki si nenek yang nampak tidak suka dengan gaya bahasa yang dipergunakan oleh Ray. "Sorry deh madam, eike udah biasa begindang..." Takut-takut dia memperhatikan wajah Zaza yang masih sibuk mengaduk adonan kue yang sudah nampak merata. "Wah, situ bisa buat kue?" Tanya Ray. "Kamu lanjutkan aja Za, orang kayak gini jangan di tanggapi. Laki-laki kok setengah mateng" kesal si nenek. "Ya ampun madam, dari eike masih orok juga madam tau kan eike kayak apa" kekehnya dengan jari kelingking yang nampak naik setinggi mungkin. Nenek memukul kuat jari kelingking Ray yang berdiri. "Turunkan tuh jari" "Ah madam nggak asik.." Ray mendudukan diri didepan Zaza yang tidak peduli dengan kehadirannya sedikit pun. "Neng, serius banget." "Sudah sana. Jangan diganggu, nanti kalau gagal awas !!" Ancam nenek. Tapi Ray terlihat sangat tidak peduli dan terus memperhatikan wajah cantik dari Zaza. “Neng, Jangan mau cantik-cantik disuruh madam ini itu. Mending ikut eike, kita kongko-kongko” “Ya Allah, ini anak satu. Dibilang jangan diganggu” Nenek mengambil tutup panci untuk dipukulkan ke kepala Ray yang tidak mau mendengar kata-katanya. "Ya deh madam. Eike keatas dulu" Ucap Ray dengan senyum yang tak henti menghiasi wajahnya. Nenek semakin kesal mendengar gaya bicara Ray, padahal laki-laki itu normal namun karena pergaulan membuatnya menjadi seperti itu. "Kamu jangan dengarkan si Ray, dia emang begitu. Tapi begitu-begitu dia baik kok" jelasnya. "Iya nek, dikampung banyak yang macam begitu cuma lebih butut" jujurnya. "Kamu bisa aja.." kekehnya. Hampir satu jam mereka sibuk membuat berbagai macam kue. Dari mulai kue brownies hingga kue kering untuk di masukan kedalam toples. Zaza yang sudah mulai nyaman dengan nenek semakin keluar sifat aslinya. Kadang gadis itu mengucapkan sesuatu yang memancing gelak tawa perempuan lanjut usia itu. "Nek.. " Seorang laki-laki muda nampak diam melihat pemandangan didepannya. Ada seorang gadis manis yang sedang sibuk menata kue-kue kering kedalam sebuah toples kristal. "Maaf tuan. Nenek sedang menerima telepon.." jawab Zaza sopan. Dia menjadi salah tingkah saat ini, ketika pandangan mata penuh cahaya itu memancarkan sinar untuknya. Mata itu mirip sekali dengan ibunya, batin laki-laki itu. "Come on Gill.." tepuk Ray yang berdiri dibelakangnya. "Eh, kenapa diem?" Wajah Ray menatap Zaza dan laki-laki yang dia panggil Gill secara bergantian. "Duluan ke mobil.." perintah Gill. Ray yang sedang malas berdebat memilih mengikuti saja kemauan sahabatnya itu. "Angkasa..." Laki-laki itu menoleh ke asal suara, disanalah neneknya tengah menatapnya tidak suka. "Nenek sudah bilang stop menjadi artis nggak karuan begitu. Memangnya apa yang kamu dapat dari menjadi artis? Pahala? Nggak kan !!! Lebih banyak dosa !!!" Makinya. "Nek, siapa dia?" Zaza mendadak takut dengan tatapan dingin laki-laki itu. Apa memang seperti itu caranya memandang seorang perempuan? Dan tadi apa Zaza tidak salah dengar? Ternyata dia artis. Pantas saja Zaza nampak familiar dengan wajahnya. Mungkin laki-laki ini sering tampil di televisi hingga Zaza bisa mengenali wajahnya. "Kenapa tanya begitu? Bukannya kamu mau pergi, jadi nggak perlu tahu masalah dirumah" "Nek.. Gill.." "ANGKASA.. NOT GILL..!!" Potong nenek. "Ok.. ok.. aku mau ada tour luar kota. Jadi please nek jangan berdebat" ucapnya mengakhiri perdebatan itu. "Angkasa Gilli Bahuwirya, kamu benar-benar keterlaluan !!! Nenek benar-benar nggak pernah pikir kamu bakalan seperti ini. Menjadi artis yang nggak tahu apa yang dicari !! Jika ketenaran yang kamu cari apa semua itu akan dibawa sampai mati? Apa malaikat akan bertanya tentang ketenaran mu didunia? Berpikir jangan hanya sampai didunia saja. Tapi diakhirat juga dipikirkan. Bisanya cuma nyanyi nggak jelas begitu. Pelajarin tuh tilawah bukan nyanyi sampai suara serak !!!" "Cukup nek !!!" Bentaknya. "Nenek nggak akan pernah berhenti sampai kamu lelah !!! Kamu dan dia sama saja !!" "Oke.. oke.. nenek boleh hina aku sepuasnya, tapi jangan hina ibuku !!!" Laki-laki itu pergi melangkah keluar rumah dalam keadaan marah. Cukup sudah keributan dirinya dengan si nenek hari ini. Dia memang bukan laki-laki baik, tapi dia sangat tidak suka jika ibunya ikut dituduh sebagai perempuan yang tidak benar. "Za..." "Ah.. iya nek." "Kamu akan tahu seperti apa keadaan rumah ini yang sebenarnya" lirihnya sembari mengusap lembut rambut Zaza. Zaza menghembuskan nafas pasrah, harus mulai dari manakah dia untuk mengenal keluarga tempatnya mengabdi untuk bekerja? ~***~ Hari telah berganti, cuaca pagi ini begitu indah. Pagi-pagi sekali Zaza sudah sibuk dengan kegiatan barunya yaitu membantu pengurus kebun untuk menyiram dan bercocok tanam. Dia tidak canggung melakukan itu, bahkan Zaza begitu senang bermain air sambil menyiramkan air itu kepada tanaman-tanaman untuk bekal fotosintesis. Suara kicauan burung seakan ikut mengalun lembut bersama dengan suara yang keluar dari bibirnya. Zaza memang sangat suka bernyanyi walau suaranya tidak sebagus penyanyi papan atas tapi dia bangga akan apa yang dia miliki. Jika dirumah biasanya ibunya yang akan marah-marah mendengar suaranya. Ibunya bilang, suaranya Zaza sangat tidak merdu namun lebih mirip bunyi pentungan hansip. Karena terlalu asik bernyanyi sambil menyiram tanaman, Zaza tidak tahu ada sepasang mata hitam yang menatapnya dari lantai atas. Semua gerak gerik Zaza tak luput dari tatapan tajamnya. Baju Zaza yang sedikit basah membuat punggungnya nampak tercetak jelas. Kadang berkali-kali terangkat hingga tubuhnya yang putih bisa dinikmati siapa saja yang melihat. "Bodoh..." gumamnya. Tok.. tokk.. "Masuk..." "Pagi pak, saya bawa beberapa list aset hotel yang kemarin baru saja dibeli" "Letakkan saja disana" ucapnya tegas. Secangkir kopi dihisapnya dengan lembut sembari menikmati rasa pahit yang bercampur manis di lidah. Panasnya kopinya pagi ini sepanas perasaannya yang tiba-tiba saja seperti terbakar setelah melihat pemandangan pagi yang tidak pernah dia lihat sebelumnya. "Danu.." panggilnya. "Iya pak.." "Perempuan itu keponakan mu?" "Iya pak, dia Zalika. Apa dia melakukan kesalahan?" Tanya pakde Danu yang ternyata seorang asisten pribadi dari laki-laki ini. "Ada. Tolong suruh dia menutupi tubuhnya agar tidak ada yang melihat" "Maksud bapak?" "Tubuh seorang perempuan tidak pantas untuk dipamerkan layaknya sebuah dagangan." Pak Danu mengangguk tanda dia mengerti. Sudah hampir 20 tahun dia bekerja sebagai asisten di keluarga ini. Dan dia tahu benar bagaimana karakter dari seorang Dewangga Bahuwirya. "Terima kasih pak sudah mengingatkan" Laki-laki itu hanya mengangguk sekilas lalu kembali fokus pada berkas-berkas yang tadi dibawakan oleh Danu. Setelah keluar dari kamar pak Dewa, pakde Danu menghampiri keponakannya itu. Dia memang membenarkan kata-kata bosnya tadi, karena baju yang dipakai oleh Zaza sudah basah hampir seluruhnya. Bahkan kulit putih Zaza sudah terlihat jelas dibalik tshirt tipis yang dia pakai. "Za..." "Pakde... kemana aja. Zaza ditinggalin gitu aja dari kemarin" rengeknya. "Kamu itu nggak bisa dibilangin. Pakde kan sudah bilang, jaga sikap" "Memang Zaza salah apa sih?" Mata cokelatnya nampak bingung menatap laki-laki tua didepannya. Dia merasa tidak melakukan kesalahan, tapi mengapa dia ditegur oleh pakdenya itu. "Besok-besok baju tipis begini jangan dipakai" "Ini tuh masih bagus tau. Ya walau warnanya udah pudar" kekehnya. Zaza sama sekali tidak takut ketika dimarahi, dia tidak ambil pusing dengan amarah dari pakde Danu. "Pokoknya pakde nggak mau ngeliat kamu pakai baju yang begini lagi. Kamu tahu kan perempuan itu pakai bajunya yang benar kalau nggak mau dihinggapi lalat terus belatungan.." "Ih.. pakde.. serem banget" "Karena itu, pakai yang lebih sopan. Malu sama si nyonya, dia bajunya tertutup masa kamu begini.." "Tapi..."cicitnya. "Tapi kenapa lagi?" Tubuh kecilnya berjinjit-jinjit agar bisa mencapai telinga dari pakde Danu.. "Aku nggak punya baju yang kayak nenek..." bisiknya. "Kalau belum punya, mau pakde pinjemin?" Goda pakde Danu sambil tersenyum jenaka. "Pakde punya baju yang begitu?" Zaza begitu antusias mendengarnya. Sejak datang kemarin memang dia sudah tertarik dengan pakaian yang dipakai oleh nenek. Nenek yang sudah berumur saja bisa terlihat muda dengan pakaian itu, apalagi dirinya. Pikir Zaza. "Bukan baju begitu, tapi kain sarung kotak-kotak yang belum di cuci setahun " kekeh pakde. "Pakde..." histerisnya. Gadis muda itu menjadi kesal sendiri karena ulah jenaka dari Pakdenya. Dia pikir pakde Danu serius mau meminjamkan baju yang seperti nenek pakai. Tapi ternyata semua itu hanya menjadi bahan lelucon. Dia juga ingin cantik sama seperti nenek itu, tapi apa daya dia tidak punya baju yang indah. Semua baju yang dia bawa dari kampung hanya sebatas celana pendek dan tshirt yang telah usang. Sungguh malang nasibnya.. ~***~ Terkadang mereka enak dipandang seperti kupu-kupu, namun tak jarang garang layaknya lebah yang menyengat (itulah wanita)... ----- Continue... Zalika, mungkin belum banyak orang baca tentang dia.. Semoga suka

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

MENGGENGGAM JANJI

read
473.9K
bc

Noda Masa Lalu

read
183.3K
bc

Kupu Kupu Kertas#sequel BraveHeart

read
44.0K
bc

Orang Ketiga

read
3.6M
bc

BRAVE HEART (Indonesia)

read
90.8K
bc

Satu Jam Saja

read
593.1K
bc

DIA UNTUK KAMU

read
35.0K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook